PEMERINTAH selalu mewacanakan masalah ketahanan pangan. Bahkan, setiap kampanye politik hingga ganti pemerintahan baru, baik di pusat maupun di daerah, selalu muncul gembar-gembor soal agenda untuk pencapaian swasembada pangan.
Kenyataannya, semua itu masih berupa tanda tanya. Untuk mencapai ketahanan pangan (khususnya beras) tentu tidak terlepas dari keberadaan petani, lahan pertanian, saluran irigasi, ketersediaan pupuk, dan obat-obatan pembasmi hama. Itu kondisi yang umum terjadi pada masyarakat petani atau subak di Bali.
Untuk pertanian organik tentu lain lagi persoalannya yang harus dihadapi, misalnya sumber daya manusia pada petani yang lebih baik. Sebab, petani kita belum bisa kembali kepertanian organik seperti membalikkan telapak tangan. Sumber daya manusia petani yang unggul masih jarang.
Berkaitan dengan ketahanan pangan, penulis akan menyoroti salah satu kasus persoalan di subak. Kasus yang sama tentu banyak ada di beberapa subak di Bali.Penulis, tidak bekerja sebagai petani tetapi berkecimpung secara pasif di dunia pertanian karena masih memiliki warisan sawah yang produktif untuk ditanami padi jika ada air.
Walau demikian, sewaktu-waktu ikut aktif bersama petani mengurus soal pengairan dan memberikan motivasi kepada petani agar tidak membiarkan lahan sawahnya menjadi semak belukar. Untuk itulah penulis akan sedikit bercerita soal subak yang kondisinya antara hidup dan mati.
Mengapa penulis katakan demikian? Lebih dari dua tahun lahan-lahan sawah tidak ditanami entah padi atau palawija, yang tumbuh hanya semak belukar akibat tidak ada air mengalir. Sepertinya petani mogok, pekasehnya pun lebih sibuk bekerja di hotel daripada mengurus irigasi.
Baiklah, penulis akan bercerita berdasarkan keterlibatan langsung membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi petani. Ketika lama lahan pertanian tidak tergarap karena kendala irigasi, penulis mencoba menelusuri saluran irigasi mulai induk sumber air irigasi yakni anak Sungai Ayung (Tukad Yeh Lauh).
Tepatnya pembagi air di induk yang terletak di sebelah barat Desa Adat Demayu, Desa Singekerta, Kecamatan Ubud. Saluran air itu mengaliri air untuk dua para subak Abian Tiying Samu dan Subak Abian Titing Kengetan. Menurut informasi, dari pembagi hingga sepanjang 50 meter menjadi tanggung jawab Balai Wilayah Sungai (BWS) pemeliharaannya dan selanjutnya menjadi tanggung jawab subak.
Kondisi subak antara hidup dan mati saluran air tidak tertangani denagn semestinya. Dalam hal ini memang benar-benar di luar batas kemampuannya untuk memulihkan saluran irigasi.
Sesungguhnya kondisi air di pembagi induk masih normal.Selanjutnya, volume air yang sampai di area subak kira-kira 10%. Air lebih banyak terbuang akibat saluran irigasi mengalami pendangkalan, tersumbat akibat pembangunan villa dan sejenisnya yang membuang begitu saja sisa materialnya ke saluran irigasi.
Teguran lisan para petani tidak mempan kepada pemilik apalagi para pekerja bangunan villa. Bisa dibayangkan bagaimana petani mengolah tanah pertanian yang kondisi irigasinya seperti itu. Kondisi petani benar-benar antara hidup dan mati.
Melihat usia para petani yang hampir semuanya sudah lanjut, tampaknya sulit untuk mengatasi pendangkalan dan rusaknya saluran igasi yang panjangnya hampir dua ribu meter (2km). Memang mereka sudah bergotong namun tidak seberapa bisa membantu kelancaran saluran air irigasi akibat parahnya kerusakan dan banyaknya sumbatan.
Senderan di kanan kiri saluran irigasi yang dibuat pemerintah beberapa puluh tahun lalu sudah banyak yang jebol apalagi “dibantu” oleh kepiting membuat lubang sehingga air mengalir lewat lubang kepiting ke tempat yang lebih rendah.
Ketika ada salah seorang anggota DPRD Gianyar yang terpilih mengadakan sosialisasi tentang bansos, penulis sampaikan kondisi irigasi seperti yang penulis paparkan di atas. Apa tanggapannya? Anggota DPRD yang terpilih itu tidak memberi harapan kepada nasib para petani untuk membantu memperjuangjkan atau mengusulkan kepada pemerintah agar ada perbaikan saluran irigasi.
Mungkin suara petani dalam Pemilu tidak seberapa. Keberpihakan anggota dewan dan kepala daerah, mungkin pula presiden masih sebatas wacana. Sangat berbeda halnya dengan usulan masyarakat untuk pembangunan dan rehab bale banjar, pemasangan paping begitu cepat mendapat respon karena menjadi kantong suara dalam Pemilu.
Mencermati fakta yang ada, tampaknya pemerintah masih setengah hati membenahi sektor pertanian. Kodisi subak di wilayah yang lokasi stategis untuk pembangunan villa, hotel, dan fasiltas pariwisata (seperti lokasi kedua subak yang penulis sebut) benar-benar menyedihkan.
Akibatnya, pemilik tanah lebih memilih mengalihfungsikan lahannya untuk dibangun hotel, villa, atau prasarana pariwisata lain. Mereka tidak kuat mempertahankan tanah sawahnya yang tidak menghasilakan apa-apa, lebih baik lahan dijual atau dikontrakkan.
Yang tidak kalah ancamannya bagi kelangsungkan subak adalah langkanya calon petani dari generasi muda. Mereka merasa lebih baik bekerja di sektor pariwisata daripada mejadi petani (walau petani sambilan) yang hasilnya tidak seberapa jika ditinjau dari sudut ekonomi.
Dengan tidaknya adanya generasi muda memilih sektor pertanian kemungkinan besar keberadaan subak di daderah periwitasa akan tinggal nama, sama seperti di perkotaan, yang masih kokoh hanya pura subak.
Ketika bergotong royong memperbaiki saluran irigadi, misalnya, hampir tidak ada dari generasi muda atau petani yang berumur di bawah lima puluh tahun. Umur petani yang umurnya enam puluh tahunan tentu tidak banyak yang bisa dikerjakan karena sudah kehabisan tenaga dan nafas.
Jadi, bagaimana bisa tercapai target ketahanan pangan kalau tanah pertanian tidak tergarap. Semasih dunia pariwisata menjadi andalan pendapatan, tanah pertanian diterlantarkan. Maka, bisa dibayangkan, bagaimana jika kondisi semacan Covid 19 yang membuat pariwisata mati suri, kembali terjadi? Maka, barulah akan menyadarkan semua pihak betapa pentingnya sektor pertanian. (*)
IGK Tribana, penulis adalah pemerhati subak