RAMAI-ramai kader Partai Gerindra di Bali melaporkan I Made Suryana, Kades Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan pada Jumat (13/6/2025). Suryana tidak akan menandatangani permohonan masyarakat jika berbau “Gerindra”, itu pangkal musababnya. Pernyataan frontal yang disampaikan di wantilan Desa Baturiti pada Sabtu (31/5) silam itu, kini dipolisikan karena dianggap menyebarkan ujaran kebencian. Konteks pernyataan Suryana terkait hajatan Pilkada Tabanan 2024 silam, dan dia disebut pendukung PDIP.
Bisa jadi di balik ucapan garang Suryana itu terselip niat “melindungi” kepentingan desanya, untuk memetik bantuan keuangan dari Pemkab Tabanan atau dari Pemprov Bali. Publik mafhum Bupati Komang Sanjaya dan Gubernur Wayan Koster adalah kader PDIP. Dan, sudah rahasia umum dana hibah lebih mudah mengalir ketika pemohon dinilai memiliki “warna” sama dengan penguasa. Dilihat dari titik ini, sikap Suryana bisa “dimaklumi”. Dan, jika dilakukan dalam senyap, alih-alih demonstratif, mungkin cerita akhirnya akan berbeda.
Namun, pada saat yang sama, perilaku itu layak disesalkan. Sebagai pejabat hasil kontestasi, negara memberi dia kelebihan dengan kewenangan, anggaran dan diskresi membuat kebijakan. Semua limpahan itu dihajatkan memberi manfaat kepada semua warganya tanpa kecuali. Tidak ada lagi warga “sini’” dan “sana” usai kontestasi.
Secara das sein, peristiwa semacam ini sejatinya galib dilakukan di ranah politik praksis. Seseorang yang mendapat kekuasaan dari proses elektoral, niscaya akan memperluas basis dukungan, minimal mempertahankan. Siapa pun yang berpeluang menjadi pesaing, dengan satu atau cara lain, akan disingkirkan demi melanggengkan kekuasaan.
Ketika Bung Karno berkuasa, dia menyingkirkan politisi sipil dan militer yang dipersepsikan dapat menghalangi dalam menjalankan visinya mengurus Indonesia, dari panggung kekuasaan. Misalnya rekan seperjuangan seperti Sutan Syahrir ditahan, Jenderal Nasution dipreteli dari rantai komando ABRI.
Jenderal Soeharto juga melakukan hal sama, meski dengan cara terlihat “lebih konstitusional”. Misalnya, dengan dukungan elite ABRI, melucuti kekuatan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Jenderal yang dirasa berpotensi sebagai “matahari kembar” seperti Sarwo Edhi Wibowo atau LB Moerdani, ditepikan.
Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati yang dipilih MPR setelah Reformasi tidak sampai sejauh itu berbuat. Entah ada niat atau tidak, yang pasti waktu memerintah mereka terlalu pendek untuk mengotak-atik konstelasi negeri demi ambisi pribadi.
Di era Presiden dua periode yakni SBY dan Jokowi, hal serupa terjadi meski bentuknya samar-samar. SBY berusaha menyingkirkan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, yang dinilai makin kuat cengkeramannya di Demokrat. Di era Jokowi, isu tiga periode dengan segala macam justifikasi politisi dan yuridis dikumandangkan para loyalisnya sejak 2021. Presiden Prabowo? Belum kelihatan ada tanda-tanda mengarah ke sana secara terang benderang.
Kembali ke Suryana, sepertinya dia lupa salah satu sila dalam Pancasila adalah “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bagaimana berharap dia mampu menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya di negara demokrasi, jika dalam pilihan politik saja semua dipaksa untuk seragam? Jika hendak fanatik pada satu partai, itu hak dia sepenuhnya. Yang penting tidak mengurangi hak dan keadilan masyarakatnya untuk sejahtera, apa pun warna pilihan mereka.
Bung Karno saat pidato pada 1 Juni 1945 memakai kata “Sociale rechtvaardigheid”, istilah dalam bahasa Belanda yang berarti keadilan sosial. Ini menyudut pada konsep kesempatan yang setara bagi semua orang dalam masyarakat, tanpa diskriminasi. Bung Karno memimpikan Indonesia yang sejahtera dan adil dalam memenuhi hak asasi rakyatnya. Pun semua orang dapat hidup dengan martabat dan memiliki kesempatan berkembang. Mengacu konsep itu, tampaknya pernyataan Suryana bentrok dengan cita-cita mulia Bung Karno sebagai bapak ideologis PDIP.
Pelaporan ke polisi ini bukan sekadar gaduh antara Kades Baturiti dengan Gerindra. Ini bentuk intimidasi dan pesan terbuka bahwa Gerindra tidak diterima di Baturiti. Eksistensi Gerindra seakan dimaknai sebagai alarm darurat bagi Suryana. Padahal justru pernyataan frontalnya itu mengirim sinyal darurat sehat berdemokrasi di Bali, sekurang kurangnya di Baturiti.
Dia seperti setia dengan fantasi atau khayali (simulacrum) yang dibuatnya sendiri, dan menciptakan sikap bermusuhan kepada siapa saja di luar kumpulan yang diakui itu. Hari ini Gerindra sebagai lawan terdepan di Pilkada Tabanan yang dibegitukan. Siapa menjamin kekesalan serupa tidak dilayangkan ke partai, kelompok masyarakat atau warga lainnya di sana?
Peristiwa ini menjadi kontradiktif ketika kita membaca berita bagaimana mesranya Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDIP dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, dalam gelanggang politik nasional. Malah santer terdengar jadwal Kongres PDIP terus tertunda, karena masih merumuskan sikap paling tepat terkait sikap PDIP terhadap pemerintahan Prabowo ke depan. Itu artinya dialog dan komunikasi antara Megawati dan Prabowo sangat cair. Sangat disayangkan jika malah ada pihak yang malah bikin keruh di akar rumput.
Ketua KPU Bali, I Dewa Agung Gede Lidartawan, di satu kesempatan, pernah mengingatkan agar parpol lebih transparan melaporkan penggunaan dana banpol dari pemerintah. Banpol ditujukan untuk pendidikan politik bagi kader partai, salah satunya supaya menghormati perbedaan pilihan politik. Ketika masih ada ancam-ancaman seperti ini, publik seolah dirangsang bertanya bagaimana efektivitas penggunaan dana banpol itu?
Sebagai penutup, sikap Gerindra yang mempolisikan Suryana tersebut layak dihormati. Artinya mereka elegan merespons keributan politik ini dengan mengedepankan proses hukum. Pola sama pernah dilakukan PDI Mega saat menggugat hasil Kongres Medan tahun 1996. Sikap moderat ini niscaya dapat mereduksi potensi pecahnya konflik horizontal. Soal terbukti atau tidak ada pidana, kita percayakan polisi yang menyelidikinya. Gus Hendra