Daftar Jalan Kaki, Sinyal Amerta Kritisi Kondisi Kiwari

NGURAH Ambara Putra (dua kiri) dan Bagus Kertanegara (dua kanan) berjalan kaki saat mendaftar ke KPU Denpasar, Minggu (6/9/2020). Foto: gus hendra
NGURAH Ambara Putra (dua kiri) dan Bagus Kertanegara (dua kanan) berjalan kaki saat mendaftar ke KPU Denpasar, Minggu (6/9/2020). Foto: gus hendra

Malam hari, tahun 1960-an, Soekarno sering incognito untuk melihat dan merasakan langsung bagaimana keadaan rakyat di seputar Jakarta. Diantar Letkol (tituler) Soeparto, sopir pribadinya, Soekarno blusukan ke pasar yang gaduh bertransaksi. Hanya bersandal jepit, Soekarno berjalan kaki dan dialog dengan para pedagang yang masih jualan, tanpa pedagang sadari yang diajak ngobrol adalah Presiden RI.

JALAN yang memisahkan kantor DPD Partai Demokrat Bali dan KPU Denpasar panjangnya sekitar 400 meter. Jalan kaki sejauh itu pada pukul 10.45 Wita dengan berpakaian adat, jelas bukan hal menyamankan ketika bisa naik kendaraan. Namun, itulah dilakukan Ngurah Ambara Putra-Bagus Kertanegara (Amerta), paslon yang diusung Partai Golkar, Demokrat, dan Nasdem, saat mendaftar ke KPU Denpasar, Minggu (6/9/2020) lalu. Amerta berjalan kaki diantar tim pendukung dan sejumlah sanak kadang.

Bacaan Lainnya

“Amerta? Yakin Menang. Amerta? Satya laksana, satya wacana (setia perbuatan, setia ucapan),” pekik para pendukung yang dominan berpakaian putih. Pukul 10.58, mereka menginjakkan kaki di halaman kantor KPU Denpasar. Sadar dia disorot publik melalui lensa media, Ambara mencuci tangan di wastafel di lobi, sebelum masuk untuk proses pendaftaran sebagai kandidat di Pilkada Denpasar 2020.

Baca juga :  KPU Dorong Keterwakilan Perempuan di Struktur Parpol, Gencarkan Sosialisasi Penyederhanaan Surat Suara

“Kenapa jalan kaki? Ooo Kita perlu olahraga supaya tetap sehat,” sahut Ambara saat ditanya usai pendaftaran. Ambara, entah karena fatsun atau sungkan politik belaka, boleh saja berdiplomasi tentang pesan apa sesungguhnya ingin dia sampaikan ke khalayak. Ketika mobil tersedia tapi memilih jalan kaki, itulah pesan simbolik yang dia utarakan. Dari beberapa kemungkinan pemaknaan pesan, satu yang paling mendekati untuk ditautkan ke cara komunikasi politik Amerta ini, yakni sindiran atas kondisi susah di masyarakat saat ini akibat pandemi Corona. Dan, kesusahan itu menjadi tanggung jawab pemerintah, yang dalam hal ini, seteru menjadi bagian di dalamnya.

Dari sisi kehidupan, Amerta jelas termasuk kalangan elite, sekurang-kurangnya kelas menengah ke atas. Noblesse oblige, frasa Prancis ini secara harfiah berarti ada yang harus dipikul oleh mereka yang menjabat atau berpangkat. Berpangkat di sini bisa diperluas menjadi siapa yang memiliki kehormatan, dia memiliki kewajiban harus dilakukan. Amerta bagian dari kelompok yang hidupnya punya kehormatan. Bersedia diusung menjadi kandidat pilkada di tengah kondisi sulit, juga menunjukkan Amerta ada keberanian memikul beban rakyat Denpasar.

Dalam upaya menenangkan pertempuran, semua pihak butuh perjuangan simbolik. Soekarno dikenal dengan tokoh Marhaen sebagai landasan Marhaenisme, Soeharto dipuja dengan swasembada beras sebagai simbol kesehjahteraan rakyat, dan Gus Dur dengan ucapan “Gitu aja kok repot?” sebagai simbol lahirnya kebebasan berbicara. Dan, berjalan kaki saat mendaftar, juga sebagai sarana membuat pemaknaan bahwa kondisi Denpasar saat ini masih perlu perbaikan di sejumlah bidang.

Baca juga :  Siswa Bangli Presentasi Berhitung “Gasing” di Hadapan Presiden Jokowi

Jalan kaki beramai-ramai juga dapat dibaca sebagai bentuk ajakan bahwa kesusahan ini tidak bisa diatasi sendiri, melainkan bersama-sama. Tanpa membuat wacana, Amerta sudah menghadirkan wacana bahwa kehadiran mereka, meski dengan strategi sederhana, dapat dilirik sebagai alternatif opsi mengatasi kondisi era kiwari. Tentu jika mereka benar dipercaya menjadi Walikota-Wakil Walikota pada 2021 kelak.

Dari sejumlah konstruksi sosial citra pemimpin menurut Burhan Bungin, apa yang dilakukan Amerta tergolong citra pemimpin egaliter. Citra ini menghasilkan impresi pemimpin sederhana, dekat dengan rakyat, selalu mendengar keluhan dan penderitaan rakyat, serta pemimpin yang selalu ada bersama rakyat saat dibutuhkan. Konstruksi sosial lain yang dibentuk Amerta yakni pencitraan kelompok kelas bawah yang apa adanya, antara lain terlihat dari rambut panjang Ambara yang dikuncir kecil.   

Kini waktunya meneladani spirit kesederhaan dan efektivitas Soekarno dalam menyerap emosi dan dan suara hati rakyat, khususnya para pedagang di pasar, seperti dikutip di pembukaan tulisan ini. Berjalan kaki itu cara atau alat, bukan tujuan. Yang pasti, menghadirkan perubahan lebih baik secara nyata untuk rakyat, tidak cukup sekadar mengurangi kenyamanan diri melalui mendaftar kontestasi dengan berjalan kaki. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.