DI kantor DPD Partai Golkar Badung, Selasa (5/5/2020) Nyoman Sugawa Korry selaku Ketua DPD Partai Golkar Bali mengajak Wayan Muntra, mantan Ketua DPD Partai Golkar Badung yang dicopot Plt Ketua DPD Partai Golkar Bali, I Gde Sumarjaya Linggih alias Demer. Muntra diganti I Wayan Suyasa sebagai (kala itu) Plt Ketua DPD Partai Golkar Badung, tapi kemudian dirangkul Sugawa dengan dipercaya mengampu Wakil Ketua Bidang Hukum di DPD Partai Golkar Bali. “Terima kasih atas kehadiran tokoh Golkar yang sangat dihormati di Badung, Pak Wayan Muntra,” ucap Suyasa dalam acara penyaluran sembako untuk masyarakat Badung itu.
Sepotong rekaman peristiwa rekonsiliasi itu memang “romantis”, tapi itu dulu; ketika Sugawa dan Muntra sepakat untuk berdamai. Sekarang ceritanya berbeda lagi, dengan pengunduran diri Muntra dari jabatan yang diemban di Golkar. Namun, wacana yang dipakai pijakan oleh Muntra untuk mundur, sebagaimana dikutip media massa, itulah soalnya. Istilah “dizolimi” mencuat, yang menempatkan Muntra dan Sugawa yang semula rukun kini mendapati diri di posisi berseberangan, jika tidak malah berhadapan.
Di hadapan para kader saat konsolidasi di DPD Partai Golkar Badung, Jumat (4/5/2021) Sugawa mendaku ingin menyembuhkan luka lama retaknya Golkar akibat friksi usai Sudikerta dicopot karena terlibat kasus pidana. Langkah itu terwujud setelah Sugawa resmi sebagai Ketua DPD partai Golkar Bali melalui Musda pada Februari 2020. Muntra dihubungi dan diajak bergabung kembali demi melupakan perbedaan dengan satu syarat: meneken pakta integritas. Salah satunya tidak boleh mencalonkan diri sebagai Ketua DPD Partai Golkar Badung.
“Jadi, tidak ada penzoliman, buktinya beliau dijadikan Wakil Ketua Bidang Hukum dan Ketua Bakumham. Saat Pilkada Badung, DPD I bulat mendukung sampai mengajak sesepuh dan mendorong buat koalisi, bahkan dua kali mempertemukan dengan Pak Airlangga. Tugas DPD I memproses dan mengajukan ke DPP,tapi proses dan keputusan ada di DPP,” urainya.
Sugawa sadar Muntra sangat kecewa. Sempat beberapa kali menelepon tidak direspons, ketika kemudian tersambung dia mengajak Muntra berbesar hati dan tetap aktif di partai. Kala itu Muntra disebut menjawab masih ada kesibukan di desanya. Komunikasi lewat surat juga dilakukan, walau tidak ditanggapi.
Pada saat yang sama, jelasnya, Bakumham banyak menerima pengaduan masyarakat, dan sayangnya Muntra tidak aktif. Maksud hati minta penegasan, apa daya Muntra mundur duluan. “Partai tidak mungkin disandera begitu, makanya beliau diganti. Tapi beliau tetap teman, tetap saudara kita,” urainya.
Membaca komunikasi Muntra dalam romantika Golkar ini, dia menggunakan, meminjam istilah Edward T Hall, komunikasi high context. Karena konteksnya tinggi, tidak jelas apa sesungguhnya yang Muntra inginkan tanpa membaca konteks kejadiannya. Tetapi apa persisnya niat Muntra, hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Di satu sisi dia terang-terangan mundur sebagai bentuk protes dan unjuk ketidaksukaan dengan partai yang diklaim menzalimi dia. Namun, pada saat yang sama, tidak terlihat gejala dia akan minggat sekalian dari naungan “Beringin”. Kondisi ini yang dinilai Sugawa sebagai bentuk “menyandera” Golkar.
Sulit dielakkan Muntra selaku komunikator mengirim pesan kepada Sugawa dkk. bahwa dia muak dengan apa yang dialami di Golkar. Pun memamerkan dia tak gentar dengan reaksi dari partai, malah terkesan menantang sanksinya. Misalnya dipecat secara resmi. Masalahnya, alasan yang disampaikan ke media kurang memiliki efek pukul menghujam telak. Sebab, relatif mudah ditangkis oleh Sugawa dalam klarifikasi; lengkap dengan sesuatu yang diklaim sebagai bukti, antara lain administrasi surat dari DPD.
Andai Muntra hendak mengulang berpolitik praksis seperti sebelumnya, alih-alih menguntungkan, pola komunikasi semacam ini lebih berpretensi merugikan kepentingannya kelak. Minimal orang akan mencap dia inkonsisten; bak ABG yang ngambek pacarnya selingkuh tapi tidak jua minta putus atau memutuskan hubungan. Padahal salah satu resep murah dan mudah merawat kepercayaan publik atau konstituen adalah sikap konsisten, setidaknya “terlihat” demikian. So, drama satu babak Golkar via a vis Muntra kali ini ibarat plesetan judul lagu jadul oleh artis Betharia Sonata yakni “Rekonsiliasi yang Terluka”. Gus Hendra