SENGKETA ibarat bayangan yang setia mengikuti pencalonan legislatif di semua partai, tak terkecuali untuk Pemilu 2024. Sudah damai di PDIP Bali, gejolak pencalegan merembet ke Partai Golkar. Pertengkaran di Golkar menyudut pada dua sosok: Sugawa Korry selaku Ketua DPD Golkar Bali berhadapan dengan Gde Sumarjaya Linggih alias Demer, anggota Komisi VI DPR RI cum mantan Plt. Ketua DPD Golkar Bali.
Dimulai dari petahana Wayan Gunawan lenyap dari Daftar Calon Sementara (DCS) untuk DPRD Bali dari Dapil Bangli, kisruh merembet. Berstatus Ketua DPD Golkar Buleleng sekaligus anggota DPRD Bali, IGK Kresna Budi tidak terima ditempatkan di nomor urut 2 di bawah Agus Satuhedi, Wakil Ketua Bidang Hubungan Kemasyarakatan DPD Golkar Bali. Gunawan dan Kresna Budi bagian dari “Kelompok 13” yang protes keputusan DPD Golkar Bali, dan merapat ke Demer untuk diperjuangkan di DPP Golkar. Dari sini nyata ada rivalitas antara Sugawa dan Demer yang, meski samar-samar, bersemi sejak medio 2020.
Sempat terlihat sebagai “All the Demer’s Men” saat Musda Golkar tahun 2020, waktu jua memperlihatkan Sugawa gerah dipandang berada di bawah bayang-bayang Demer. Gaya kepemimpinan Sugawa menjalankan Golkar sesuai visinya, kurang disukai Demer. Kelihatannya Demer masih ingin mengontrol Sugawa seperti saat Sugawa menjabat Sekretaris DPD Golkar Bali dan Demer sebagai Plt. Ketua.
Perang dingin keduanya meledak dengan beralihnya rekomendasi DPP Golkar dari duet Diatmika-Muntra ke petahana Giriasa pada Pilkada Badung 2020. Perjuangan Sugawa sebagai kreator Diatmika-Muntra, digergaji Demer yang melambung ke Airlangga Hartarto selaku Ketua Umum DPP Golkar. Manuver ini melahirkan luka menganga di kubu Sugawa.
Adagium kekuatan politik bergantung siapa yang giliran berkuasa, sangat jernih terlihat di Golkar Bali. Kelompok yang sebelumnya disingkirkan Demer, digalang dan direhabilitasi Sugawa demi membesarkan partai. Tentu dengan pertimbangan yang dia dan pendukungnya yakini. Situasi ini memantik perlawanan kelompok yang tidak suka perubahan ala Sugawa, dan masuk ke gerbong Demer adalah opsi paling realistis.
Kelam kabut ini dapat dimaknai sekurangnya dalam tiga hal. Pertama, kembali terjadi perang proksi (proxy war) antara Sugawa dan Demer. Di panggung depan mereka hangat, di panggung belakang saling mengintip celah meredupkan sinar lawan. Mengingat nisbinya kedamaian, hanya soal waktu dan cara saja untuk kembali beradu. Protes pencalegan jadi jalan masuk melanjutkan perang proksi.
Keributan ini turut bisa dibaca ada optimisme Golkar menambah kursi, sekaligus waswas kader mengantisipasi kemungkinan sistem proporsional tertutup diputuskan Mahkamah Konstitusi nanti. Mereformasi komposisi caleg juga menandakan keberanian Sugawa mempertaruhkan jabatan Ketua DPD jika targetnya gagal tercapai.
Kedua, ingar-bingar ini sebagai medium kubu Demer dan Sugawa pamer kedekatan dengan elite DPP. Sugawa yang “orang daerah” karena hanya Ketua DPD Provinsi, menantang hegemoni Demer yang menjabat Korwil Bali, NTB dan NTT DPP Golkar. “Kemenangan” Demer melobi Airlangga Hartarto untuk memveto pencalonan Diatmika-Muntra, kini “dibalas” dengan sistematika Sugawa merapikan organisasi sekaligus mengeliminasi para pembangkang, yang “kebetulan” berada di kubu Demer.
Kelebihan Demer adalah kuat logistik, dianggap dekat elite DPP, anggota DPR RI, dan terlihat menjanjikan dijadikan patron bagi pendukungnya. Di sisi lain, keunggulan Sugawa adalah pengendali struktur partai, berwenang mengatur pencalonan, gantian lebih mesra dengan Ketua Umum, dan punya basis massa tradisional.
Siapa lebih kuat? Kita lihat nanti pengumuman DCS yang diputuskan DPP. Jika tidak berubah, berarti kemenangan Sugawa. Bila ada perubahan, meski tidak semua, artinya Demer masih punya taring.
Ketiga, konflik internal Golkar sejatinya bentuk lain negosiasi. Golkar memang lahir dengan DNA bertarung sejak berstatus ormas sampai berubah jadi partai. Sejarah mencatat Golkar, dengan dukungan TNI AD, bernas dan trengginas melawan PKI tahun 1965 meski PKI disayang pemerintahan Soekarno. Dihantam reformasi, Golkar sebagai kendaraan politik Presiden Soeharto yang otoriter, tetap eksis dan bahkan jadi pemenang Pemilu 2004.
So, berselancar di gelombang percekcokan sekencang apa pun memang budaya Golkar. Itu pula jawaban mengapa Golkar senantiasa menemukan titik temu dalam polemik. Bisa saja kedua kubu sama-sama “dimenangkan” DPP, dengan konsesi atau kompensasi tertentu misalnya. Jika deal ya kompromi. Konflik yang ada, entah kecelakaan atau by design, adalah negosiasi itu sendiri.
Kelenturan dalam pertikaian pun jadi resep awet hidupnya Golkar. Bahkan jika pertentangan itu sampai tersaji vulgar di ruang publik. Makin deras pertempurannya, kian bergairah dan hidup Golkar. Ini kelebihan Golkar dibandingkan partai lain sejak era reformasi. Kehebohan sekarang cuma een rimpeltje in de ocean (riak-riak kecil di tengah samudera).
Coba ingat, kontroversi Golkar mana yang tidak selesai dengan salaman? Heboh perebutan Ketua Umum pada Munas Golkar 2004 yang dimenangkan Jusuf Kalla versus Akbar Tanjung, selesai baik-baik. Ada Munas Ancol versi Agung Laksono melawan Munas Nusa Dua yang diorkestrasi Aburizal Bakrie tahun 2015, ujungnya berangkulan. Tengok juga berapa partai lahir dari Golkar. Ada PKPI, PKPB, Hanura, Gerindra, Nasdem dan Berkarya. Kesemuanya dibikin dan dikendalikan para tokoh kenyang perselisihan yang pernah berteduh di bawah Beringin.
Satu lagi, konflik Golkar sebenarnya termasuk konflik konstruktif, yakni konflik yang bersifat fungsional dan muncul karena ada perbedaan pendapat kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Ibarat Bharatayuda, perang memang harus terjadi dalam konteks mencari perubahan. Jika dikelola dengan cendikia, publik niscaya hormat dan melihat pergulatan adalah cara dewasa masing-masing kubu dalam berdemokrasi. Bila tidak, tahun 2023 bisa menjadi lonceng sinyal “All the Demer’s Men End”. Gus Hendra