GIANYAR – Tradisi magis pertunjukkan calonarang setiap enam bulan di Margi Agung, Jaba Pura Dalem Puri, Banjar Tebesaya, Peliatan, Ubud, tetap dilaksanakan saat pandemi Covid-19. Warga tidak berani mengabaikan aci penolak gering ini, sehingga calonarang tetap digelar, Minggu (11/10/2020) malam, namun tanpa penonton selain panitia.
Demkian pula, tempat, waktu hingga durasi pertunjukan pun terpaksa menyesuaikan setelah pihak prajuru adat berkoordinasi dengan Satgas Covid-19 Gianyar. Hal itu diungkapkan Kelian Banjar Tebesaya, I Gusti Ngurah Bajra, Minggu (11/10/2020).
Lebih lanjut Bandra mengatakan, berbeda dengan sebelumnya, pertunjukan calonarang yang dipersembahkan secara rutin setiap enam bulan, pada Minggu (Redite Kajeng Kliwon Pujut), kali ini digelar dengan sederhana. Mengingat tradisi ini wajib digelar dan juga protokol kesehatan tetap terjaga, seniman dura desa pun tidak dilibatkan. “Penabuh, penari dan lainnya dipersembahkan seka truna dan warga. Jadi kami tidak menampilkan seniman-seniman dari luar desa,” ujarnya.
Pihaknya juga menyampaikan permakluman kepada warga, agar melakukan persembahyangan aci ini dari rumah. Karena semua prosesi akan dilaksanakan panitia. Termasuk penonton pun dibatasi, hanya dari panitia dan warga yang mendapatkan tugas. “Kami tidak membuat kalangan (panggung) khusus. Tempatnya pun kami pindahkan di jaba pura. Tapi pada puncak prosesi tetap dilaksanakan di Margi Agung,” jelasnya.
Sementara itu, Jero Bendesa Adat Peliatan, I Ketut Sandi, mengungkapkan, persembahan aci panyalonarangan ini adalah prosesi penyucian jagat. Sesuai dengan isi Lontar Brahma Kertih dan Roro Segara Gumi, karena keberadaan setra/kuburan berada di utara (nguluning jagat) Desa Adat Peliatan.
“Upacara yadnya ini memang rutin diadakan setiap enam bulan sekali. Sebagai Warga Desa Adat Peliatan, tidak berani tidak melaksanakan upacara yadnya tersebut, karena dulu pernah tidak melaksanakan, mengakibatkan terjangkit wabah penyakit sampai banyak warga yang meninggal dan banyak kejadian diluar akal sehat,” ungkapnya.
Karena itu, kata Sandi, sesuai hasil rapat Banjar Tebesaya, Desa Adat Peliatan, dengan Satgas Covid-19 Gianyar, memutuskan yadnya aci panyalonarangan tetap digelar dengan memperhatikan protokol kesehatan Covid-19. “ Kami juga tidak ingin warga kami terpapar Covid-19, karena itu, kami tidak melibatkan penonton dan hanya panitia saja,” jelasnya.
Dari cerita warga, pementasan ini bermula dari sesaudan/sesangi yang diupah para saudagar yang berasal dari Ubud dan sekitarnya. Dimana, setiap kali para saudagar ini berjualan ke tempat jauh, selalu diawali dengan permohonan keselamatan pada sesuhunan yang malinggih di Pura Dalem Puri.
Ketika itu perjalanan pedagang ini cukuplah jauh dan memakan waktu sampai bulanan. Daerah tujuannya sampai manjangkau Kabupaten Buleleng, Jembrana, Klungkung, Karangasem, dan daerah lainnya. Sekembalinya, para saudagar ini berpatungan menghaturkan sesanginya atas keselamatan dan rejeki yang diterima.
Rutinitas ini pun terus berjalan seiring dengan keyakinan krama. Namun, dalam perjalanan waktu, jumlah pedagang ini samakin menyusut dan beralih ke profesi lain. Akhirnya pementasan calonarang ini pun sempat terputus beberapa tahun. Hingga akhirnya, warga terkena gering. Wabah aneh yang melanda ketika itu, sangat mencemaskan warga.
Penyebabnya, diyakini karena tidak ada lagi persembahan aci calonarang sebagaimana biasanya. Maka sejak itu, pementasan calonarang selalu dipersembahkan. Cerita pun saling berkaitan satu sama lainnya. Bahkan banyak berkah yang dirasakan segenap warga setiap pementasan calonarang, dari larisnya pedagang, mendapat jodoh, serta berkah lainnya. 011