Menepikan Ego Politik, Menyemai Harapan Publik

Gus Hendra

Ketika kulkul di balai banjar berbunyi dengan pola tertentu, tanpa arahan prajuru lagi, warga banjar mahfum apa yang mesti diperbuat. Terbuat dari kayu, kulkul menjelma sebagai penggerak pikiran dan emosi warga. Kondisi itu terjadi karena warga butuh simbol pemersatu dalam gerak kehidupan, dan kulkul dipakai memerankan simbol itu.

Panutan, itu kata kunci yang diinginkan masyarakat menatap Pilkada 2020 yang dilangsungkan ketika wabah Corona masih melanda, bahkan makin menggila. Dalam kondisi normal saja, pilkada lumrah dianggap hanya urusan elite. Apalagi dalam kondisi guncang ekonomi saat ini, sulit membayangkan pilkada masuk dalam daftar kebutuhan masyarakat umum. Masyarakat tahu ada pilkada saja rasanya sudah bagus.

Bacaan Lainnya

Meski begitu, membiarkan masyarakat berkubang dalam kecemasan jelas tak bijak. Pilkada dijalankan justru dengan pertimbangan segera hadir pemimpin terlegitimasi, yang kelak menjadi tulang punggung perbaikan situasi hari ini. Hanya, bagaimana percaya calon pemimpin serius memperjuangkan nasib masyarakatnya jika di antara kandidat saja sulit bertemu? Bertemunya dua paslon di Pilkada Denpasar, Jaya-Wibawa dan Amerta, saat Penampahan Galungan, Selasa (15/9) lalu dapat digolongkan anomali atau pengecualian.

Ketika para calon pemimpin mau bertemu, terlebih dalam suasana akrab, momentum itu dimaknai sebagai penyejuk di tengah gersangnya megap-megapnya harapan masyarakat dihajar Corona. Bertemunya dua seteru dengan mengedepankan citra penyama braya dapat menjadi simbol upaya menghadirkan pilkada dengan hulu kebaikan semua pihak, terutama masyarakat, bukan elite belaka. Kalau calon pemimpinnya saja rukun, secara halus mengajak para pendukung juga bersikap sama.

Baca juga :  Bawaslu RI Cek Kesiapan Pengawasan Pilkada Karangasem

Suka tidak suka harus diakui, kompetisi politik lekat dengan imaji hadirnya kekerasan, terutama kekerasan langsung (direct violence) dan kekerasan budaya (cultural violence). Johan Galtung membagi kekerasan menjadi tiga yakni kekerasan langsung, struktural, dan budaya. Kekerasan langsung bisa dilakukan karena kekuasaan punitif dengan menyerang orang atau properti, sedangkan kekerasan budaya bisa berlangsung ketika ada stigma terhadap kelompok tertentu.

Walaupun idealnya calon pemimpin menunjukkan ke publik bagaimana mengedepankan kepentingan publik, antara lain dengan merawat komunikasi sesama kandidat, masalahnya di Bali ada budaya “lek” yang berhadapan dengan budaya “jengah” dan “mepapas” (berhadapan). Ketika yang bertanding hanya dua, yang mudah muncul justru budaya jengah atau mepapas. Mengundang orang sering dipahami sebagai bentuk inferioritas, karena yang mengundang yang perlu. Sementara diundang dimaknai superioritas, karena “diperlukan”.

Publik niscaya masih ingat bagaimana Megawati Sukarnoputri menerapkan diplomasi nasi goreng untuk meluluhkan hati Prabowo Subianto usai Pilpres 2019 lalu. Tingginya tensi politik nasional seakan disiram air pegunungan begitu Prabowo bersedia datang ke kediaman, plus bersedia santap siang nasi goreng masakan Mega. Apakah setelah pertemuan itu harga barang jadi turun? Engga juga sih, tapi tayangan para pemimpin kita bersedia bertemu ketika terjadi kekerasan politik di Jakarta usai Pilpres, memberi kita harapan hari depan bisa lebih baik. Bagaimana peristiwa itu ditransformasi menjadi simbol perdamaian sekaligus pesan menyejukkan bagi khalayak, itu terpenting.

Baca juga :  Piala Soeratin U-17 Bali : Partai Tunda Padangtegal FC Kontra Putra Angkasa Kapal Berakhir Imbang 1-1

Dalam jangka pendek, representasi damai yang dihadirkan media itu memberi suntikan moral di benak masyarakat agar tidak perlu cemas dengan potensi geger plus kekerasan politik. Susah ekonomi tidak perlu dipersulit dengan melihat tawuran para pendukung paslon, misalnya. Ketika dua seteru bertemu, hal itu juga menandakan ada pengakuan bahwa lara Corona ini hanya bisa diatasi bersama-sama.

Khusus untuk Pilkada Badung yang hanya paslon tunggal, bisa memulai upaya bergerak bersama lawan Corona itu dengan membuka pintu komunikasi dengan “mantan” calon rivalnya, Diatmika-Muntra. Misalnya ngopi bareng di tempat netral. Diatmika-Muntra pun dapat kesempatan menunjukkan kaliber negarawannya, terlepas sikap politik mereka apakah memilih atau mengkampanyekan kolom kosong kelak. Pesan utamanya yakni bersama-sama, setidaknya sementara, berjuang melewati kondisi sulit ini.

Menepikan ego jelas bukan hal mudah, tapi niscaya lebih sulit melihat tantangan kita di masa depan. Vaksin dan obat Corona entah kapan terwujud, lubang resesi ekonomi menganga lebar, frustrasi massa jadi ancaman, lalu mengapa pula harus sesama kita terus baku hantam? Mari kita, terutama para kandidat di pilkada, tafakur sejenak dan resapi kearifan lokal Bali berbentuk kulkul. Jika benda mati seperti kulkul mampu menjadi simbol pemersatu warga dalam gerak tujuan bersama, mengapa tidak dengan para kandidat bukan? Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.