DENPASAR – Aksi demo oleh gabungan Bali Tidak Diam yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja, sangat disayangkan berbagai pihak. Pasalnya, demo yang diwarnai dengan insiden pelemparan itu, dituding mencoreng Bali yang kini tengah membangun citra positif pariwisata. Bahkan demo yang dilakukan itu, diduga ditunggangi oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab.
Seperti halnya yang dikatakan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Putu Astawa Riadi, Jumat (9/10/2020), yang menyayangkan insiden itu. Mengingat, kata dia, Bali tengah berbenah membangun citra positif tentang keamanan Bali di tengah pandemi Covid-19 ini.
“Berbicara pariwisata, itu sangat sensitif sekali. Terutama terkait keamanan, kesehatan dan juga citra positif lainnya,” ujarnya seraya mengatakan, Bali sebagai etalase pariwisata Indonesia, segala sesuatu yang ada di Bali maka akan cepat menyebar ke seluruh dunia.
Bahkan jika diibaratkan, kata dia, jarum jatuh di Bali terdengar hingga di New York. Menurutnya, kendatipun penyampaian aspirasi masyarakat di depan umum telah dilindungi Undang-Undang, namun jika mengarah anarkis akan sangat berdampak pada pariwisata.
“Ini yang sangat kita sayangkan. Apalagi perekonomian Bali sangat tergantung dari pariwisata budaya,” jelasnya seraya berharap, ke depan demo dalam menyampaikan aspirasi jangan sampai menimbulkan kerusuhan maupun aksi anarkis lainnya. “Saat ini kami sedang membangun kepercayaan dalam upaya menarik wisatawan untuk datang ke Bali,” tandasnya.
Hal senada juga dikatakan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali, Dewa Nyoman Rai Dharmadi yang menyayangkan demo diwarnai dengan aksi pelemparan. “Kami sangat menyayangkan demo kemarin bahwa anarkis. Bersyukur tidak terjadi bentrok fisik. Akan tetapi terjadi pelemparan batu ke perkantoran, dan itu sebenarnya tidak perlu terjadi,” jelasnya.
Pihaknya pun berharap, aspirasi yang disampaikan para pendemo sebaiknya dilakukan secara damai dan tidak sampai melakukan pelemparan, apalagi di tengah pandemi Covid-19 ini.
“Kerumunan dalam demo memang melanggar prokes, namun saya lihat mereka sebagian besar sudah menggunakan masker. Tapi kalau mengatur jarak dalam demo itu kan sulit terjadi,” ujarnya seraya berharap, ke depan agar menghilangkan aksi-aksi yang tidak diperlukan, karena berpotensi terjadi kericuhan.
“Saya harap pendemo mengurangi peserta, pastikan maksud dan tujuannya, kemudian siapa yang ditunjuk berbicara. Demo kemarin kan semua berbicara, sehingga bagaimana terserap aspirasi jika mereka semua berbicara,” tandansya.
Sementara di tempat terpisah, Aliansi Bali Tidak Diam menggelar jumpa pers untuk klarifikasi aksi massa yang menolak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Menurut Juru Bicara Aliansi Bali Tidak Diam, Abror Torik Tanjilla, kronologi aksi di Jalan Sudirman dimulai saat massa berkumpul pukul 14.00 hingga pukul 18.15 WITA polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.
“Akibat tembakan gas air mata ini 40 orang terkena gas air mata, belasan orang luka ringan, dan 5 orang pingsan. Setelah ada mediasi dengan warga sekitar yang merasa terganggu, pukul 21.00 WITA masa perlahan bubar meninggalkan Kampus Unud Sudirman,” tuturnya.
Sementara Dewa Gede Satya Ranasika Kusuma, Ketua Bem Unud menyatakan aksi mahasiswa tidak ditunggangi pihak manapun, namun murni mewakili masyarakat menolak Omnibus Law yang terdiri dari gabungan mahasiswa, elemen masyarakat dan elemen buruh. “Intinya yang ikut aksi adalah masyarakat Bali, tidak ada lokal dan non lokal. Isu sara tidak ada hubungannya dengan aksi,” ujarnya.
Di lain sisi, Direktur LBH Bali Kadek Vanny Primaliranning mengatakan, aksi menolak Omnibus Law karena dari 905 halaman draft UU Cipta Kerja, substansi yang ditolak diantaranya UU Lingkungan Hidup.
“Karena ada pemangkasan Amdal, hanya masyarakat terdampak yang bisa berikan masukan. Hilangnya prinsip keterbukaan informasi, izin lingkungan dihilangkan turunannya izin usaha yang terletak di pusat, sehingga kearifan lokal tidak menjadi pertimbangan,” bebernya.
Sedangkan Kadek Agus Nanda pendamping hukum dari LBH Bali menyampaikan, dalam UU Ketenagakerjaan terkait Tenaga Kerja Asing (TKA) menjadi semakin mudah masuk, sehingga mengancam buruh yang posisinya akan diambil oleh TKA.
“Masa kerja kontrak bisa semena-mena, membuka praktik outsourching seluas-luasnya, jam istirahat hanya 30 menit, pengupahan berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil. UMK tidak lagi wajib karena sentralisasi dan pengupahan berdasarkan inflasi,” ujarnya.
Aliansi Bali Tidak Diam pada kesempatan ini juga meminta pembatalan UU Cipta Kerja dan mengecam tindakan represif aparat dalam mengamankan aksi. alt