DENPASAR – Sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi, tidak ada persoalan yuridis dalam kehadiran paslon tunggal pada pilkada. Namun, ceritanya berbeda jika dilihat dari tingkat partisipasi pemilih, karena terancam menurun daripada pilkada yang menghadirkan kompetisi. “Ada kecenderungan angka pemilih menurun pada pilkada dengan paslon tunggal. Sebab, ada skeptisme atas calon yang hanya ada satu,” ulas akademisi Unud, Dr. Kadek Dwita Apriani, terkait terjadinya paslon tunggal di Pilkada Badung, Jumat (11/9/2020).
Menguraikan fenomena paslon tunggal, Dwita menyebut gejalanya muncul sejak 2015. Ketika periode Pilkada Serentak 2015, sebutnya, tahapan pilkada diundur jika hanya ada satu paslon. Hal ini terjadi karena calon petahana tidak ada pesaing. Kondisi ini kemudian melahirkan fenomena yang dikenal dengan istilah “calon boneka”, karena calon penantang memang dibuat oleh penguasa.
Pada Pilkada Serentak 2017, sambungnya, paslon tunggal dibolehkan dengan aturan tertentu. Hasilnya, ada 8 paslon tunggal pada Pilkada 2017, dan 13 paslon tunggal pada tahun 2018. Meski hanya melawan kolom kosong, Dwita menilai tidak ada jaminan bahwa paslon petahana akan menang dengan mudah. “Kolom kosong pernah menang di Pilkada Makassar dengan perolehan suara 53 persen,” urai doktor alumnus FISIP Universitas Indonesia tersebut.
Faktor penyebab lahirnya paslon tunggal dalam pilkada, terangnya, dipicu sejumlah faktor. Yang paling menonjol, ulasnya, karena pragmatisme parpol yang memakai jalan pintas tidak mau mengusung calon sendiri. Motifnya jelas: tidak mau kalah. Hal ini juga menandakan bagaimana parpol gagal melakukan kaderisasi, dan di sudut lain terjadi krisis kepemimpinan di daerah.
“Alih-alih sebagai bagian dari institusi sosial untuk menyiapkan calon pemimpin, partai terkesan hanya digunakan untuk kepentingan bersifat pragmatis oleh para elitenya,” ujar dosen di FISIP Unud ini.
Disinggung konsekuensi logis dari paslon tunggal bagi demokrasi di daerah, Dwita menyebut antara lain membuat prinsip-prinsip demokrasi seperti transparansi dan akuntabilitas jadi sulit tercapai. Hal lain yang besar kemungkinan terjadi yakni muncul dan berkembangnya bosisme lokal atau elite predatoris. Satu lagi, terangnya, paslon tunggal tidak memenuhi cita-cita pemilihan kepala daerah secara langsung. “Demokrasi lokal menjauh dari substansi, dan hanya menjadi demokrasi bersifat prosedural belaka,” pungkasnya. hen