Pangkat Prabowo: Dicopot Panglima ABRI, Disematkan Panglima Tertinggi

Gus Hendra

MIMPI taruna muda Prabowo Subianto saat di Akademi Militer untuk menyandang pangkat jenderal bintang empat di TNI, akhirnya terwujud. Tidak dengan jalur biasa memang, karena bintang empat disematkan di pundaknya jauh belakangan setelah dia mengakhiri karir di kemiliteran pada 24 Agustus 1998. Kala itu, pangkat jenderal bintang tiga di pundaknya dicopot Jenderal TNI Wiranto sebagai Panglima ABRI (kini Panglima TNI), dan Prabowo resmi diberhentikan dini. Bak roller coaster, setelah 26 tahun tidak lagi sebagai militer, malah sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, nama lengkapnya sekarang adalah Jenderal (Hor) Prabowo Subianto. Adalah Presiden Jokowi sebagai Panglima Tertinggi seluruh Angkatan yang menyematkan pangkat tersebut, saat Rapim TNI-Polri di Cilangkap, Rabu (28/2/2024).

Karena sudah lama meninggalkan dunia militer, apalagi ada sedikit noda diberhentikan gegara kasus penculikan aktivis prodemokrasi pada masa reformasi, sejumlah suara penolakan hadir. Ada yang mempersoalkan dasar hukumnya, ada yang membahas urgensi pemberian pangkat, sampai membahas rekam jejaknya sebagai perwira yang terlibat dalam pusaran kekuasaan Orde Baru. Apa pun kontroversi yang terjadi, secara hukum Prabowo sah sebagai jenderal bintang empat meski kehormatan.

Bacaan Lainnya

Terlepas dari pro dan kontra, pemberian jenderal kehormatan bukan hal aneh di Indonesia. Dikutip dari buku “Dari Soekarno Sampai SBY” tulisan Prof. Tjipta Lesmana, Presiden Soeharto tercatat pernah menganugerahi perwira tinggi pangkat kehormatan. Mereka adalah (alm) Soesilo Soedarman dari Letnan Jenderal menjadi Jenderal Kehormatan, Azwar Anas dari Mayor Jenderal menjadi Letnan Jenderal, Ary Mardjono dari Mayor Jenderal menjadi Letnan Jenderal, Z.A Maulani dari Mayor Jenderal menjadi Letnan Jenderal, Kentot Harseno dari Mayor Jenderal menjadi Letnan Jenderal, dan Sintong Pandjaitan dari Mayor Jenderal menjadi Letnan Jenderal.

Baca juga :  KPU Ajak ASN Karangasem Jaga Netralitas Politik

Pada tahun 2000 di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tercatat ada tiga perwira tinggi yang juga dianugerahi pangkat kehormatan. Mereka semua berpangkat Letnan Jenderal menjadi Jenderal Kehormatan itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Luhut Binsar Panjaitan, dan Agus Gumelar. SBY mendapat bintang empat karena menjabat Menteri Pertambangan pada 25 September 2000, Luhut karena mengampu posisi Menteri Perindustrian, dan Agum karena bertugas sebagai Menteri Perhubungan, pada 9 November 2000.

Presiden Megawati Soekarnoputri, 1 Oktober 2004, juga mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai kenaikan pangkat dua perwira tinggi TNI AD yang sebenarnya sudah purnawirawan. Mereka adalah AM Hendropriyono dan Hari Sabarno, masing-masing dari Letnan Jenderal menjadi Jenderal TNI Kehormatan. Keputusan ini sempat “dipertanyakan” Panglima TNI, Jenderal TNI Endriartono Sutarto, kepada Megawati. Sutarto menjelaskan, pijakan hukum Peraturan Pemerintah Nomor 6/1990 untuk memberi pangkat kehormatan oleh presiden, sudah dicabut di era Gus Dur. Alih-alih menyimak, Megawati terkesan tersinggung dan bilang,” Kalau nggak ada aturannya, bikin dong aturannya,” bentak Ibu Presiden. Jenderal Sutarto memilih diam.  

Mabes ABRI tahun 1997 malah memberi pangkat Jenderal Besar atau jenderal Bintang Lima kepada tiga perwira tinggi Indonesia yang berstatus pensiun. Mereka adalah Jenderal Soeharto, Jenderal Abdul Haris Nasution, dan Jenderal Sudirman. Khusus Jenderal Sudirman, bahkan sudah meninggal tahun 1950. Dikutip dari buku “Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soharto” karya Salim Haji Said, Sudirman adalah Panglima Besar Tentara tahun 1945 dengan reputasi gemilang sebagai komandan tempur di Palagan Ambarawa, pula pemimpin perang gerilya yang legendaris. Nasution adalah konseptor perang gerilya, Panglima Komando Jawa pada masa perang gerilya, dan KSAD yang memimpin dengan berhasil penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta. Soeharto terkenal sebagai komandan yang memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949 ke Kota Yogyakarta, Panglima Mandala pembebasan Irian Barat, dan Panglima Kostrad yang berhasil menyelamatkan negara dari ancaman bahaya komunis.

Baca juga :  Bawaslu NTB Jadikan Lingsar Desa Antipolitik SARA

Sebelum lahir gagasan memberi pangkat Jenderal Besar itu, hubungan Nasution dan Soeharto sangat tidak akur. Nasution dan sejumlah purnawirawan jenderal era 45 masuk kubu pengkritik keras pemerintahan Presiden Soeharto dengan Petisi 50. Namun, pada saat mengenakan pangkat Jenderal Besar, baik Soeharto dan Nasution sama-sam tersenyum. “Seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara keduanya,” kisah Jenderal Maulani kepada Salim Haji Said.

Berkaca dari sejarah, selembut dan “sepolos” apa pun tampilan awalnya, tidak ada penguasa yang tidak tergoda mempertunjukkan kekuasaannya ke publik. Apalagi jika waktu menjabatnya relatif lama. Bentuknya tentu bisa macam-macam.

Soekarno yang semula berkoar-koar menentang feodalisme dalam imperialisme dan kolonialisme, toh tergoda untuk “terjebak” pada neofeodalisme dalam bentuk panggilan kehormatan. Sebutan Pemimpin Besar Revolusi dan Panglima Besar Koti yang dia ciptakan sendiri, adalah dua contoh bagaimana kuatnya keinginan Soekarno menghegemoni kancah politik nasional.

Meski tidak terlalu kentara, tapi Soeharto juga senang dan tidak menolak ketika diberikan gelar Bapak Pembangunan, karena begitu masifnya pembangunan infrastruktur di eranya. Pun berbangga karena diberi pangkat kehormatan Jenderal Besar oleh Mabes ABRI di era Panglima ABRI Jenderal TNI Feisal Tanjung. Karena itu, Soeharto tidak mempersoalkan Nasution, ketika mantan atasan di militer sekaligus rival politiknya setelah Orde Baru berdiri itu, juga dianugerahi gelar yang sama.

Gus Dur, Megawati dan Jokowi saat berkuasa juga menunjukkan kekuasaan dengan memberi pangkat kehormatan, kepada siapa saja yang mereka kehendaki. Soal alasan penganugerahan, itu semua bisa dibuat sesuai selera. Subjektif, itu pasti. Tinggal menyesuaikan narasinya saja agar tidak terlalu berjarak dengan logika penerimaan publik. Yang pasti, penganugerahan pangkat istimewa juga terselip agenda khusus untuk menghargai dan membalas “jasa” figur tertentu atas berjalannya suatu pemerintahan. Kita suka atau tidak dengan realita itu, tidak mengubah hak yang diberi untuk menikmati penghormatan atas pangkat itu. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.