TIDAK mungkin membahas lanskap politik Indonesia pascareformasi, terutama Pilpres, tanpa melibatkan rekam jejak PDIP dan Megawati Soekarnoputri. Tidak ada dinamika politik yang tidak melibatkan Megawati, dengan tiga kelebihannya. Mega adalah satu-satunya ketua umum partai sejak era Orde Baru; satu-satunya ketua umum partai yang pernah ditekan sekaligus berhadapan dengan rezim otoriter Soeharto; dan satu-satunya perempuan yang pernah menjabat Presiden di Indonesia yang mayoritas muslim.
Jumat (10/11/2023), lembaga survei Poltracking merilis hasil survei terkait elektabilitas partai politik jelang Pemilu 2024. Hasilnya, elektabilitas PDIP masih tertinggi di angka 23%, disusul Gerindra 18,1%, Golkar (8,8%), PKB (8,4%) dan Nasdem (8,3%). Elektabilitas PSI yang kini dinakhodai Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi, hanya 1,8%. Khusus untuk Pilpres, pasangan Prabowo-Gibran 40,2%, Ganjar-Mahfud 30,1% dan Amin 24,4%. Hasil survei senada dilansir Indikator Politik Indonesia dengan hasil Prabowo-Gibran 39,7%, Ganjar-Mahfud 30%, dan Amin 24,4%.
Dari data itu bisa dibaca bahwa PDIP terlihat akan jadi jagoan Pileg, tapi berpeluang kalah di Pilpres. Isu anak muda layak jadi pemimpin nasional, besar menyuntik insentif elektoral untuk pasangan Prabowo-Gibran, tapi tidak banyak diterima Gerindra dan Golkar serta partai koalisinya. Dapat juga dimaknai bahwa untuk membuat undang-undang atau mengawasi pemerintahan sebagai fungsi utama parlemen, anak muda masih percaya “kaum tua” yang teruji dan terbukti, PDIP misalnya, lebih piawai melakukan. Namun, untuk eksekutif, mereka “setuju” dijalankan sesuai bayangan, selera, dan tantangan anak muda seperti Gibran.
Stabilnya elektabilitas PDIP di atas 20%, menunjukkan ada kepercayaan yang terawat di pemilih muda dan tua melihat rekam jejak PDIP sebagai “singa legislatif”. Tetapi, untuk eksekutif, tercium ada kegerahan dengan pernyataan dan sikap di elite PDIP di media dan media sosial, yang terkesan meremehkan Jokowi dan Gibran, yang dipakai simbol anak muda di panggung nasional. Di era post truth sekarang, meski dengan alasan mengawal konstitusi, di mata pendukung Gibran, PDIP tetap dipandang tidak rela dan takut bersaing dengan “anak muda yang populer”.
Meski Gibran belum teruji layak melejit dari Wali Kota Solo ke panggung nasional, tapi bisa jadi memang bukan kompetensi yang dirujuk kaum muda menyukai dan, kemungkinan, memilihnya. Gibran –dan kemudian Kaesang– lebih dijadikan sebagai simbol perlawanan terhadap generasi tua, yang dinilai menghambat gerak laju dan gaya berpolitik anak muda. Plus euforia anak muda, yang didukung dan dibenarkan politisi pengusung Gibran, melihat ada mewakili mereka di kancah nasional.
Kelebihan Gibran adalah muda, putra Presiden aktif dengan segala fasilitasi, tapi itu juga titik lemahnya. Andai menang, dia mudah diposisikan sebagai pesaing ke depan oleh internal Gerindra, dan berpotensi membuat ruang geraknya dibatasi saat berkuasa. Apalagi jika kemudian agenda Prabowo dan Gerindra ke depan tanpa melibatkan kembali Gibran. Kecuali Gibran dijadikan Ketua Umum sebagai suksesor Prabowo. Realitanya, paslon untuk Pilpres memang ada karena dijodoh-jodohkan atas nama kepentingan, bukan kesamaan ideologi.
Bicara selera pemilih, sejak Pilpres 2004, unsur “disukai” atau akseptabilitas lebih berpeluang menenangkan kontestasi ketimbang kompetensi. Kemenangan SBY atas petahana Megawati pada Pilpres 2004, sebagian disumbang karena penampilan SBY, yang ganteng tampan dan gagah, di media. SBY bak antitesis impresi Megawati yang dingin dan tidak bersahabat dengan media, selain karena tahun 2004 kondisi politik dan ekonomi Indonesia sedang “kurang sesuai harapan publik” (Ishak Rafick, 2007).
Jokowi menang pada Pilpres 2014 dan 2019, terutama karena menampilkan sosok bersahaja, anti-elite, anti-oligarki, dan tidak berjarak dengan rakyat. Citra ini sangat disukai di masyarakat agraris perdesaan, terutama di wilayah Pulau Jawa. Beda dengan Prabowo yang citranya elitis, tegas, tapi agak berjarak dengan rakyat . Citra ini lebih diterima di kelas menengah, kaum terdidik perkotaan, dan pengusaha. Jokowi mampu menguasai konstituen di Jawa, memenangkan Pilpres, dan mengangkat perolehan PDIP dari 23.681.471 atau 18,95% suara pada 2014, menjadi 27.053.961 atau 19,33% suara pada 2019.
Siapa pun paslon yang menang nanti, situasinya tak beda jauh dengan Pilpres 2004 sampai 2019. Syukur-syukur bisa rekonsiliasi ala Jokowi dan Prabowo. Di Istana, ketika power sharing tidak berjalan sesuai skenario, posisi Wapres akan berubah dari pendamping menjadi pesaing. Apalagi ketika Wapres memiliki kekuatan besar di parlemen, yang akan dipakai alat negosiasi seperti dilakukan Jusuf Kalla kepada Presiden SBY.
Lalu bagaimana tensi politik usai Pemilu? Secara kultur, Indonesia dominan menerapkan politik akomodatif ketimbang konfrontatif sebagaimana di Amerika Serikat (AS) misalnya. Berangkulan dan renegosiasi kekuasaan usai pemilu adalah hal lumrah. Terkecuali PDIP dan PKS, ikut bergabung ke penguasa adalah ciri kebanyakan partai dan elite kita. Pertanyaan lebih signifikan sebenarnya adalah: apakah, dengan segala perilaku politik sejauh ini, kita masih negara demokrasi atau perlahan menuju ke autokrasi?
AS yang mengklaim mbahnya demokrasi saja, belakangan sebagian elite dan rakyatnya mulai menunjukkan ciri-ciri anti-demokrasi. Bagaimana polarisasi domestik terjadi ketika petahana Donald Trump kalah melawan Joe Biden tahun 2021, juga bagaimana Trump memenangkan Pilpres 2016, menunjukkan demokrasi mengalami turbulensi di tanah kelahirannya.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam “How Democracies Die” tahun 2018 menyebut sebaiknya kita mulai khawatir ketika melihat perilaku politisi yang: 1) menolak aturan main demokrasi, dengan kata-kata atau perbuatan; 2) menyangkal legitimasi lawan; 3) menoleransi atau menyerukan kekerasan; 4) menunjukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil, termasuk media. Uniknya, jenis kandidat yang begitu sering kali orang luar elite tapi populis atau anti-kemapanan. Alih-alih menyerahkan ke rakyat yang mudah terbuai impresi dan jargon, tanggung jawab menyaring kaum otoriter justru terletak di partai politik dan elite partai sebagai penjaga demokrasi. Gus Hendra