POSMERDEKA.COM, GIANYAR – Rencana pemindahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Suwung dari Denpasar ke Desa Temesi, Gianyar, memicu gelombang penolakan keras dari warga setempat.
Kepala Desa Temesi, I Ketut Branayoga, Rabu (9/4/2025) menyatakan keberatan atas wacana ini, dan menuntut sosialisasi yang transparan serta kompensasi yang adil bagi masyarakatnya.
“Sejak tahun 1994, masyarakat Desa Temesi sebenarnya sudah menolak keberadaan TPA di wilayah kami. Namun, karena ini merupakan aset pemerintah dan ada dana kontribusi khusus dari Kabupaten Gianyar, kami masih bisa menoleransi,” ungkap Branayoga.
Wacana pemindahan TPA Regional Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan) ke Temesi mencuat setelah TPA Suwung dinyatakan mengalami overload.
Pemprov Bali sedang mempertimbangkan tawaran investasi dari Wei Ming Environmental Protection Group, perusahaan asal Tiongkok, untuk mengembangkan proyek Waste to Energy (WTE) dengan nilai investasi fantastis, 225 juta dolar AS atau setara Rp3,375 triliun.
Namun, menurut Branayoga, masyarakat Desa Temesi hingga saat ini belum menerima sosialisasi resmi terkait proyek ambisius tersebut. Dia menilai wacana ini sudah jadi isu nasional, bahkan mungkin sudah sampai ke Presiden. Hanya, warga Temesi justru baru mendengar sepotong-sepotong dari media sosial.
Sampai hari ini belum ada sosialisasi dari Pemprov Bali, DLH Bali, atau investor. “Apakah ini cara investasi yang benar? Bagaimana dampaknya bagi kami? Apa kompensasinya? Itu semua belum jelas,” keluhnya.
Branayoga juga mempertanyakan keadilan dalam kebijakan pembuangan sampah lintas daerah. Daerah seperti Badung dan Denpasar menikmati pendapatan besar dari sektor pariwisata. Hotel, restoran, dan bisnis di sana menghasilkan sampah dalam jumlah luar biasa. “Tapi mengapa sampahnya justru dikirim ke desa kecil seperti Temesi? Ini tidak adil,” kritiknya.
Data yang beredar menyebutkan, jika proyek ini terealisasi, Desa Temesi diperkirakan akan menerima 1.200 ton sampah per hari, setara dengan 600 truk sampah yang lalu-lalang setiap harinya. Branayoga mengungkapkan kekhawatiran tentang dampak lingkungan dan kesehatan yang akan ditanggung masyarakatnya.
“Sekarang saja, lalu lintas truk sampah sudah mengganggu warga. Jika ditambah 600 truk per hari, bagaimana kondisi lingkungan kami? Bagaimana dengan kesehatan warga kami? Sampai saat ini kami belum mendapatkan jawaban pasti,” tegasnya.
Selain dampak lingkungan, Branayoga juga menyoroti aspek psikologis dan kesejahteraan warga yang selama ini hidup berdampingan dengan TPA. Dia mengklaim warga sudah cukup sabar selama puluhan tahun. Namun, jika ditambah dengan beban lebih besar, tentu akan semakin sulit bagi warga. Kompensasi yang diberikan juga tidak sebanding dengan dampak yang diterima.
Dia kembali menyatakan warga Desa Temesi dengan tegas menolak pemindahan TPA Regional Sarbagita ke wilayah mereka, tanpa dilandasi komunikasi yang jelas dan kompensasi yang adil. Mereka minta Pemprov, Pemkab Gianyar, serta investor untuk segera melakukan sosialisasi dan memberi penjelasan yang transparan sebelum proyek ini diputuskan.
Sementara itu, proyek Waste to Energy yang diusulkan investor asal Tiongkok, masih dalam tahap pembahasan di tingkat pemerintah. Apakah rencana ini akan terus berjalan atau menghadapi penolakan kuat dari warga, masih menjadi tanda tanya besar. adi