“Pemihakan” Jokowi di Pilpres, Dihakimi atau Dihormati?

Gus Hendra
Gus Hendra

SEPERTI mudah diduga, pernyataan Presiden Jokowi bahwa Presiden boleh berkampanye dan memihak pada Pemilu 2024, bak lubang hitam politik. Konteks pernyataan karena menjawab pertanyaan media soal menteri yang menjadi tim sukses paslon pada Pilpres, lenyap. Pun embel-embel “yang paling penting saat kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara”.

Berhubung diutarakan dalam posisi bersampingan dengan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, asosiasi publik dan, terutama, lawan politik langsung menjurus bahwa kalimat itu ditujukan memihak paslon Prabowo-Gibran. Apalagi Jokowi kian intens menunjukkan kemesraan dengan Prabowo dan ketua umum partai Koalisi Indonesia Maju di depan kamera. Publik telanjur melihat kemunculan Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, karena “direstui”, jika tidak malah diorkestrasi, Jokowi.

Bacaan Lainnya

Soal Jokowi akan kampanye dan memihak, sebelumnya Adian Napitupulu berkata Jokowi akan ikut mengampanyekan bakal calon presiden dari PDIP, Ganjar Pranowo, menjelang Pilpres 2024. Politisi PDIP itu mengklaim Jokowi pada waktunya akan ikut berkampanye untuk Ganjar (kabar24.bisnis.com edisi 22 Juli 2023).

Terlepas dari kegaduhan dan silang pendapat yang terjadi, perkembangan terkini memperlihatkan masih strategis dan menentukannya Jokowi di ujung kekuasaannya. Ketika menyatakan Presiden boleh berkampanye, Jokowi pasti sadar akan disoroti, bahkan dirisak publik. Apalagi potongan video Jokowi saat mengatakan itu tanpa penjelasan konteks, dan terlihat Jokowi seperti tetiba bilang dia berhak kampanye.

Baca juga :  Tahun Akademik 2021, Unud Siapkan 6.349 Daya Tampung

Memakai pendekatan komunikasi politik, realitas ini bisa dimaknai sedikitnya tiga hal. Pertama, mesti diingat kompleksitas wacana politik sangat dipengaruhi latar belakang sosial dan budaya masyarakatnya. Tidak ada komunikasi politik yang terlepas dari budaya masyarakatnya. Apa pesan politiknya, bagaimana meramunya, dengan cara apa, di mana dan kapan, semua itu tetap berpijak pada nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakatnya (Deddy Mulyana, 2018). Kepercayaan, perspektif dan bagaimana cara media menarasikan juga mempengaruhi pemaknaan suatu wacana.

Sebagai contoh, ketika debat pertama kandidat Presiden 2024, Anies menanyakan perasaan Prabowo terkait pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi yang meloloskan Gibran sebagai cawapres. Pertanyaan itu sesungguhnya netral, tapi karena diucapkan kandidat presiden maka menjadi kaya makna. Dalam budaya komunikasi politik di kita, umumnya memang cenderung konteks tinggi atau tidak langsung merujuk ke inti persoalan. Konteks tinggi mudah melahirkan situasi yang “dipaksa” memenuhi kesantunan. Karena itu menafsirkan suatu pernyataan politik lebih memakai perspektif interpretatif.

Kedua, respons Jokowi sejauh ini hanya minta agar pernyataannya tidak digiring ke mana-mana, dan dijelaskan sesuai konteks bahwa dia menjawab pertanyaan media. Seakan mengirim pesan dia “bisa saja” terang-terangan menggunakan hak kampanye, tanpa perlu mempertimbangkan apakah pihak lain setuju atau tidak setuju, juga tampak sebagai upaya demoralisasi kepada kubu seteru. Dan, bisa jadi juga sebagai konsensi yang diperlukan untuk pendukung garis kerasnya, yang merasa kecaman rival kian deras mempreteli kehormatan dan pribadi sosok yang disukai.

Baca juga :  Gubernur Koster Tegaskan Ketersediaan Oksigen di Bali Terpenuhi

Bermodal approval rating tinggi, antara 78 s.d. 80 persen menurut sejumlah lembaga survei, karena itu segala wacana yang melibatkan Jokowi selalu seksi. Pula memperlihatkan tingginya kesukaan kepada Jokowi turut disumbang dari kencangnya kontroversi yang menguliti apa yang dilihat sebagai “prestasi pembangunan” di era Jokowi. Misalnya isu bahwa Jokowi ingin bertemu Megawati, yang bersumber dari salah satu siniar terkenal di negeri ini dan menyiratkan Jokowi mulai panik, dibantah keras penyukanya.

Entah fakta atau fiksi, isu ini dieksploitasi untuk mendegradasi legitimasi Jokowi. Pun menguatkan isu tidak netralnya Bapak Presiden, yang dibangun sejak awal pencalonan Gibran. Di sisi lain, kian kencang narasi negatif ditujukan ke Jokowi, kian mengkristal dukungan fans Jokowi, terlepas apakah posisi Jokowi benar atau salah.

Sengitnya narasi minor tersebut muaranya terlihat menuju agar Jokowi diam dan pasif dalam Pilpres 2024. Apa pun yang dilakukan sekarang, Jokowi diposisikan salah. Soal siapa yang lebih dipercaya publik, penghakiman pasti baru terjadi pada pemungutan suara 14 Februari nanti. Jika sampai Prabowo-Gibran menang dalam satu putaran, maka approval rating tinggi itu fakta adanya. Jika yang terjadi sebaliknya, bahkan Prabowo-Gibran kalah, maka isu silent majority yang benar nyata.

Ketiga, segala macam gimmick kampanye, termasuk untuk merebut simpati kaum milenial dan Gen Z, selangkah di belakang perang narasi di media sosial. Untuk lanskap Bali misalnya, hasil survei untuk calon pemilih pemula tahun 2023 menunjukkan 74,3 persen memperoleh informasi dari media sosial. 81,9 persen menyatakan akan memilih, dan hanya 8 persen yang memperoleh informasi dari portal berita media arus utama.

Baca juga :  Tiga Bulan, Karangasem Catat 22 Kasus Gigitan Anjing Rabies

Karena itu, tidak heran palagan paling seru sesungguhnya di media sosial dengan seabrek isu. Satu narasi yang masih kuat bertahan di mata masyarakat kalangan bawah adalah Jokowi sosok polos, tidak berjarak dengan rakyat, tidak feodal, dan suka merangkul siapa saja alias berupaya meminimalisir konflik. Ketika suatu isu dipersepsi tidak berimbas langsung kepada hajat hidup orang banyak, isu itu cenderung hanya berputar dan mempengaruhi kalangan elite, kaum perkotaan, dan terpelajar.

Masih di media sosial, hasil survei sejumlah lembaga, sesuai versi dan kepentingan masing-masing kubu, diamplifikasi terutama untuk keabsahan agar Pilpres cukup satu putaran demi menghemat anggaran. Survei tidak lagi sebagai cerminan situasi lapangan, tapi menjadi senjata perang opini dan meruntuhkan moral lawan. Respons atas diseminasi hasil survei juga sebagai alat untuk mendeteksi mana kubu “kita” dan mana kubu “mereka”. Semoga saja situasi panas itu tidak menjelma jadi polarisasi bangsa (lagi), menipiskan toleransi, dan merendahkan adanya pluralitas perspektif di antara anak bangsa. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

1 Komentar