Gede Pasek Suardika Keblinger Pahami Denda Administratif dan Denda Pidana

PRAKTISI Hukum, I Made Arimbawa SH. foto: ist

”Made Arimbawa SH Tantang GPS Debat Soal Pergub Bali Nomor 46/2020”

DENPASAR- Gubernur Bali belum lama ini mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 46 tahun 200 Tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 dalam Tatanan Kehidupan Era Baru.

Bacaan Lainnya

Salah satu pasal di pergub tersebut mengatur denda Rp100.000 jika anggota masyarakat tidak menggunakan masker. Juga mengatur denda Rp1.000.000 bagi lembaga, jika melakukan pelanggaran terhadap isi pergub tersebut.

Lewat media sosial, Gede Pasek Suardika (GPS) yang dikenal sebagai Sekjen Partai Hanura mengecam keberadaan pergub tersebut. Salah satunya, menurut dia, sekelas pergub seharusnya tidak boleh ada denda. Denda hanya dikenal jika regulasi itu berupa UU atau Perda (Peraturan Daerah).

Menanggapi hal itu, seorang praktisi hukum I Made Arimbawa SH saat dihubungi di Tabanan Rabu (9/9/2020) mengatakan, sebaiknya GPS lebih banyak belajar hukum. Hal senada juga disampaikan salah satu pengajar Fakultas Hukum Unud Prof Dr. Made Arya Utama di Denpasar, ketika ditemui dalam kesempatan berbeda.

Arimbawa yang juga dikenal pernah sebagai pengacara dan kini aktif berpolitik praktis itu, menyayangkan ocehan GPS melalui youtube di medsos. Sebagai sekjen Partai, seharusnya ia “main” di tingkat nasional, jangan sekadar mencari panggung di tingkat lokal.

Baca juga :  Presiden Jokowi: Pencalonan Tuan Rumah Olimpiade 2032 bukan untuk "Gagah-gagahan"

“Saya kenal GPS dengan baik. Ia sering nyinyir dengan sejumlah kebijakan Gubernur Bali. Kini, ia sebagai pengacara juga berbicara soal Pergub. Namun sayang, kurang banyak membaca filosofi, landasan dan roh dari pergub nomor 46/2020. Saya pengen menantang debat dengan dia di mana saja, masalah pergub yang dipermasalahkan,” kata Arimbawa yang juga mantan anggota DPRD Bali dan DPRD Tabanan itu.

Arimbawa mengatakan, GPS diharapkan tidak meracuni kalangan milineal Bali dengan menyatakan ini dan itu salah. Semuanya serba tidak benar, hanya ingin mendapatkan popularitas untuk kepentingan politik. Masalah hukum hendaknya dikaji melalui hukum. Jangan dikaitkan dengan kepentingan politik pilkada 2020 atau Pemilu tahun 2024 nanti.

Arimbawa mencurigai, GPS yang memiliki lembaga pembelaan hukum itu, selalu berbicara soal hukum namun tujuannya untuk kepentingan politik. ”Kasihan masyarakat Bali, mendapat cerita gombal dari oknum yang tidak mau belajar hukum dengan benar. Beginilah, kalau hukum dipolitiki,” pungkas Arimbawa dengan penuh semangat.

Di bagian lain, Prof. Dr. Made Arya Utama mengatakan, Pergub 46/2020 yang disoroti GPS sudah disusun secara komprehensif. Banyak pakar hukum terlibat dalam penyusunan pergub itu. Banyak landasan hukum yang diperhatikan.

DOSEN Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. Made Arya Utama.

Ia mengatakan, GPS seperti “error is obyecto” menyikapi Pergub yang mengatur pengendalian Corona di Bali. GPS membandingkan dengan Perda NTB, yang substansinya berbeda. Pemprov NTB membuat Perda soal Kesehatan, sementara Bali sama halnya dengan DKI, Jabar, Kabupaten Bogor dan sejumlah daerah lain membuat Pergub soal penegakkan hukum dan pengendalian Corona.

Baca juga :  DPRD Bali Sahkan Ranperda RTRW Bali 2023-2043, Tersus LNG Disepakati Lepas Pantai

Bagaimana soal denda? Prof Arya mengatakan, pergub itu mengatur denda administratif. Bukan denda pidana. Denda administrasi diatur sebuah PP (Peraturan Presiden). Makanya Pergub itu juga mendapat persetujuan mendagri. Tidak ujuk-ujuk keluar di Bali tanpa persetujuan pusat.

“Makanya saya harap GPS banyak membaca referensi hukum yang lain. Pergub DKI dan Jawa Barat substansinya sama dengan Bali, juga mengatur denda administratif. Dan itu boleh berdasarkan aturan lebih tinggi,” kata Prof. Arya yang mantan Dekan FH Unud itu.

Di bagian lain GPS juga tidak sepakat dengan ikut sertanya Desa Adat dikait-kaitkan dalam Pergub tersebut. Menanggapi soal Desa Adat, Prof. Arya menjelaskan, pasal 9 (2) dalam pergub itu mengatakan: “Operasi penertiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mengikutsertakan unsur satgas Gotong Royong Desa Adat, Kepolisian dan/atau TNI”.

“Sebagai orang hukum, GPS mestinya mengerti kata dapat dalam kalimat itu. Maksudnya boleh ikut dan boleh juga tidak. Kalau Desa Adat tidak mau, tidak boleh dipaksa, sama halnya partispasi TNI/Polri dapat ikut membangun Bali ini bersama-sama,” beber dosen Hukum Administrasi itu.

Prof. Arya meminta, siapa pun dapat melakukan koreksi terhadap produk hukum. Kalau tidak puas, lakukan judicial reviue ke lembaga-lembaga yang tersedia. Jangan sampai melakukan penghasutan-penghasutan kepada masyarakat dalam menilai kebijakan pemerintah. Pasal 260 KUHP mengatur, seseorang dapat dihukum jika melakukan penghasutan.

Baca juga :  Pemkab Gianyar Tanam 500 Pohon di Kanto Lampo

Dosen Hukum Unud itu mengatakan, ke tingkat mana pun kalau Pergub Bali Nomor 46 itu mau diuji akan dilayani. Sebab pergub itu dibuat, demi kepentingan keselamatan rakyat Bali dalam menghadapi virus Corona ini.

Ia menjelaskan, setelah mencermati pergub tersebut, tidak ada masalah yang dilanggar. ”Jangan racuni masyarakat dengan pendapat yang justru akhirnya bertentangan dengan hukum itu sendiri,” pungkas Prof. Arya. 021

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

2 Komentar

  1. Antara berteori, ngomong dan action di lapangan mmg beda. Beda fungsi, beda kapasitas dan mgkin jg beda tujuannya. Yg psti ttyg sareng semeton bendesa adat se-bali sngat merasakan bgmn kita serius kan konsentrasinya baik niskala maupun sekala dlm penanganan pandemi covid -19 ini.
    Harapan ttyg :
    a. ngiring je lepaskan ego kita bergotong royong brsama menghadapi pandemi yg ada.
    b. Kurangi bicara perbanyak action.
    c. Kami salut dg kepemimpinan gubernur skr, trlpas dari plus minus sbg manusia bliau sdh bekerja maksimal. Jarang turun…..iya. Mgkin itu kelemahannya tpi sistem sdh bliau ciptakan dan bkrj dg baik. pemimpin tidak hrs turun langsung krn pemimpin psti punya pasukan yg dia kendalikan. BRAVO BALI, BRAVO BAPAK HUBERNUR BALI.
    Tetep berkarya dlm upaya NANGUN SAT KHERTI LOKA BALI melalui POLA PEMBANGUNAN SEMESTA BERENCANA.