PEMILU 2024 menghadirkan banyak kejutan di Bali. Selain tumbangnya paslon Ganjar-Mahfud meski Bali diklaim sebagai kandang banteng, raibnya satu kursi PDIP di DPRD Bali dan DPRD Badung juga menyisakan tanda tanya besar. DPRD Bali dari 33 menjadi 32 kursi, sedangkan DPRD Badung dari 28 menjadi 27 kursi. Dua tokoh PDIP paling terkenal di Bali, Ketua DPD PDIP Bali, Wayan Koster; dan Ketua DPC PDIP Badung, Nyoman Giri Prasta, langsung jadi sorotan.
Khusus di Badung, berkebalikan dengan PDIP, perolehan suara Golkar melonjak drastis dari 7 menjadi 11 kursi. Berdasarkan data, Ketua DPRD Badung cum Sekretaris DPC PDIP Badung, Putu Parwata, juga turun perolehan suaranya. Di Dapil Kuta Utara, Parwata kehilangan 1.980 suara dari 8.879 suara pada Pemilu 2019 menjadi 6.899 suara pada Pemilu 2024.
Padahal melihat pemberitaan media massa, Parwata gencar memfasilitasi masyarakat mendapat dana hibah dari APBD Badung. Nilai totalnya disebut-sebut mencapai puluhan miliar setahun. Pendek kata, didukung segunung fasilitas, pencapaian Parwata tidak lebih baik dibanding rival satu dapil dari Partai Golkar, AAN Ketut Agus Nadi Putra, yang meraup 6.462 suara.
“Ajaibnya”, situasi ini terjadi ketika Badung dipimpin Bupati Giri Prasta di periode kedua. Giri dikenal sebagai figur dengan akseptabilitas politik tinggi di internal maupun eksternal, dan itu tidak lepas dari komunikasi politik yang dikonstruksi bares (royal dan baik hati) oleh loyalisnya. Saking bares, Giri acapkali membantu kolega partai dari luar Badung untuk mengguyur hibah ke kabupaten lain. Ratusan miliar APBD Badung dibagi-bagi dalam program Badung Angelus Buana.
Sayang, bares dan sering nyawer Giri di acara desa adat dan seka teruna, toh tidak mampu membentengi partainya dari “pencurian kursi” oleh partai lain. Sebagai catatan, dalam Pemilu 2024 ini alokasi kursi DPRD Badung dari 40 menjadi 45 kursi. Artinya, PDIP dengan sumber daya dan logistik berlimpah di eksekutif, yang sebelumnya menguasai 70 persen kursi legislatif, kini merosot hanya 60 persen.
Anomali politik di Badung ini dapat dimaknai sedikitnya tiga hal. Pertama, Giri dan internal PDIP kemungkinan terlalu percaya diri dengan apa yang dilakukan dan, terutama, diberikan sebelumnya. Melihat Pemilu 2019 mencapai hasil gemilang dengan politik klientelisme, PDIP seakan enggan keluar dari zona nyaman. Sederhananya, paradigma yang dipakai adalah seakan-akan semua bisa dikendalikan dengan limpahan materi.
Berikutnya, PDIP cenderung membebankan tugas penetrasi partai ke konstituen kepada sosok tertentu di masing-masing tingkatan. Ada satu pihak mendapat beban berlebih, di sisi lain ada yang kurang mendapat beban tapi berharap mendapat berkah dari teman yang kerja keras. Padahal jika mau menggenggam dukungan maksimal, semua elemen partai mesti bergerak bersama. Situasi ini dimanfaatkan kompetitor, dan terbukti sukses menumpulkan ketajaman “tanduk banteng”. Pula membuat tersungkur di Badung sebagai lumbung PHR.
Kedua, strategi merawat kesetiaan dengan pemberian bantuan tidak lagi tepat sasaran. Selama ini bantuan hibah Bupati Giri Prasta kepada rakyat Badung memang nilainya niscaya mengundang decak kagum. Hanya, terlihat perspektifnya masih mengandaikan masyarakat terpola patron-klien secara ketat. Ketika pemimpin kelompok seperti dadia atau banjar menyatakan sepakat “satu jalur” misalnya, dianggap pasti itu terjadi. Padahal dinamika masyarakat tidak sesederhana itu, karena banyak faktor yang turut mempengaruhi.
Situasi ini dapat juga dibaca ada kejenuhan di masyarakat atas situasi saat ini, termasuk bosan dengan partai yang berkuasa, tapi mereka tidak berani terang-terangan menyatakan. Vulgar mempertontonkan, bisa-bisa datang masalah untuk kepentingan kelompoknya. Maka yang terjadi adalah perlawanan diam-diam di bilik suara. Ini terutama di wilayah yang heterogen, kekerabatan agak longgar, ekonomi menengah ke atas, dan minim tokoh sentral yang menguasai mayoritas simpul-simpul massa. Situasi ini agak mudah ditemui di Badung Selatan.
Ketiga, bisa jadi Giri dalam tekanan pihak lain supaya tidak leluasa bergerak membesarkan partai. Tengara ini muncul dari adanya pergantian Ketua Tim Pemenangan Ganjar-Mahfud Badung dari Bagus Alit Sucipta (Gus Bota) kepada Putu Parwata. Giri kabarnya mendapat intervensi dari “oknum tertentu” untuk menggeser Gus Bota.
Parwata diinginkan sebagai komandan tim, kemungkinan karena dipandang sekarang minim ambisi pribadi, terutama berebut tiket calon Bupati Badung 2024. Pun akseptabilitas dan citra personal tidak sekuat sebelumnya. Opsi terbaik bagi agenda politik Parwata adalah sekadar lolos Pileg guna mengamankan kursi Ketua DPRD Badung. Logikanya, buat apa lebih capek berjuang kalau imbalannya kurang menggiurkan?
Di sudut lain, bagaimana perjuangan Golkar guna mencapai target 12 kursi dengan segala upaya, tak bisa dianggap remeh. Ketua DPD Partai Golkar Badung, Wayan Suyasa, pernah berkata kader Golkar wajib tetap membersamai rakyat dengan keringat sendiri, meski digempur hibah dan bansos Pemkab Badung yang diklaim PDIP. Suyasa tidak mencalonkan diri di Pileg sebagai komitmen fokus menjadi calon Bupati pada Pilkada 2024. Bagaimana kerja keras Suyasa membesarkan partai, terlepas ada ambisi pribadi, layak dijadikan model oleh kader PDIP.
Dalam kesempatan berdiskusi dengan sejumlah kader PDIP, mereka merindukan pengelolaan kekuasaan dan sumber daya untuk melayani masyarakat seperti dilakukan Giri Prasta di Badung dan Made Mahayastra di Gianyar. Namun, tak kalah penting adalah bagaimana menghargai kolega. Karena Giri dan Mahayastra bisa menjabat di eksekutif berkat pontang-panting mitra internal dan eksternal, bagaimana penerapan pola “hadiah dan sanksi” juga diharapkan.
“Jangan setelah duduk, kemudian hanya mengajak si A atau si B saja, ini rentan menimbulkan kecemburuan. Kalau sudah cemburu, akhirnya jadi cuek dan teman-teman malas diajak berjuang lagi.” Begitu kurang lebih inti curhatan kader tersebut. Sekarang tinggal elite PDIP di Bali, terutama Giri dan Koster sebagai figur sentral, mau berubah atau tidak cara komunikasi politiknya kepada publik, kader dan kolega? Gus Hendra