DPP Partai Gerindra bikin kejutan dalam merilis rekomendasi untuk Pilgub Bali 2024, dengan mengusung Ketua DPD Partai Gerindra Bali, Made Muliawan Arya alias De Gajah sebagai calon Gubernur (cagub). Rekomendasi hanya untuk calon Gubernur, sedangkan calon Wakil Gubernur (cawagub) dibiarkan kosong. Tentu untuk kemudian dicarikan figur yang cocok, tepat, dan memiliki elektabilitas mumpuni. Situasi ini menyudut kepada situasi head to head antara PDIP dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, di mana Gerindra sebagai dirigennya.
Dalam kontestasi politik elektoral, menjadi kawan atau lawan tentu mesti menimbang minimal tiga hal. Biaya kompetisi, keuntungan setelah berkuasa, dan probabilitas keterpilihan oleh konstituen (Gary Cox, 1999). Jika keuntungan setelah berkuasa lebih besar tinimbang biaya bertanding, plus probabilitas menjanjikan, ya mending bertanding daripada jadi pendamping. Namun, melihat konteks perjalanan De Gajah sebelumnya membuka pintu komunikasi dengan elite PDIP, situasi saat ini jadi menarik dicermati. Alih-alih sebagai cawagub bersama kader PDIP, pilihan Gerindra mengusung kader sendiri sebagai cagub ini sekurang-kurangnya bisa dimaknai tiga hal.
Pertama, ini pernyataan kegusaran atas lambatnya elite PDIP memberi kepastian atas tawaran kerja sama Gerindra untuk Pilgub Bali. Jika ditelusuri ke belakang, De Gajah beberapa kali menyatakan Gerindra sangat membuka diri untuk bekerja sama dengan seluruh partai di Bali. Dia menjalin komunikasi intens dengan Wayan Koster sebagai Ketua DPD PDIP Bali, sebelum dan sesudah Pemilu 2024.
Intensitas pertemuan dan hangatnya wacana yang mengalir dari mereka di media massa, menyiratkan hasrat gotong royong di Pilkada Serentak, khususnya Pilgub Bali 2024, bukan basa-basi. De Gajah juga pernah menyatakan tidak keberatan dipasangkan dengan kader PDIP. Itulah alasan mengapa sempat ramai wacana kerja sama PDIP-Gerindra untuk Pilgub Bali di media sosial, dengan memunculkan paket Koster-Mulia atau Giri-Mulia.
Sayang, sampai pekan kedua ketiga Agustus, dan pendaftaran ke KPU dibuka 27 Agustus, PDIP tak kunjung merilis rekomendasi untuk Pilgub Bali. Realitas ini menandakan kedua partai “sepakat untuk tidak sepakat” dalam negosiasi. Dan, situasi ini kabarnya membuat petinggi Gerindra sebal. Ogah terkungkung di tengah kejaran waktu pendaftaran, Gerindra memilih jalan sendiri meski itu berarti harus berhadapan dengan PDIP.
Kedua, keputusan Gerindra juga bisa ditafsirkan adanya pergeseran sikap Ketua Umum Prabowo Subianto dalam hubungannya dengan Megawati Soekarnoputri di PDIP. Bagaimanapun karena pernah berkoalisi di Pilpres 2009 meski lalu berhadapan di Pilpres 2014 dan 2019, keduanya dikenal memiliki kedekatan hubungan personal dan saling menghormati. Tetapi, meruncingnya sikap PDIP kepada pemerintahan Jokowi usai terjadi turbulensi di Partai Golkar pekan lalu, membuat Prabowo sebagai suksesor Jokowi jadi kurang nyaman. Berhubung elite PDIP di Bali dinilai “terlalu jual mahal”, dan Prabowo harus menjaga kehormatan partainya, keputusan sulit terpaksa diambil.
Merekomendasi De Gajah, dengan sendirinya Prabowo menutup pintu bagi PDIP di Pilgub Bali. Cuma, sejauh ini Gerindra tetap konsisten mendukung paket yang digadang-gadang PDIP, Gede Dana-Swadi, di Pilkada Karangasem. Gerindra bahkan sampai menepikan Ketua DPC Gerindra Karangasem, Nyoman Suyasa. Fakta kontradiktif ini makin menguatkan sinyal batalnya kerja sama di Pilgub lebih karena faktor “oknum” PDIP yang diajak komunikasi, bukan mutlak karena mempertimbangkan partainya.
Ketiga, karena De Gajah adalah calon dari Bali Selatan, maka calon Wakil Gubernur niscaya melirik orang dari Bali Utara. Siapa orang itu? Yang paling realistis tentu Putu Agus Suradnyana, kader PDIP cum Bupati Buleleng periode 2012-2022. Apa sekiranya pertimbangan memilih Suradnyana, ini pernah penulis ulas di tulisan berjudul “Agus Suradnyana Maju Pilgub Bali, Ilusi atau Intimidasi untuk PDIP?”
Singkat tutur, Suradnyana punya modal finansial sebagai pengusaha, modal sosial dari jejaring pertemanan, dan modal simbolik karena dua periode sebagai Bupati Buleleng. Dengan DPT mencapai 611.000 lebih, mengambil sosok dari Kabupaten Buleleng adalah syarat tak tertulis memenangkan Pilgub Bali.
Soal apakah Suradnyana bersedia “hanya” sebagai calon Wakil Gubernur mendampingi De Gajah yang jauh lebih junior di politik, entahlah. Tunggu saja apakah dalam waktu dekat ini dia hengkang atau tidak dari PDIP, entah karena dipecat atau mengundurkan diri. Jika itu terjadi, maka ya dia hampir pasti berpaket dengan De Gajah. Pula bisa saja “di-Golkar-kan” sebagai simbol soliditas KIM Plus.
Dalam lanskap dinamika nasional, satu gosip politik gurih terkini yakni adanya operasi senyap oleh Istana untuk “menebang Beringin”. Peristiwa ini memantik pertanyaan nakal: apakah operasi dengan modus serupa akan terjadi juga pada Pilkada di Bali? Jika iya, siapa saja masuk dalam “daftar pendosa”? Kegeraman Megawati dan petinggi PDIP atas manuver penguasa lewat media massa, mudah dibaca sebagai peringatan kepada seluruh kader, terutama yang diusung di palagan Pilkada. “Hati-hati, kamu nanti ditarget penguasa!” kira-kira begitu pesannya. Kian kencang narasinya diamplifikasi, kian tinggi diminta mengerek kewaspadaan.
Sebagai penutup, ketika PDIP head to head dengan KIM Plus, ini sehat bagi demokrasi dan kanalisasi aspirasi rakyat. Kotak kosong, dengan segala apologianya, jelas kurang menarik dan menguntungkan bagi konstituen. Pemilu adalah wahana legal berebut kekuasaan dengan segala dinamikanya. Bahwa kemudian terjadi polarisasi di publik, itu adalah keniscayaan, tidak mungkin dilenyapkan, tapi bisa dicegah jangan berbuntut konflik horizontal.
Pilgub Bali ini juga dapat memberi warna berbeda bagi konstituen PDIP, minimal mengulang situasi saat Pilgub 2013. Berhubung Bali adalah the last paradise untuk PDIP, apakah kader akan merespons dengan berjuang habis-habisan di bilik suara? Atau malah jadi penonton pasif ketika para calon kepala daerah mereka berdarah-darah berlaga? Kita tunggu saja 27 November nanti. Gus Hendra