KPU Denpasar Hindari “Kutukan” 56 Persen Pemilih

KADEK Dwita Apriani. Foto: Ist
KADEK Dwita Apriani. Foto: Ist

DENPASAR – Data hasil survei LPPM Unud terkait Pilkada Denpasar memberi banyak pekerjaan rumah bagi KPU Denpasar, terutama dalam menyosialisasikan kontestasi politik pada 9 Desember mendatang tersebut. Bayangkan, ternyata ada 24 persen warga Denpasar belum tahu akan dilangsungkan pilkada. Selain itu, hanya 56 persen warga Denpasar yang tahu bahwa pemungutan suara ditunda dari 23 September ke 9 Desember mendatang. Menariknya, angka 56 persen itu seperti “bersaudara” dengan tingkat partisipasi masyarakat saat Pilkada Denpasar 2015 dengan nilai yang sama.

“Survei ini dilakukan pada bulan September lalu, dengan 420 responden secara proporsional dengan mempertimbangkan kewilayahan dan gender. Jangan sampai ada kutukan untuk 56 persen di Pilkada Denpasar ini,” kata akademisi Unud, Kadek Dwita Apriani, dalam rapat koordinasi tahapan dan diseminasi riset Pilkada 2020 yang diselenggarakan KPU Denpasar, Selasa (27/10/2020).

Bacaan Lainnya

24 persen atau nyaris seperempat warga Denpasar tidak tahu ada pilkada, sebut Dwita, tentu bukan sesuatu yang bisa dianggap ringan. KPU harus mampu meratakan pengetahuan masyarakat tentang pilkada, agar tahu kapan pilkada dilangsungkan dan apakah mereka akan bergerak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Data itu mesti menjadi cambuk bagi KPU Denpasar untuk meningkatkan sosialisasi pilkada ke masyarakat, karena itu berkorelasi dengan target partisipasi pemilih.

Baca juga :  Gotong Royong 17 Hari di 8 Kota Bersama Warga, Rayakan HUT RI, Grab dan OVO Donasikan Rp1,5 Miliar untuk Berbagai Komunitas

Dia melanjutkan, KPU RI menarget 77,5 persen untuk tingkat partisipasi pemilih, sedangkan KPU Bali memasang target lebih tinggi, mencapai 85 persen. “Bagi saya target 85 persen itu cukup ambisius, karena saat Pemilu 2019 saja partisipasinya hanya 82,5 persen,” urai doktor ilmu politik jebolan Universitas Indonesia tersebut.     

Lebih jauh diuraikan, untuk antisipasi ancaman turunnya partisipasi pemilih, dia menilai sosialisasi hibrida perlu diterapkan. Maksudnya, perlu ada gabungan antara tatap muka dan daring. Jika semua sosialisasi dilangsungkan dengan daring, hal itu dirasa agak ambisius. Apalagi KPU harus memasyaratkan pesan pilkada terkait ada 12 perbedaan di TPS dalam pilkada di tengah pandemi Corona saat ini.

“Ini tantangan bagi tim paslon dan penyelenggara. Konten sosialisasi jangan dibuat dengan cara berat, harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat,” pesannya dalam acara yang diikuti para kepala desa dan lurah di Denpasar itu.

Data lain yang sepertinya “menjewer” KPU yakni hanya 50 persen warga Denpasar tahu kandidat yang berkontestasi. Karena selama ini kegiatan sosialisasi cukup gencar dijalankan, masih ada separuh warga yang tidak tahu pilkada dirasa jadi catatan penting. Namun, Dwita menegaskan hal itu bukan tanggung jawab KPU semata, melainkan tim paslon serta pengampu kepentingan lainnya. hen

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.