POSMERDEKA.COM, DENPASAR – Usai targetnya di Pilpres 2024 berantakan dengan tumbangnya Ganjar-Mahfud di Bali, dia jadi pelit komentar. Berstatus salah satu bakal calon Gubernur untuk Pilkada 2024, di media sosial dia disandingkan dan disaingkan dengan Giri Prasta, sesama kader PDIP, untuk berebut rekomendasi partai. Bagaimana sesungguhnya dinamika internal PDIP untuk Pilkada Serentak di Bali? Mungkinkah Koster sebagai petahana terjegal ke periode kedua? Berikut petikan wawancara wartawan POS BALI, Gus Hendra, dengan Ketua DPD PDIP Bali, Wayan Koster, Minggu (14/4/2024).
Bagaimana hasil Pileg PDIP di Bali?
– Untuk DPR RI turun 2 persen jadi 52 persen, tapi nominal naik 40.000 lebih karena DPT tambah persentase dan kursi turun. PDIP Bali termasuk paling tinggi di Indonesia untuk hasil Pileg, tetap menjadi pemenang di Bali. Provinsi lain tidak ada mencapai 40, Bali di atas 50 persen. Di tengah tekanan dan dinamika cukup keras, perolehan suara dan kursi di Bali masih sangat bagus, masih mayoritas.
Pileg menang tapi kalah Pilpres, bagaimana Anda sebagai salah satu kontestan melihat lanskap Bali di Pilkada?
– Saya sudah konsolidasi dan pemetaan untuk Pilkada Serentak. Melihat perolehan suara dan kursi, di seluruh Bali kami bisa mengusung sendiri. Namun, tapi kami harus berhitung juga, karena Pilkada tidak serta merta linier dengan perolehan suara Pileg. Sudah petakan di mana kira-kira harus bergandengan dengan partai lain, di mana bisa jalan sendiri. Pintu sangat terbuka untuk kolaborasi dengan partai lain.
Kemenangan Prabowo-Gibran dinilai akan bikin perubahan besar di Bali. PDIP sepertinya dikepung Koalisi Indonesia Maju (KIM) di Bali?
– Saya kira pakai bahasa “dikepung” nggak cocok, karena konstelasi Pilpres dan Pilkada beda. Waktu Pilpres sejumlah partai dalam KIM mendukung Prabowo-Gibran, di Pilkada suasananya berbeda di daerah. Saya kira semua partai memikirkan strategi yang akan menguntungkan partainya, memikirkan masa depan partainya, belum tentu pola di KIM saat Pilpres otomatis diterapkan di Pilkada. Pilkada Serentak momentum semua partai membangun kekuatan partainya ke depan.
Bisa bocorkan sedikit situasi di PDIP?
– Kalau bocorkan terbuka, belum bisa (tertawa). Saya kasi petunjuk saja dulu. Kira-kira petahana akan tetap, karena kebiasaan di PDIP setiap kepala daerah diberi kesempatan 2 periode. Secara umum begitu, tapi tidak semua otomatis. Jangan sampai ada masalah, termasuk apakah akur atau tidak dengan pasangannya, kinerjanya bagus atau tidak, semua dinilai DPP. Terakhir akan diputuskan DPP, terutama Ibu Ketum.
Tadi mengatakan salah satu parameter adalah akur atau tidak, apa ada di Bali yang tidak akur?
– Eee.. sedang dianalisis, kan selalu ada dinamika. Biasa, orang kalau dikasi jabatan kadang dia lupa, saling sikutlah, kemudian nyalip-nyalip, itu nggak boleh. Tatanan pemerintah kan harus berjalan dengan baik, apalagi memimpin birokrasi pemerintahan, harus kondusif untuk bisa produktif. Laporan (tidak akur) belum ada, tapi kami akan bahas per kabupaten/kota untuk pasangannya.
PDIP partai hegemonik di Bali, pasti jadi gosip politik untuk kandidasi, terutama di Pilgub. Anda sekarang disandingkan atau disaingkan dengan Giri Prasta. Bagaimana sebenarnya situasi di internal PDIP?
– Di PDIP ada kata “demokrasi”, dalam konteks Pilkada demokrasinya adalah kader dan simpatisan partai punya kesempatan menyampaikan aspirasi. Ini masih proses awal, masih berlangsung suasana penuh dinamika. Ada ingin calon ini, calon itu, dan itu sesuatu yang wajar.
– Tapi ada kebiasaan, petahana dapat prioritas meski tidak otomatis kalau orangnya bermasalah. Misalnya masalah hukum, atau di luar masalah hukum. Sejauh ini di Bali belum pernah diberi cuma 1 periode. Di Denpasar, IB Rai Mantra dua periode (Wali Kota) meski bukan kader.
Tensi Pilgub mulai naik, Anda terganggu tidak dengan hal itu?
– Nggak, saya nggak terganggu, biasa saja, itu dinamika politik. Namanya kader, terserah saja. Nanti kalau ada keputusan partai ikut semua. Tidak baik kita ada baliho siapa gitu, terus dilarang, kan nggak baik begitu. Biarkan saja jadi bunga-bunga demokrasi di partai politik. Nanti ada proses DPC akan rapat, dibawa ke DPD, kemudian dibawa ke DPP, baru rekomendasi. Begitu keluar rekomendasi, semua harus hormati.
Naiknya tensi internal ini alamiah atau by design?
– Saya tidak tahu alamiah atau by design, tapi bagi saya ada dinamika begitu yaa sudah aja.
Saat Pilpres, target dan analisis Anda terbukti gagal. Bagaimana untuk Pilkada?
– Saya ikut politik sejak 2004 untuk Pilpres, Pileg dan Pilkada, sekian kali pengalaman, bahkan jadi penyusun strategi pemenangan. Secara langsung jadi Ketua Tim Pemenangan untuk 2014 dan 2019. Saya orang statistik, dari pengalaman Pilpres dan Pilkada sebelum-sebelumnya tidak pernah gagal, sesuai rencana, tidak meleset jauh.
– Yang (Pilpres) kemarin, secara ilmu pengetahuan dan empiris tidak cocok. Saya akui ini kegagalan pertama saya dalam mengelola Pilpres, tapi sudah terjadi ya sudah. Peta dan fenomena Pilpres dengan Pilkada beda, figur dan fenomenanya beda, tidak bisa dibuat pola sama.
Sumber internal menilai Anda galak, susah mendengar pendapat orang, singkatnya one man show?
– One man show pasti nggak, karena sebagai Gubernur (2018-2023) kebijakan didiskusikan dengan kelompok ahli, baru saya putuskan. Dinas harus laksanakan, tidak ada lagi ada diskusi. Kalau one (satu) kan memang satu Gubernurnya, tapi proses kebijakan dibangun bersama-sama dengan ahlinya. Untuk akselerasi pembangunan harus saya tegas, berani, galak. Jika kebijakan tidak dijalankan dengan kepemimpinan berani, tegas, jelas, tidak akan efektif.
Impresi galak kurang bagus dalam politik elektoral, Prabowo dua kali gagal Pilpres karena impresi galak.
– Oo beda, ini kan galaknya nggak sembarang. Galaknya (seperti) kepada murid supaya muridnya lebih baik. Di jajaran pemerintahan Pemprov (waktu itu), target ada, matriks ada, tinggal mengikuti. Kalau tidak tercapai pasti saya marah. (*)