Menggugat Efisiensi, Menanti Lahir Koalisi Rasa Oposisi

Gus Hendra. Foto: hen
Gus Hendra. Foto: hen

SOROTAN tajam mengarah ke Presiden Prabowo Subianto gegara pisau Inpres 1/2025 tentang efisiensi APBN APBD terlalu tajam menguliti anggaran. Demi ambisi merealisasi program Makan Bergizi Gratis (MGB) di tengah terbatasnya kemampuan APBN, anggaran sejumlah kementerian/lembaga yang berurusan dengan pelayanan publik terpaksa digunting. Istana mengklaim pengetatan ikat pinggang ini diniatkan sebagai “obat” untuk penyakit “pemborosan anggaran”, tapi efek obat ini sementara lebih buruk tinimbang penyakitnya.

Bagaimana dampak ekonomi kebijakan ini, banyak ulasan cendekiawan, kalangan ASN sampai jeritan rakyat kecil tersaji di media. Tulisan ini coba membaca bagaimana komunikasi politik rezim Prabowo ke depan, khususnya ketika Partai Gerindra pagi-pagi menyatakan kembali mencalonkan Prabowo pada Pilpres 2029. Pun seperti apa konstelasi politik mendatang, terutama ketika resep generik ekonomi ala Prabowo ini bermuara ke tubir jurang resesi ekonomi.

Bacaan Lainnya

Usai dilantik, masalah pertama Presiden terpilih adalah bagaimana membayar utang politik, dengan kekuasaan jadi komoditas yang ditransaksikan. Tukang tagihnya adalah para ketua partai koalisi, oligark, dan relawan (baik yang murni relawan atau pura-pura rela). Khusus untuk Prabowo, debt collector terbesarnya adalah Jokowi, sebagai imbalan berani menelikung PDIP demi memuluskan Prabowo-Gibran menang satu putaran di Pilpres 2024.

Baca juga :  Berbagi Pesan dan Pengalaman dari Seorang Perawat Pasien Covid-19

Kewajiban berikut adalah membayar janji kampanye. Makin populis janjinya, kian besar anggaran dibutuhkan. Demi merealisasi janji MBG, dengan justifikasi kebutuhan mendasar, Prabowo terpaksa memangkas anggaran pendidikan dan infrastruktur. Namun, mulut tidak sekadar untuk makan, juga berkorelasi dengan berbicara menyuarakan aspirasi serta koreksi terhadap keadaan. Semoga MBG bukan simplifikasi bahwa kebutuhan pelajar kita hanya makan siang gratis, tanpa diimbangi kemerdekaan berpikir.

Kompleksitas situasi ini dapat dimaknai sekurang-kurangnya dalam tiga hal. Pertama, entah disadari atau tidak, Prabowo sedang mengirim pesan posisinya dia tidak sekuat yang dibayangkan awam. Menggunungnya pembiayaan megaproyek di era Jokowi membuat ruang fiskal APBN 2025 jadi sempit. Di tengah kelesuan itulah Prabowo mesti membayar utang politik.

Bagaimana Prabowo rela menjadi bumper “dosa-dosa” Jokowi yang dilayangkan akademisi dan oposisi, menunjukkan dia masih berhitung untuk secara radikal keluar dari bayang-bayang Jokowi. Namun, Prabowo juga mencari cara menyeimbangkan antara Jokowi layak dihormati, tapi dalam batas-batas terkendali yang dibuat olehnya sendiri. Pun secara merangkak membuat batas imajiner antara pemerintahannya dengan “rezim masa lalu”.

Selanjutnya, tawaran koalisi permanen yang muncul seiring derasnya penolakan atas efisiensi ugal-ugalan APBN, dapat dibaca sebagai membuka pintu negosiasi, terutama bagi oposisi, guna meredam situasi. Melihat waktu dan caranya, langkah ini dapat ditafsirkan pula sebagai kegentingan situasi, dan rentan menggiring partai pada kecenderungan politik konspiratif (Wilson, 2013). Sejarah mengajarkan, jika sampai terjadi krisis ekonomi berkepanjangan, dapat merangsang terbitnya sosok baru yang memposisikan dan diposisikan sebagai simbol perjuangan menuju perbaikan.

Baca juga :  Parta Donor Plasma Konvalesen, Sempat Terpapar Covid-19

Kedua, Prabowo berupaya menjaga keseimbangan sekaligus titik temu konflik nonrealistik antara Jokowi, plus Wapres Gibran Rakabuming Raka, dengan Megawati Soekarnoputri serta kelompok oposisi yang turut dalam gerbong yang sama. Saat memberi sambutan di HUT ke-17 Partai Gerindra, Prabowo menempatkan diri sebagai penerus estafet semua Presiden Indonesia, mulai dari Soekarno sampai Jokowi. Secara semantik dia mendudukkan Megawati dan Jokowi sebagai senior Presiden sekaligus mitra setara; Jokowi adalah koalisi hari ini, dan Megawati adalah koalisi masa depan.

Mengapa Megawati adalah koalisi masa depan? Menimbang potensi situasi ekonomi –yang menjadi basis legitimasi seorang pemimpin– menurun, merayu oposisi menurunkan tensi kritik adalah opsi sangat realistis. Sebab, kekesalan publik memberi insentif dan legitimasi politik kepada oposisi. Situasinya bisa berbalik menjadi “oposisi rasa koalisi” guna memberi jeda pemerintah guna menyusun jalan keluar kebuntuan politik.

Tidak gratis tentu. Masalahnya, selain kursi di kabinet, konsesi apa ditawarkan Prabowo kepada PDIP (atau PKS) tanpa mengurangi wibawa kekuasaannya? Menggandeng Megawati tapi Prabowo bisa mengontrol kesetiaan Jokowi dan orang titipannya di kabinet supaya tidak menggerogoti dari dalam, itu masalah juga.

Ketiga, situasi simalakama ini sensitif membidani lahirnya “koalisi rasa oposisi” dalam pemerintahan. Tengok saja kasus sengkarut dana talangan Bank Century tahun 2008, yang menyeret Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam lubang hitam kegaduhan politik. Berlabel mitra koalisi dan dapat jatah menteri di kabinet, PKS dan Golkar tetap galak di DPR RI menyoroti kasus Bank Century.

Baca juga :  Aries Sujati Perintah Pendukung Turunkan Baliho

Jika indikator ekonomi terus suram akibat memaksakan berjalannya MBG, bukan mustahil skenario “lain ladang lain belalang” akan diulang partai mitra koalisi Prabowo. Rukun di kabinet, tapi garang di DPR RI dengan dalih menyuarakan aspirasi rakyat. Tanpa skenario penyelamatan manjur, cuma soal waktu Prabowo dicap gagal memanfaatkan momentum guna menguatkan posisi, plus ditinggal pendukungnya.

Salah satu opsi paling realistis adalah “menunda” program MBG sampai kondisi anggaran mampu menyediakan secara proporsional dan optimal. Salah satu jalan radikal mewujudkan itu adalah mencabut Inpres 1/2025, dengan argumen ternyata lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya bagi perekonomian dan stabilitas politik dalam negeri.

Terakhir, akan menarik juga melihat bagaimana sikap Polri dan TNI jika penolakan dan keributan efisiensi anggaran ini mengeras. Selama Prabowo mampu memberi akses sumber daya yang cukup, mungkin aman. Namun, situasi bisa berbeda ketika emosi rakyat tidak tersalurkan dengan baik, dan “memohon” pada TNI yang sejak reformasi 1998 diwajibkan netral, dengan satu atau cara lain, bersedia kembali masuk gelanggang politik mengatasi kemacetan keadaan (Salim Haji Said, 2017). Sejarah bangsa kita mencatat bagaimana TNI, selain sebagai alat negara juga alat perjuangan, ikut hadir menstabilkan kegentingan situasi politik dalam negeri tahun 1959, 1966, 1998 dan 2001. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.