GIANYAR – Masyarakat selama pandemi Covid-19 mewabah, lebih memaksimalkan lahan pertaniannya di sawah. Namun ada beberapa permasalahan, salah satunya adalah pembagian air. Tak jarang juga para petani megarang yeh (rebutan air) untuk mengairi petak sawahnya.
Guru Besar Universitas Udayana Fakultas Pertanian, Prof Wayan Windia, mengakui permasalahan itu telah terjadi sejak turun-temurun. Sehingga menjadi petani sudah biasa ‘megarang yeh akecoran’. “Kapasitas air bisa berkurang karena saat ini banyaknya pembangunan properti maupun bangunan vila di wilayah hulu. Makanya terjadi penggunaan air berkurang. Namun kapasitas air juga kurang,” jelasnya, Rabu (26/8).
Disampaikan, sistem subak saat ini di internal dan eksternal sudah banyak tantangan. Permasalahan di internal, Windia pun mengakui tak sedikit permasalahan yang ada di subak masing-masing, khususnya di wilayah Gianyar. Salah satunya rebutan giliran air, yang kerap dijumpai di setiap subak. Khususnya menjelang proses penggemburan tanah saat akan ditraktor, hingga pasca penanaman bibit padi yang memang perlu dialiri air secukupnya agar bibit tumbuh dengan sempurna.
Disinggung bagaimana menanggapi permasalahan pembagian air di sawah tersebut? Menurut dia, harus ada kebijakan dari pengurus subak. Mulai dari jadwal pembagian air hingga pararem jika adanya maling air di sawah. “Subak itu sangat bagus jika penerapannya dengan baik, masalah air itu bisa dibagi-bagi agar pembagiannya dengan baik. Karena banyak ada kejadiannya (rebutan air) saluran irigasinya dipotong-potong dan ditutup,” katanya.
Permasalahan pembagian air di sawah sempat terjadi di salah satu subak wilayah Kecamatan Ubud. Sesuai informasi yang dihimpun di lapangan, saluran irigasi sempat ditutup menggunakan triplek dan bebatuan oleh seorang petani yang memiliki petak sawah di hulu. Lantaran airnya ditutup dan dialihkan, membuat lahan petani yang di hilir menjadi kering kekurangan air. 011