Sisi Gelap di Balik Gemerlap Pariwisata Bali

ILUSTRASI. Pantai Kuta, Bali. Foto: ist
ILUSTRASI. Pantai Kuta, Bali. Foto: ist

BALI termasuk pahlawan devisa utama bagi negara. Memang ukuran pulaunya kecil , tetapi dengan potensinya beasar terutama di sektor pariwisita, Bali  mampu berperan ikut menunjang perekonomian nasional. Hal ini mengundang banyak kaum pendatang berbondong-bondong untuk mengadu nasib ke Bali.

Realitas tersebut  tidak hanya membuat Bali semakin sesak, tetapi juga kian mempersempit kesempatan kerja masyarakat lokal. Sebagai salah satu penyumbang devisa untuk Indonesia, miris rasanya melihat jika masyarakat lokalnya hidup dalam keadaan yang pas-pasan.

Bacaan Lainnya

Ditambah, sektor  bisnis dan permodalan mayoritas dikuasai oleh orang luar Bali atau  asing (Dikutip dalam liputan6.com). Senada dengan hal tersebut Megawati Soekarno Putri  sebagai tokoh Indonesia juga menyoroti bahwa Bali yang penduduknya sedikit dijejali oleh investor  yang datang untuk kepentingan pribadi. Diingatkan, jika hal ini berlanjut maka Bali akan menjadi budak di negeri sendiri.

Tidak hanya bisnis modal besar yang dikuasai tetapi juga bisnis modal kecil seperti warung ataur uko kecil yang belakangan ini menjamur di seluruh pelosok Bali. Dengan kemudahan-kemudahan yang disediakan serta penyebaran yang sistematis, fenomena ini juga mengancam keberlangsungan hidup UMKM masyarakat Bali.

Belum lagi wisatawan asing yang banyak tinggal lama di Bali kemudian membuka usaha sendiri, bahkan  merambah ke sektor usaha yang jadi pesaing pelaku usaha lokal, seperti rental motor maupun mobil dengan modal lebih besar.

Baca juga :  Pembangunan Bali 100 Tahun ke Depan

Hal ini mulai terjadi sejak masa pandemic sampai sekarang, terutama dari kalangan wisatawan Rusia dan Ukraina karena di negaranya terjadi  konflik sehingga lebih meyakinkan merekauntuk tinggal lama di Bali.

Fenomena tersebut terjadi karena belum ada regulasi yang jelas untuk mengatur wisatawan dapat membuka usaha seperti itu. Sayangnya masalah tersebut belum dapat perhatian  dari pemerintah, maupun media sehingga belum terekpos banyak ke publik.

Di sisi lain harus disadari, hidup di Bali tidak seenak iklan pariwisata yang memesona. Masyarakat dengan gaji rata-rata UMR tidak bisa menikmati keindahan dan kemewahan fasilitas pariwisata yang memiliki biaya yang mahal. Sebagian besar masyarakatnya hanya bisa menjadi jongos dan bekerja hanya untuk menyambung hidup diri sendiri maupun keluarga, di tengah gemerlap ingar-bingar pariwisata Bali.

Mengutip Ni Luh Jelantik anggota DPD RI dari Bali di kanal YouTube Dedy Corbuzier,  juga mengangkat situasi pariwisata Bali terkini. Termasuk kian banyak wisatawan luar negeri juga yang merambah pekerjaan warga lokal dengan modal yang lebih besar, terlibat aksi kriminal, mengganggu ketertiban umum, dan perilaku onar lainnya.

Sisi gelap Bali di balik gemerlap pariwisata  sebenarnya tidak lepas dari kebijakan para pejabatnya. Sebagai salah satu contoh, ketika penulis datang ke Pantai Suluban di daerah Pecatu, Kuta Selatan. Saat berdiskusi  dengan pedagang dan penjaga toilet di sana, penulis dibuat kaget karena di daerah Pecatu, ternyata air sangat sulit didapatkan warga dan tidak mendapat bantuan dari pemerintah.

Baca juga :  Bantuan Sembako Mestinya kepada yang Pantas

Kasus ini telah terjadi sejak lama, hampir 90% masyarakat Pecatu menderita krisis air bersih. Bahkan, untuk 3.000-5.000 liter mereka harus mengeluarkan uang sebanyak Rp. 400.000 untuk kebutuhan 3 sampai 4 hari.

Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan masyarakat sebagai penyumbang devisa terbesar di Indonesia harus hidup dengan kondisi kesulitan air bersih.

Padahal, Pecatu sendiri masuk dalam wilayah Kabupaten Badung yang memiliki pendapatan terbesar dadari  bidang pariwisata, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Badung 2024 mencapai Rp 9,5 triliun. Di lain sisi, pejabat di daerah tersebut juga sering menghambur-hamburkan uang bermiliar-miliar ke daerah lain di Bali yang entah tujuannya untuk apa.

Dana disalurkan ke desa-desa, dadia-dadia, sekaa, dan Pura. Bahkan, tidak sedikit candi Pura yang masih bagus memiliki nilai tradisi, magis dan historis yang tinggi diganti dengan candi pura yang baru kental akan muatan matrealis dan politis.

Sangat disayangkan jika anggaran sebesar itu hanya dimanfaatkan untuk kepentingan elektabilitas politik pribadi atau golongan. Padahal jika dikelola dengan benar, peruntukan anggaran tersebut bisa dipergunakan lebih bijak untuk kepentingan masyarakat umum.

Masyarakat lokal Bali perlu mendapat perhatian lebih serius. Sangat diperlukan terobosan kebijakan yang  proterhadap masyarakat Bali. Karena jika kondisi ini tidak kunjung berubah, maka masyarakat Bali tidak punya pilihan selain hanya bekerja dengan rata-rata pendapatan UMR yang pas-pasan untuk menyambung hidup.

Baca juga :  Ganjarist, Simbol Perjuangan Menantang Oligarki

Lalu bagimana nasib masa depan   dan anak-anak mereka yang hanya mampu mengenyam pendidikan yang secukupnya tanpa bisa berbuat banyak untuk meningkatkan kesejahteraa hidupnya, alih-alih untuk bisa ikut menikmati objek pariwisata yang memesona itu.

Di sisi lain, masyarakat Bali tidak hanya berpacu untuk memenuhi kebutuhan dasarnyas ebagai manusia, tetapi juga memenuhi kewajiban kultural mereka yang telah dilaksanakan secara turun menurun. Teramat banyak upacara agama yang harus dilakukan oleh umat Hindu di Bali mulai dari upacara kelahiran sampai kematian, tentu saja ini menjadi tambahan tanggungan finansial. Sedangkan, ritual dari kultur ini juga menjadi daya jual pariwisata Bali.

Dengan kondisi tersebut akhirnya memunculkan pertanyaan, kemana masyarakat Bali harus mengeluh? Kemana masyarakat Bali bisa mengadu? Apa yang harus masyarakat Bali lakukan?. Atau, mungkin saja masyarakat Bali sampai tidak ada waktu untuk mempertanyakan itu semua, karena harus berpacu dari hari kehari, minggu ke minggu, bulan ke bulan untuk bekerja memenuhi kebutuhan dasar serta kebutuhan kulturalnya di tengah pendapatan yang pas-pasan.

Jika Bali masih cocok diberikan tagline “Bali The Last Paradise” maka sangat disayangkan jika para penghuni surga itu nasibnya didera prahara.  (*)

Penulis:  I Ketut Arya Sentana Mahartha, M.Pd., Dosen di IKIP Saraswati, Denpasar.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

1 Komentar

  1. overdevelopment tanpa memperhitungkan dampak, kemacetan, bule rusuh, pelecehan budaya, pemerataan kesejahteraan dari pariwisata patutnya diperhitungkan dan perencanaan solusi atas permasalahan yang ada agar pariwisata bali stabil dan berlanjut