PPDB Berbasis Zonasi Menuju Pendidikan yang Berkualitas untuk Semua

KEPALA BPMP Provinsi Bali, I Made Alit Dwitama. Foto: ist
KEPALA BPMP Provinsi Bali, I Made Alit Dwitama. Foto: ist

Oleh : I Made Alit Dwitama, Kepala BPMP Provinsi Bali

SEBENTAR lagi kita akan melewati masa paling krusial dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB), yaitu pengumuman penerimaan peserta didik baru. Pengumuman ini sangat ditunggu-tunggu oleh siswa, orang tua siswa, maupun pemerintah. Tentu, pengumuman ini akan memberi warna tersendiri bagi orangtua, siswa bahkan juga pemerintah.

Bacaan Lainnya

Orang tua tentu ingin supaya anaknya mendapat sekolah yang dituju, siswa juga demikian, sementara pemerintah ingin PPDB ini berjalan sukses sesuai regulasi yang ditentukan sehingga tujuan PPDB bisa tercapai. Pasti akan ada orang tua atau siswa yang kecewa ketika tujuannya tidak tercapai, ketika anaknya tidak diterima di sekolah yang dituju, itu sangat wajar terjadi.

Kebijaksanaan orang tua dan siswa dalam memilih saat pendaftaran serta menerima hasil PPDB yang sudah dilaksanakan dengan jujur, adil, transparan dan akuntabel adalah kunci sukses untuk mencapai tujuan PPDB  yaitu pendidikan yang berkualitas untuk semua tanpa diskriminatif. Pemerintah tentu berharap semua siswa bisa bersekolah di dekat rumahnya, dengan akses yang mudah dan terjangkau serta mendapat layanan pendidikan yang berkualitas, pemerintah tentu berharap juga semua siswa dari keluarga kurang mampu dan siswa penyandang disabilitas bisa bisa diterima di sekolah negeri. Untuk mencapai itu semua, perlu dukungan dari orang tua dan masyarakat.

Apa sebenarnya yang melatar belakangi PPDB berbasis Zonasi?

Pada tahun 2017 sebelum dikeluarkan kebijakan Zonasi, sangat latah kita lihat istilah sekolah favorit atau sekolah unggulan dan sekolah tidak favorit. Sekolah favorit biasanya diisi oleh siswa-siswa berprestasi atau siswa pintar. Siswa-siswa dengan latar belakang ekonomi kurang mampu sangat jarang untuk bisa bersekolah di sekolah favorit itu.

Di samping karena jaraknya yang jauh secara geografis, umumnya sekolah favorit itu ada di kota, dibutuhkan biaya yang tinggi untuk tinggal di kota. Hal ini tentu sulit bisa dipenuhi oleh warga yang tidak cukup beruntung secara ekonomi. Bahkan terkadang, anak-anak dari warga kurang mampu terpaksa harus sekolah di sekolah swasta yang berbayar sementara anak-anak dari keluarga mampu bersekolah di sekolah negeri yang gratis.

Baca juga :  Penggunaan Dana Desa di Bangli Terindikasi Ada Penyimpangan

Ini terjadi karena anak-anak dari keluarga kurang mampu itu kalah bersaing ketika berebut untuk sekolah di sekolah negeri yang proses penerimaannya menggunakan prestasi. Kondisi ini sangat wajar, karena siswa yang berasal dari keluarga mampu memiliki fasilitas untuk berprestasi dibandingkan siswa dari keluarga yang kurang mampu. Hal ini tentu saja sangat tidak adil.

Saya mencoba menggambarkan kondisi itu dengan sebuah cerita analogi. Di sebuah kota ada seorang pengusaha kaya raya yang memiliki seorang putri, pengusaha itu mempekerjakan seorang asisten rumah tangga (ART) yang kebetulan tinggal di dekat rumahnya. ART itu  juga memiliki seorang putri yang sebaya dengan putri dari sang majikan.

Saat penerimaan siswa baru jenjang SMP, anak sang majikan diterima di sebuah sekolah negeri di dekat rumah yang merupakan sekolah favorit. Sedangkan anak ART tidak bisa diterima di SMP tersebut  dikarenakan seleksi penerimaannya menggunakan nilai. Nilai anak ART tidak cukup memenuhi passing grade yang ditetapkan. Anak sang majikan bisa diterima di sana karena memiliki nilai yang tinggi, orangtuanya memang sudah mempersiapkan dengan baik, ada guru privat yang setiap hari datang ke rumah untuk memberi les mata pelajara.

Anak ART nilainya jauh lebih rendah karena jangankan dapat les, pulang sekolah masih harus bantu orang tuanya mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga. Akhirnya anak sang ART tidak melanjutkan sekolah karena sekolah yang bisa menerimanya adalah sekolah swasta yang jaraknya sangat jauh dari tempat tinggalnya, dan biayanya juga mahal.

Bisa dibayangkan, anak sang majikan yang secara ekonomi lebih mampu sekolah di sekolah negeri favorit dan gratis, Sementara anak dari warga kurang mampu bersekolah di sekolah swasta berbiaya mahal dengan jarak yang juga sangat jauh dari rumah. Anak sang majikan setelah besar berhasil menjadi seorang ekonom dan anak sang asisten rumah tangga terpaksa harus mengikuti jejak ibunya menjadi ART karena sejak SMP sudah putus sekolah. Tentu ini akhir cerita yang sangat kurang bagus, dan kita semua tentu tidak menginginkan akhir cerita seperti itu.

Baca juga :  Resmi Dipecat, Foto Made Gianyar Diplester Hitam

Mari kita buat analogi lain, bagaimana jika cerita itu diakhiri seperti ini. Anak sang majikan bersekolah di sekolah negeri itu demikian juga anak sang ART karena penerimaan siswa di SMP tersebut didasarkan atas jarak tempat tinggal siswa ke sekolah. Tentu anak dari sang ART tetap akan bisa melanjutkan pendidikannya karena ke sekolah tidak perlu biaya karena jaraknya dekat, dan juga sekolahnya gratis karena sekolah itu adalah sekolah negeri yang dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah. Anak sang majikan akhirnya bisa menjadi seorang ekonom dan anak sang ART akhirnya bisa juga menjadi sarjana pertanian. Hidup sang anak ART bisa berubah tidak harus mengikuti jejak ibunya yang hanya seorang ART.

Mendekatkan siswa dengan sekolah melalui PPDB berbasis zonasi juga adalah upaya pemerintah memberi kemudahan akses kepada setiap anak Indonesia dalam mendapatkan pendidikan. Hal ini dilakukan dengan memberi kuota 70 persen untuk SD dan 50 persen untuk SMP dan SMA dari jalur zonasi sehingga anak-anak akan bisa bersekolah di sekolah terdekat dari rumahnya. Dengan anak-anak yang bersekolah di sekolah terdekat diharapkan rasa kepemilikan dari masyarakat terhadap sekolah tersebut akan semakin tinggi, sehingga ekosistem yang mendukung sekolah juga akan semakin baik. Dampak nyata dari PPDB berbasis zonasi juga terbukti telah mendorong dibangunnya sekolah di daerah-daerah yang sebelumnya tidak ada sekolah, sehingga anak-anak bisa lebih mudah mengakses pendidikan.

Tantangan Penerimaan Peserta Didik Baru Berbasis zonasi

Tidak dipungkiri hingga saat ini masih ada tantangan dalam mengimplementasikan PPDB berbasis Zonasi. Pertama,masih ada stigma sekolah pavorit dan tidak pavorit. Walaupun PPDB sudah dilaksanakan sejak tahun 2017 dan pemerintah sudah menghilangkan kebijakan sekolah pavorit dan tidak pavorit serta sudah berusaha memeratakan kualitas pendidikan tetapi stigma ini masih ada pada orang tua siswa. Sehinga mereka akan berbondong-bondong untuk mendaftarkan anaknya di sekolah yang dianggap pavorit. Tidak heran di sekolah yang dianggap pavorit oleh orang tua siswa pendaftarannya membludak melebihi daya tampungnya, sedangkan disekolah yang dianggap kurang pavorit pendaftarannya kurang dari daya tampungnya.

Baca juga :  Karena Ini, Layanan Air Bersih di Buleleng Terganggu

Kedua, sebaran sekolah yang belum merata. Salah satu manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat dengan dilaksanakannya PPDB berbasis Zonasi adalah dibangunnya sekolah-sekolah di daerah yang selama ini tidak ada sekolah yang menyebabkan anak-anak bersekolah sangat jauh dari rumahnya. Jaman dulu sekolah-sekolah khusunya jenjang SMA biasanya dibangun di kota-kota besar, tetapi sekarang kita bisa melihat sekolah SMA hampir ada disetiap kecamatan. Tentu membangun sekolah tidak bisa dalam satu malam, butuh proses dan waktu tapi dengan strategi zonasi ini ke depan diharapkan sebaran sekolah akan merata dan setiap anak bisa lebih mudah mendapatkan akses pendidikan.

Ketiga, orang tua ingin sekolah gratis. Salah satu alasan utama orang tua ingin anaknya sekolah di sekolah negeri karena sekolah negeri itu gratis.

Apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah stigma tersebut? 

Pertama, tentu kita laksanakan PPDB dengan obyektif, transparan, akuntabel dan apapun hasilnya mari kita terima dengan bijaksana. Sekolah-sekolah sekarang kualitasnya sudah semakin merata, sekolah swasta juga banyak yang bagus-bagus. Siswa-siswa dengan latar belakang ekonomi yang baik bisa menjadikan sekolah swasta yang kualitasnya bagus sebagai pilihan.

Kedua, saat ini dan seterusnya pemerintah akan terus berupaya membangun sekolah dengan kualitas yang sama dimanapun sekolah itu berada. Pertukaran guru dan kepala sekolah juga sudah dilakukan untuk pemerataan SDM. Demikian juga pemerataan fasilitasnya. Di beberapa daerah sudah mulai ada kerjasama antara pemerintah daerah dan sekolah swasta dalam PPDB, dimana kerjasama itu dilakukan dengan subsidi yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada siswa yang bersekolah di swasta. Sehingga siswa tidak harus bersekolah di sekolah negeri karena alasan sekolah negeri itu gratis.

Untuk itu saya mengajak semua kalangan, mari kita dukung PPDB berbasis zonasi ini supaya PPDB bisa berjalan objektif, transparan dan akuntabel. Semoga kita semua bisa berkomitmen untuk mewujudkan itu semua. Semoga PPDB berjalan lancar dan pemerataan akses pendidikan benar-benar bisa terwujud dan setiap anak di Indonesia dan Bali khususnya bisa menikmati pendidikan yang berkualitas. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.