PRESIDEN Jokowi kembali memainkan strategi komunikasi politik dengan wacana yang memantik perdebatan publik, yang terbaru adalah menyatakan Presiden boleh berkampanye. Meski tidak menyebut kubu paslon mana, tapi publik mahfum ke mana arah kampanye itu. Pernyataan Jokowi jadi sangat seksi menjelang kian dekatnya waktu pemungutan suara Pemilu pada 14 Februari 2024 mendatang. Dan, seperti biasa, polarisasi opini meletup di ruang publik.
Dalam analisis wacana kritis, pernyataan Jokowi bisa dimaknai sekurang-kurangnya tiga hal. Pertama, menjadi alasan pembenar sekaligus penguat untuk makin terang-terangan menguatkan posisi paslon nomor urut 2, Prabowo-Gibran. Berbeda dengan Presiden Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono yang terlihat kurang didengar, untuk tidak menyebut mulai ditinggalkan, saat menjelang akhir masa jabatan, posisi Jokowi sampai kini sangat powerfull. Bahwa ada isu pelibatan aparat lembaga negara tertentu untuk memenangkan Prabowo-Gibran, hal itu justru menunjukkan betapa “menakutkannya” perintah Jokowi jika tidak ditaati.
Tetapi, secara logika, kian agresif Jokowi terlihat mendukung, justru melemahkan klaim elektabilitas Prabowo-Gibran bisa menang Pilpres dalam satu putaran. Jika memang demikian fakta di lapangan, kenapa pula harus Jokowi “mengorbankan diri” untuk dirisak publik dengan tuduhan tidak netral sebagai Kepala Negara?
Publik niscaya masih ingat istilah cawe-cawe yang diutarakan Jokowi pada 29 Mei 2023, yang membuat sejumlah pihak keberatan dan menuding Jokowi ikut campur penentuan capres. Secara substansi, wacana cawe-cawe dan Presiden boleh berkampanye sama saja, yakni sebagai landasan moral atau legitimasi bagi Jokowi untuk ikut “bertanding” di Pilpres. Namun, siapa yang akan diuntungkan dengan tindakan itu, hanya Jokowi yang paling tahu.
Kedua, jika pernyataan Jokowi ditujukan memperkuat posisi Prabowo-Gibran, bisa jadi sebaliknya yang terjadi. Jokowi lebih terlihat membuka pintu kian lebar bagi rival Prabowo-Gibran untuk makin sengit menyerang dengan pelbagai narasi negatif. Seakan narasi politik dinasti dan perusak konstitusi belum cukup panas, manuver Jokowi kali ini membuat arsenal paslon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud makin penuh. Bukan hal mustahil pada debat terakhir, Prabowo tambah direpotkan menangkis serangan Ganjar atau Anies, terutama pada sesi akhir debat.
Memang, debat tidak sekadar kandidat menebar janji atau visi, misi, dan program yang akan dijalankan. Debat juga panggung besar untuk memperlihatkan kemampuan merespons cepat persoalan dalam bentuk pertanyaan panelis maupun rival. Dari sini terlihat kemampuan kandidat berpikir analitis, kritis, serta komprehensif ketika dihadapkan situasi penuh tekanan dan tidak diduga. Respons saat debat memberi gambaran kepada publik kira-kira bagaimana sang kandidat ketika dia memimpin kelak.
Ketiga, bahwa sampai menegaskan akan memihak, juga bisa dimaknai Jokowi mulai tak sabar dengan pergerakan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo-Gibran. Pernyataan itu seakan mengonfirmasi isu Jokowi kurang puas dengan elektabilitas Prabowo-Gibran yang masih berkutat di bawah 50 persen, kendati sekian banyak strategi kampanye dijalankan. KIM memang gemuk dan paling menjanjikan kemenangan, tapi yang terlihat paling kencang bergerak hanya Gerindra dan PSI. Partai lain lebih sibuk memenangkan Pileg ketimbang Pilpres, karena insentif elektoralnya lebih menggiurkan.
Kalkulasi politiknya, jika Prabowo-Gibran menang, yang paling banyak dapat insentif elektoral adalah Gerindra dan PSI. Gerindra jelas karena Prabowo adalah Ketua Umum mereka, sedangkan PSI karena Kaesang Pangarep selaku Ketua Umum adalah adik kandung Gibran. Golkar, PAN dan Demokrat sebagai partai parlemen Senayan, sejauh ini, tampak tidak terlalu banyak mendapat suntikan elektabilitas meski jalan bareng dengan Prabowo (dan kemudian Gibran) sejak September 2023.
Selain itu, karena Pilkada Serentak akan dilangsungkan pada 2024, dan kemungkinan Pilpres dua putaran, fokus partai-partai jadi terpecah. Berhubung tidak kebagian gurihnya efek ekor jas kandidat di Pilpres, mereka lebih memilih menguatkan kaki-kaki untuk membidik kursi kepala daerah. Makin besar perolehan kursi di DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota, makin kuat posisi tawar jika mengusung kandidat kepala daerah. Meski jumlah kursi kecil tapi bisa jadi penentu dalam syarat minimal membentuk koalisi, tambah mahal pula harga pemihakan partai itu.
Jadi, bukan tidak mungkin Jokowi sampai terlihat “nekat” menyatakan Presiden boleh kampanye di Pilpres, pula sebagai pesan agar parpol koalisi lebih serius memperjuangkan putra sang Presiden. Bila sinyal itu kurang diindahkan, hanya soal waktu lahir wacana baru yang lebih vulgar dan keras, dengan pelbagai justifikasi, untuk memihak paslon yang didukung Jokowi.
Soal etis atau tidak, dalam politik praksis yang muaranya adalah kekuasaan, pernyataan Jokowi hal biasa-biasa saja. Bahwa kemudian hal yang biasa menggelinding seolah kejadian luar biasa, sebatas memperlihatkan bagaimana sensitivitas politik kita belakangan ini. Apalagi ada isu Jokowi mau balik mesra dengan PDIP, tapi tanpa harus melepas KIM yang resmi mengusung anaknya. Konon, Puan Maharani ditawari jabatan Menko sebagai konsensi perekat silaturahmi untuk menyambung rasa yang pernah ada dari Jokowi ke Megawati. Jika isu itu benar, terlepas kabarnya gagal menembus tembok tebal bernama Megawati, isu tersebut memperlihatkan bagaimana upaya Jokowi menjaga pintu panggung belakang tetap terbuka untuk tetap bisa mengontrol kekuasaan. Soal apakah kekuasaan tadi demi mengawal dan memastikan Indonesia keluar dari kondisi masih di level middle-income, atau alat negosiasi untuk antisipasi agar “dosa-dosa” politiknya tidak diusik ketika tak lagi menjabat Presiden, atau semata-mata untuk melanggengkan politik dinasti, biarlah tinta sejarah kelak yang menuliskannya kelak. Gus Hendra