POSMERDEKA.COM, DENPASAR – Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, melontarkan kritik keras pada Rapat Kerja Nasional (Rakornas) Relawan Ganjar-Mahfud di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Senin (27/11/2023). Megawati menyebut penguasa saat ini bertindak seperti zaman Orde Baru, lantaran bertindak sewenang-wenang menjelang Pilpres 2024.
“Kenapa sekarang kalian yang baru berkuasa itu mau bertindak seperti zaman Orde Baru?” kata Megawati seperti dikutip dari tirto.id (29/11/2023).
Bagi akademisi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas), Dr. Nyoman Subanda, saat ini sering kita salah menganggap Orde Baru (Orba) lebih buruk dari Orde Reformasi, dan reformasi dianggap lebih prospek atau reformis atau transparan. Bahwa Orba dianggap lebih korup, diktator, tidak semuanya salah. Tapi, kalau dicermati, tidak ada satu fase yang benar-benar baik atau buruk. Malah di era reformasi ada yang lebih jelek dibandingkan era Orba.
“Seperti dikatakan Mahfud Md, korupsi merajalela sampai ke semua tingkatan. KKN multilevel dari atas sampai bawah. Menganggap semua jelek sekarang seperti cerminan Orba saya rasa tidak pas juga,” sebutnya, Jumat (1/12/2023).
Bagi Subanda, yang ingin disampaikan Mega mungkin rasa tidak suka dengan manuver Jokowi selaku kader PDIP, yang diusung dan sukses jadi Presiden dua kali. Sekarang Jokowi dianggap “pengkhianat”, tidak tahu diri, melaksanakan prinsip mengekalkan kekuasaan atau politik dinasti. Mungkin hal-hal ini yang dipandang merefleksikan munculnya Orba, atau model kepemimpinan seperti Orba.
“Tapi persisnya apa dimaksud yang tahu ya Mega, tapi dapatlah dikatakan maksudnya hal-hal itu tidak baik. Reformasi ala PDIP itu yang patut ditiru, mungkin begitu,” duganya.
Menimbang konstituen saat ini dominan generasi Z, Subanda berpendapat kalau membandingkan atau menganggap orde sebelumnya lebih jelek, strategi itu tidak efektif lagi. Di era digitalisasi, globalisasi dan kompleksitas permasalahan bangsa, tidak lagi fokus di Orba atau Orla. Justru sebaiknya menukik kepada apa yang perlu diperbaiki di masa lalu, dan apa yang perlu diperbaiki di masa depan.
“Bagaimana Indonesia lebih baik ke depan, itu lebih diperlukan. Atau bagaimana menciptakan kader lebih baik di semua komponen dan parpol, itu lebih bermanfaat,” terangnya.
Mengenai pengaruh pernyataan Mega untuk kaum milenial atau gen Z, dia berkata pemimpin mestinya memfokuskan apa yang diperlukan anak muda agar tidak apatis kepada negara, termasuk proses demokrasi. Tidak sekadar mengklaim partai sendiri lebih baik. Sejarah memang perlu diketahui generasi muda, tapi dinamika kebencian atau kecelakaan sejarah tidak perlu banyak ditekankan.
“Bagaimana pendidikan karakter jadi lebih baik dan menjadi calon pemimpin, itu lebih penting. Jangan dipaksa ikut dinamika politik yang sering tidak sehat yang dilakukan generasi baby boomer,” sarannya.
Lebih jauh diungkapkan, partai saat ini cenderung berpikir bagaimana rutinitas lima tahunan sekali; cari caleg, kepala daerah, dan presiden. Tapi, tidak menyiapkan kader lebih awal. Makanya hampir semua pemilu terjadi dalam keadaan darurat, injury time baru menentukan capres-cawapres. Seperti saat ini munculnya Gibran, Mahfud, termasuk Anies, tidak dikader dari awal. Muncul ketika dekat pemilu, pendidikan politik dan kegiatan partai untuk menyiapkan calon pemimpin sejak awal tidak dilaksanakan.
Apakah pernyataan Mega lebih pada insinuasi ke Prabowo-Gibran atau untuk edukasi publik? Subanda menilai Mega sering membahas hal tidak substansial saat berpidato. Misalnya bagaimana merebut lebih empat menteri ketika Jokowi terpilih, atau bahwa PDIP lebih baik, kader yang jadi pemimpin adalah petugas partai. Hal-hal semacam itu mungkin tidak elegan.
“Apakah pernyataan soal Orde Baru semacam edukasi atau strategi, saya rasa kedua-duanya nggak. Hanya ekspresi tidak suka Jokowi atau kecewanya PDIP terhadap kader yang dianggap berutang budi,” pungkasnya. hen