Gaduh Rp2 Juta/KK, Sinyal Mesin Birokrasi Butuh Diganti?

Gus Hendra. Foto: IST
Gus Hendra. Foto: IST

“MEMANGNYA waktu kampanye tidak berpikir dulu ya janji Rp2 juta/KK itu bisa dijalankan atau tidak? Apa cuma buat senang orang saja supaya memilih?” Itulah intisari komentar publik, terutama di Kabupaten Badung, atas gaduhnya realisasi janji kampanye bantuan Rp2 juta/KK pasangan Adi Arnawa-Alit Sucipta (Adicipta), pemenang Pilkada Badung 2024. Dalam benak publik, janji politik harus dibayar sesuai bunyi awalnya, tanpa ada embel-embel “syarat dan ketentuan” berlaku.

Hujan kritikan ditujukan kepada Adicipta yang belum genap sebulan menjabat sebagai Bupati-Wakil Bupati Badung. Adi Arnawa mencoba meredam suara-suara yang tidak puas dengan koordinasi ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Badung, pekan lalu. Legal opinion (LO) atau pendapat hukum Kejari diminta sebagai pijakan melunasi janji politis tanpa menepikan aspek yuridis. Hanya, melihat eskalasinya, kegaduhan ini mungkin baru menyusut ketika ada bukti Pemkab Badung merealisasikan, terutama pada saat Hari Raya Galungan medio April mendatang.

Bacaan Lainnya

Secara etika politik, paslon wajib merealisasikan janji kampanye ketika mereka diberi amanah. Hanya, perlu diingat bahwa amanah itu berlaku lima tahun. Dalam praktiknya butuh proses dan skala prioritas mana didahulukan, mana dibelakangkan. Pun bagaimana menyusun anggaran, regulasi, sampai realisasi. Di sisi lain, tak kalah penting adalah bagaimana upaya paslon untuk merealisasikan itu.

Baca juga :  Ajak Kaum Milenial “Cicipi” Jadi Penyelenggara, KPU Denpasar Rekrut PPK-PPS untuk Pilkada Serentak

Dalam konteks ini, ketika Bupati Adi Arnawa minta LO Kejari Badung bisa dibaca sebagai sinyal ada potensi pelanggaran hukum jika Pemkab Badung langsung melaksanakan janji Rp2 juta/KK itu. Tapi ini juga bukti dia sangat ingin merealisasikan janji kampanye. Pada saat bersamaan, Adi Arnawa tentu tidak ingin sampai ada kasus hukum, baik untuk yang memberi maupun yang menerima.

Pilihannya ke Kejari Badung rasanya tidak bermaksud hendak bertentangan dengan aspirasi dan kritikan publik. Dia hanya “kurang sependapat” dengan taktik yang diandaikan menjadi jalan tercepat mengeksekusinya. Sayang, upaya tersebut kurang mendapat sambutan dan respons positif media, terutama media sosial, meski Bupati Adi Arnawa sungguh-sungguh mencari jalan keluar atas kebuntuan situasi yang terjadi.

Jika ditarik garis ke belakang, situasi ini tidak terlepas dari situasi “serbabisa” dan “serbacepat” yang dinikmati masyarakat Badung di era kepemimpinan Giri Prasta-Suiasa (Giriasa), periode 2016-2025. Misalnya Giriasa langsung memberi 8.636 unit laptop kepada siswa kelas 6 SD di Badung, dirangkai dengan membagikan hibah 122 unit mobil patroli pecalang desa adat di Badung pada Desember 2016. Kini, ketika administrator pemerintahan berganti, “kenangan indah” era Giriasa didesak untuk dapat diimitasi Adicipta. Meski konteks situasi politik lokal dan nasional di era Giriasa dan Adicipta jelas berbeda, publik tentu tidak mau tahu dengan itu.

Secara umum persoalan ini dapat dimaknai sekurang-kurangnya tiga hal. Pertama, lemahnya komunikasi massa dan komunikasi politik dari Pemkab Badung dalam menjernihkan janji ini ke masyarakat. Program yang baik itu penting, tapi tidak kalah penting adalah bagaimana memberi citra positif atas program tersebut. Citra positif dapat dikonstruksi melalui komunikasi yang baik antara pemerintah sebagai komunikator dengan publik sebagai komunikan.

Baca juga :  Gubernur Koster: Sektor Pariwisata jadi Target Pemulihan Pertama

Bagaimana ekspresi, diksi dan intonasi Adi Arnawa saat menjelaskan polemik ini ke media, Jumat (14/3) di Puspem Badung, bisa dibaca sebagai bentuk kegusaran atas lemahnya memitigasi opini publik. Para pembantu teknisnya seperti kurang memahami betapa signifikan komunikasi massa mempengaruhi legitimasi pemerintahan. Entah Sekda Badung, Bagian Humas, atau Dinas Sosial sebagai motor penggerak kebijakan ini, terkesan kurang mampu menerjemahkan esensi serta aspek positif dari Bupati-Wakil Bupati. Di sisi lain, situasi ini juga mesti menyadarkan Adicipta ada bagian mesin birokrasi yang mesti diperbaiki, bila perlu dikocok ulang.

Kedua, dalam melayani masyarakat, tidak bisa dihindari pemerintahan membuat suatu kebijakan publik; suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan, nilai dan praktik tertentu. Ketika kebijakan itu dijalankan, fungsi kehumasan berperan sebagai jembatan penghubung komunikasi kebijakan publik dengan harapan publik. Ketika dua sisi ini sejalan, pencitraan yang kuat akan hadir agar pemimpin itu dapat memiliki legitimasi masyarakat untuk memimpin. Jika jembatan ini rusak, maka persepsi positif dari citra manfaat, citra efektif dan citra produktif yang diharap tidak akan tersampaikan ke benak publik.

Sebagai pembanding, janji Prabowo-Gibran untuk memberi makan bergizi gratis (MBG) sampai hari ini belum berjalan mulus. Malah di sejumlah daerah ada masalah. Belum lagi kasus megakorupsi di Pertamina, pemangkasan APBN dan APBD, atau lesunya perekonomian nasional. Namun, karena tim komunikasi Istana mampu mengelola opini publik, Presiden Prabowo masih kuat persepsi positifnya dalam 100 hari kerja, sebagaimana dilansir satu jajak pendapat media nasional. Tim komunikasi Istana bahkan mampu membuat konstruksi sosial atas realitas melalui proses institusionalisasi, legitimasi dan sosialisasi ke publik.

Baca juga :  Konsistensi PHDI Bali Urus Umat Diapresiasi, Komisi I Berang Kepala OPD Mewakilkan Undangan Rapat

Ketiga, karena berisiknya silang pendapat di media, terutama media sosial soal Rp2 juta/KK ini, publik seakan lupa masih banyak janji populis Adicipta yang mesti dikawal untuk diwujudkan. Misalnya janji apresiasi Rp10 juta bagi warga yang melapor untuk mendapat akta kematian. Atau program mengatasi kemacetan parah di Canggu dan di Kuta Selatan, atau komitmen membuat utilitas terpadu untuk mengurangi semrawut kabel berjuntaian di banyak tempat.

Sekali lagi, kontrak politik Adicipta dengan rakyat Badung selama lima tahun. Akan lebih produktif dan tepat sasaran jika mereka diberi waktu membayar utang politik, tanpa mengurangi ruang kebebasan rakyat Badung untuk mengkritisi langkah-langkah yang dijalankan pemerintah. Ini juga waktu bagi rakyat Badung terjaga bahwa setiap pemimpin punya gaya dan jalan masing-masing untuk melayani rakyatnya. Tidak adil sepertinya jika pagi-pagi kita sudah membandingkan apa sisi terang Giriasa selama sembilan tahun, dengan Adicipta yang baru hitungan hari memerintah. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.