LAPANGAN Kapten Japa di Padanggalak, Denpasar Timur adalah saksi bisu gempita massa PDI Pro Mega menyambut perubahan rezim Orde Baru ke Reformasi. 9 Oktober 1998, kongres PDI versi Megawati digelar, dan kali pertama kata “Perjuangan” di belakang nama PDI dicantumkan. Dibakar terik mentari sekitar pukul 10.15 Wita, sekira 50 ribu massa membawa pelbagai atribut warna merah hasil swadaya, menyimak pidato Megawati Soekarnoputri. “Kongres ini saya sebut Kongres perjuangan. Mengapa? Karena ini adalah Kongresnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),” katanya dalam pidato pembukaan kongres (republika.id, 21/4/2023).
Berbeda dengan generasi baby boomer atau generasi X, bagi generasi Z (Gen Z), termasuk yang di Bali, cuplikan riwayat itu mungkin tidak bermakna apa-apa. Hanya sepotong kisah yang tidak ada juga di buku sejarah resmi. Namun, tanpa peristiwa itu, Bali dan juga Indonesia sangat mungkin sama sekali lain saat ini, usai runtuhnya penguasa otoriter Soeharto yang didukung militer.
Mega kini di puncak karir politiknya, baik sebagai Queen maupun Queen Maker. Wapres periode 21 Oktober 1999-23 Juli 2011, Presiden pada 21 Juli 2001-20 Oktober 2004, dan mentor Jokowi pada Pilpres 2014-2019. Tetapi, Pemilu 2024 menjungkalkan catatan gemilang Mega. Suara PDIP menurun, Ganjar-Mahfud yang dijagokan di Pilpres kalah telak oleh Prabowo-Gibran yang didukung Jokowi.
Hadirnya dua anak Presiden Jokowi, Gibran sebagai calon Wakil Presiden terpilih; dan Kaesang sebagai Ketua Umum Partai solidaritas Indonesia (PSI), terlepas dari kontroversinya, memberi makna baru atas gebrakan gen Y dan gen Z di kancah politik nasional. Pun tantangan terbuka untuk elite senior sekaliber Mega, dengan gaya komunikasi dan gimmick mereka yang mudah dimamah gen Z. Hanya, ada satu pembeda PDIP dengan partai lain, yakni paling berani membela isu kaum minoritas.
Bagaimana agar PDIP tetap adaptif dengan perkembangan keadaan dan gen Z? Ini yang dapat dilakukan Mega. Pertama, sudah waktunya Mega mengurangi gestur dan pernyataan yang mudah dipelintir sebagai “kurang percaya” dengan kemampuan gen Z sebagai penerus bangsa. Situasi tambah kompleks dengan gaya dan diksi komunikasi Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, yang galak menyerang personal, terutama Jokowi dan Gibran. Karena substansi pesan kurang terhubung, ini justru mereduksi akseptabilitas gen Z kepada PDIP.
Mewarisi keras kepala ayahnya, Bung Karno, dalam memegang prinsip, menegaskan Mega sebagai sosok konsisten. Di sisi lain, juga mempertontonkan kurang lenturnya dengan gerak zaman.
Sebagai perbandingan, tentara generasi 45 kerap bernostalgia dengan kisah perjuangan revolusi. Masalahnya, mereka terkesan ingin juniornya meniru mentah-mentah romantika dan spirit di era mereka. Ini malah jadi beban, karena keadaan dan tantangan setiap zaman berbeda. Tidak adil memaksakan nilai-nilai suatu generasi, apalagi ditambah glorifikasi, ke generasi penerus yang situasinya sama sekali lain.
Tanpa perlu dibesar-besarkan pun, Mega tetaplah tokoh perempuan besar, jika bukan yang terbesar, dalam sejarah politik modern Indonesia. Namun, meminjam pendapat Laksamana Sukardi dalam buku “Di Balik Reformasi 1998”, karakter Mega yang diibaratkan buldozer melawan kezaliman Orde Baru, tidak selalu pas jika terus dikedepankan. Ganasnya media sosial era kiwari adalah akseptabilitas dan elektabilitas figur dibuat bergantung bagaimana konstruksi framing. Di titik ini, Mega terlihat seperti sosok terasing dan hidup di masa lalu dengan determinasi sikap politiknya.
Kedua, menegaskan ini adalah periode terakhirnya sebagai Ketua Umum. Harus Mega yang menyatakan, karena tidak mungkin publik melihat ada kader berani terbuka “menyarankan” Ibu Mega mundur atau berhenti sebagai Ketum. Selain risiko dicap pembangkang jika menyenggol isu regenerasi dan suksesi Mega, karir politiknya niscaya suram.
Soal siapa yang pantas menggantikan, biarlah itu urusan internal PDIP. Tetapi, melihat suasana kebatinan dan bagaimana partai ini bergerak di bawah kendali Mega, pilihan paling moderat dan realistis tetap dipegang trah Soekarno. Ajaran Tri Sakti Bung Karno yang menjadi sokoguru partai pemenang Pemilu 1999, 2014 sampai sekarang, jadi legitimasi keturunannya sebagai “pemilik” partai. Apakah wangsit diterima Prananda Prabowo atau Puan Maharani, rasanya di saku Mega sudah ada namanya.
Di sudut lain, karena PDIP adalah Mega dan demikian sebaliknya, tentu Mega tidak bisa melepas penuh partai. Lembaga baru seperti Dewan Penasihat atau Dewan Pembina yang memiliki hak veto atas keputusan Ketua Umum adalah opsi paling logis untuknya. Pertimbangannya, pertama, PDIP hampir pasti terbelah jika kehilangan Mega sebagai solidarity maker. Kedua, entah alamiah atau didesain, belum ada terlihat kader berkapabilitas menyaingi Mega, apalagi menyamai. Ketiga, memudahkan komunikasi atau lobi ke partai lain, terutama yang elite partainya ada sejarah kurang mesra dengan Mega.
Ilustrasinya begini. Jika ada kebutuhan komunikasi politik, dan Mega tetap Ketua Umum, suka tidak suka posisinya setara dengan Kaesang yang anak kemarin sore. Atau sejajar Agus Harimurti Yudhoyono, anak SBY, sosok yang “dihindari” Mega gegara Pilpres 2004. Jurang komunikasi dan nilai budaya antar-generasi menganga lebar. Memang, jika tak berkenan, Mega bisa mengutus siapa saja sebagai duta PDIP. Tetapi, suasana kebatinan dan jaminan komitmen tentu berbeda ketika figur ketua umum langsung bicara.
Ketiga, dengan tut wuri handayani, Mega lebih berposisi sebagai simbol perjuangan partai, dan generasi muda bergerak di depan sesuai tuntutan era. Citra “kemudaan” hari ini menjadi faktor pembeda di mata gen Z, yang secara kuantitas tidak dapat dianggap sebatas objek politik belaka. Kemenangan pasangan Prabowo-Gibran banyak disumbang suntikan suara gen Z, yang terpikat gaya komunikasi Gibran dengan mengeksplorasi kemudaannya.
Harus diakui, PDIP terlihat keteteran menandingi gaya komunikasi politik Gibran yang, bak lubang hitam, menyedot perhatian gen Z. Jika masih mengedepankan gaya komunikasi Mega yang dominan konfrontatif, PDIP rentan kehilangan suara kaum mudanya di 2029. Dan, jika PDIP terus merosot, maka melemah juga harapan kaum minoritas, Bali termasuk di antaranya, untuk mendapat keberpihakan dan pembelaan PDIP. Gus Hendra