Yudhistira bimbang saat diminta berbohong oleh Krisna kepada Rsi Drona, untuk membenarkan bahwa Aswatama, anak Drona, gugur di palagan Bharatayuda. Jika menolak, Drona niscaya tetap garang berperang dan Pandawa terancam kalah. Namun, bila dia mau mengingkari komitmen menjunjung kejujuran, semangat perang Drona jadi anjlok dan Pandawa dapat merebut kemenangan.
“Tertundanya” turun rekomendasi DPP PDIP untuk Pilkada 2020 di Bali, termasuk di Badung, menjadi bola api yang menggelinding liar bak virus Corona. Dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, kembali ada yang mulai mengusik kandidasi paket Giri Prasta-Ketut Suiasa untuk lanjut ke jilid II. Sosok bakal calon Bupati-Wakil Bupati yang dikirim ke DPP PDIP memang hanya Giriasa, tapi Suiasa kini digoyang dengan nama alternatif lain. Alit Yandinata, Ketua Komisi III DPRD Badung, termasuk dalam kelompok ini.
Secara semiosis, pergulatan itu sebagai tantangan terhadap konsistensi dan komitmen Giri sebagai bakal calon cum Ketua DPC PDIP Badung. Bicara popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas sebagai syarat kandidasi, jelas Suiasa memiliki itu semua. Tidak ada hal serius yang menghalangi dia melanjutkan berkuasa di posisi sama, kecuali memang tidak diinginkan untuk itu.
Resistensi terhadap Suiasa, bila tidak berhenti hanya melihat kontestasi Pilkada 2020 saja, sejatinya bukan hal luar biasa. Masa lalu Suiasa sebagai kader Golkar cuma salah satu alasan. Ketika Suiasa menyambung sebagai Wakil Bupati, jelas dia punya modal lebih besar dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai Bupati suksesor Giri nanti. Sebab, popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas dia dijamin lebih tinggi dibanding, dan menghalangi, kader PDIP yang tergiur menggantikan Giri. Konon, kalkulasi politik yang sama oleh PDIP dan koalisi menjadi alasan Mahfud MD batal dipilih sebagai cawapres Jokowi tahun 2019.
Bila situasi ini tidak disikapi tegas, hal itu dapat dimaknai Giri secara halus merestui Suiasa diobrak-abrik oposan di lingkaran dalam partai. Alih-alih muncul soliditas sebagai amunisi mengarungi pertempuran pilkada, justru polemik yang terpercik di media. Entah kecil atau besar, urusan domestik ini berpeluang jadi santapan penantang untuk mengganggu konsentrasi Giri.
Dengan asumsi peristiwa ini benar bukan setingan atau bagian dari manajemen konflik, Giri jelas didera beban berat. Di satu sisi dia menjadi ikon PDIP Badung dengan segala kebijakan populisnya. Ironisnya, pada saat yang sama kebijakan dia memilih calon Wakil Bupati justru ditentang pendukungnya sendiri.
Benar, untuk bakal calon Bupati, semua faksi sepakat mendukung Giri. Tetapi, dengan mendorong muncul calon alternatif selain Suiasa, langkah itu sama saja mendorong Giri tidak komit dengan mitra seperjuangan di Pilkada 2015 silam. Suka tidak suka, kemenangan Giriasa tetap disumbang figur Suiasa yang “menyeberang” dari Golkar versi Aburizal Bakrie ke PDIP. Suiasa bak kuda troya bagi PDIP dalam mempreteli kekuatan Golkar kala itu.
Ketika mengirim hanya satu paket ke DPP, sejatinya itu menandakan betapa Giri orang komit dan loyal dengan kawan seperjalanan. Saat Suiasa digoyang, manuver itu sebentuk sebangun dengan “lempar tiang kena tembok”. Penting diingat, nilai jual Giri adalah komitmen atas janji politiknya, terutama ke konsituten. Melepas situasi ini sampai secarik kertas rekomendasi turun, sangat mungkin dapat dikapitalisasi penantang untuk menggaet kubu yang tidak sejalur dengan duet Giriasa.
Agar api dalam sekam ini tidak telanjur membesar, rasanya Giri perlu menggunakan modal simbolik sebagai representasi PDIP Badung guna mendisiplinkan internal. Ketegasan itu sebagai pesan agar tidak ada yang “menggunting dalam lipatan”, terlebih perjalanan pilkada masih panjang. Hanya, pilihannya memang sama-sama berat.
Pertama, jika dorongan untuk menepikan Suiasa dari kandidasi diperjuangkan ke DPP –dengan asumsi DPP bersedia mengubah nama calon yang kemungkinan sudah diteken Megawati– hal itu dapat mendinginkan dinamika internal. Setidaknya untuk sementara. Namun, taruhannya, citra komitmen Giri bisa tersobek di mata khalayak. Apalagi, ibarat suami-istri, Giri terlihat sangat harmonis dengan Suiasa.
Kedua, sebaliknya, memperjuangkan Suiasa berarti Giri membuktikan konsistensi atas komitmen. Dengan pasangan saja komit, apalagi dengan rakyat Badung? Begitu persepsi yang bisa dibangun dan diamplifikasi ke publik. Tetapi, konsekuensinya, riak-riak di dalam bisa meluber keluar. Termasuk membuat kader senior yang memprovokasi dinamika ini jadi kecewa dan merasa “dikorbankan”.
Seiring menunggu pemulihan ekonomi Bali, inilah waktu Giri menunjukkan kelasnya sebagai pemimpin dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tentu tak dapat menyenangkan semua pihak, tapi dia dapat membuat warisan bagaimana perjuangannya komit dengan janji. Apakah memilih menjadi Bisma yang teguh memegang sumpah dengan segala konsekuensi, ataukah menjadi Yudhistira yang “terpaksa” ingkar atas komitmen sendiri demi kepentingan lebih besar? Sejarah akan mencatatnya kelak. Gus Hendra