GIANYAR – Desa Adat Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar menggelar tradisi sakral pementasan tari Rejang Sutri pada rerahinan Kajeng Kliwon Enyitan, Sasih Kalima, Senin (26/10/2020) malam.
Pementasan akan berlangsung setiap malam di wantilan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Batuan, sampai berakhirnya Sasih Kasanga. Hal itu diungkapkan Bendesa Adat Batuan, I Made Djabur, Selasa (27/10/2020).
Rejang Sutri, sebutnya, diyakini sebagai penetralisasisasih gering yang ditandai dengan berjangkitnya berbagai macam penyakit. Meski sekarang dilanda pandemi Covid-19, tradisi sakral itu tetap dilaksanakan. Sebab, Desa Adat Batuan tidak berani meniadakan.
“Dengan catatan, protokol kesehatan (prokes) tetap dijalankan, seperti wajib masker, jaga jarak, dan cuci tangan. Waktu menari juga jaga jarak, dan kami tetap ikuti imbauan pemerintah terkait prokes,” lugasnya.
Lebih jauh diutarakan, sejarah Rejang Sutri tertuang dalam Babad Dalem Sukawati. Pada tahun 1658, tuturnya, di Kerajaan Timbul (Sukawati sekarang) berkuasa Ida Sri Aji Maha Sirikan bergelar I Dewa Agung Anom.
Sebelum menduduki takhta kerajaan yang diberikan Raja Mengwi, dia lebih dahulu meninjau wilayah. Dalam peninjauan tersebut terdengar masih ada pengikut Balian Batur bernama Gede Mecaling tinggal di Tegalinggah Banjar Jungut.
Gede Mecaling terkenal suka mengusik ketenteraman masyarakat, sehingga dia hendak diusir. Sri Aji Maha Sirikan kemudian memerintah I Dewa Babi untuk mengusir Gede Mecaling. Singkat cerita, terjadi adu kesaktian antara Dewa Babi dengan Gede Mecaling dengan perjanjian siapa yang kalah harus bersedia diusir dari daerah Batuan.
Dalam pertempuran, Gede Mecaling kalah dan keluar dari Desa Batuan menuju ke wilayah Nusa Penida dengan memendam dendam. Gede Mecaling mengeluarkan pastu (kutuk) setiap mulai Sasih Kalima akan kembali ke Desa Batuan bersama rencang-rencang-nya untuk berbuat onar. Pastu ini mencemaskan masyarakat Desa Batuan. “Masyarakat Batuan kala itu menangkal ancaman Gede Mecaling lewat kesenian,” ulasnya.
Warga laki-laki di desa setiap sore berkumpul menggelar gocekan, yakni adu ayam kecil-kecil. Hal itu diyakini membuat rencang-rencang Gede Mecaling terhibur, sehingga melupakan niat berbuat onar. Khusus krama perempuan, imbuhnya, menghilangkan cemas dengan menari menurut irama teratur dan gerak tari lemah lembut.
Masyarakat Desa Batuan, sambungnya, yakin ketika Tari Rejang Sutri dipentaskan, Gede Mecaling jadi mengurungkan niat jahat karena terpesona dengan tarian itu. “Yang dipuja saat menari yakni Sang Hyang Dedari, sehingga setiap perempuan yang menari Sutri ketika dilihat oleh rencang-rencang seperti bidadari. Ini juga yang membuat dendam Gede Mecaling luluh,” ujarnya.
Zaman dulu, kata Djabur, pementasan Tari Rejang Sutri digelar sampai subuh. Sebab, rencang-rencang diyakini pergi saat ayam berkokok pertanda hari telah pagi. Sejak saat itulah, gocekan dan Rejang Sutri digelar setiap hari selama sasih gering.
Kini, pementasan tetap digelar sesuai pakem, dengan pembeda hanya kedatangan krama untuk ngayah gocekan maupun Rejang Sutri. Warga perempuan ngayah secara bergiliran, per hari biasanya 50 orang.
Pada rerahinan tertentu seperti Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem, dan lainnya, Rejang Sutri digelar lebih meriah dengan warga perempuan berhias. Biasanya anak-anak perempuan tertarik ikut ngayah Rejang Payas, dan sebagai hadiah sekaligus motivasi mereka diberi buku, pensil, dan pulpen. “Tradisi ini masineb atau berakhir ditandai dengan pementasan terakhir setiap Ngembak Gni atau sehari setelah hari suciNyepi,” urainya memungkasi. adi