GEMPITA dinamika menjelang Musda Partai Golkar Bali, Senin (24/2/2020) lalu justru berakhir antiklimaks. Panasnya kompetisi di media antara Plt Ketua DPD Partai Golkar Bali, I Gde Sumarjaya Linggih (Demer), dengan Wayan Geredeg untuk menakhodai DPD Partai Golkar Bali, mendingin dengan satu manuver kejutan: Demer mundur dari pencalonan.
Musda juga aklamasi mendapuk Sugawa Korry sebagai Ketua DPD, dan Made Dauh Wijana sebagai Sekretaris. Melihat hasil akhir, meski tanpa Demer, tidak salah jika menilai inilah Golkar Bali rasa Demer.
Penulis yang melihat suasana Musda, terutama di luar ruang sidang, sempat menyimpulkan Musda akan berakhir mulus tanpa gejolak, karena semua seperti tahu diri Demer akan tetap berkuasa. Kapabilitas dan jam terbang dia sebagai politisi skala nasional, antara lain, menjadi ukuran potensi kemenangan melawan Geredeg.
Sayang, sekarang dia tidak lagi berhak atas kursi Plt Ketua DPD. Namun, bukan berarti dia tidak mampu mengontrol sama sekali. Dipilihnya Sugawa Korry sebagai suksesor adalah indikatornya. Kita melihatnya begini. Selama ini publik mengenal Sugawa Korry sebagai loyalis Golkar dari zaman ke zaman, baik suka maupun duka.
Saat Golkar terbelah karena Demer mencopot lima ketua DPD kabupaten/kota dan mengganti dengan Plt ketua, Sugawa tampil di depan membela kebijakan partai. Dengan kesantunan dan fleksibilitas bahasa, otomatis dia juga membela Demer. Karena Sugawa mulus melenggang berkat manuver Demer dan Ketua Umum Airlangga Hartarto, sulit membayangkan dia bukan orangnya Demer.
Seperti penulis pernah paparkan sebelumnya, dalam skenario terburuk Demer tidak terpilih sebagai Ketua DPD, maka pengurus inti DPD adalah mereka yang selama ini menjadi loyalis Demer saat menjabat Plt Ketua.
Hal menarik lain yakni mundurnya Demer dari kandidasi justru menjadi kemenangan simbolik dia di partai. Baik yang pro dan kontra dengannya mesti angkat topi, karena dia bersedia “mengalah” demi keutuhan partai.
Hal itu bisa dilacak dari pernyataan Demer yang tidak ingin gaduh karena kontestasi internal, dan pengurus baru bisa mengadopsi faksi-faksi yang ada. Dan, benar saja, Sugawa menjadi Ketua DPD definitif tanpa gejolak, setidaknya terlihat demikian.
Melihat bulatnya suara saat nama Sugawa diumumkan sebagai kandidat tunggal, hal itu secara tidak langsung menunjukkan bagaimana pemilik suara di Musda sepakat memandang Sugawa sebagai solidarity maker. Ketegaran melindungi partai dalam kondisi darurat, jelas memberi nilai lebih kepada Sugawa. Pun menunjukkan kualitas dia sebagai politisi yang dominan bersikap merangkul, bukan memukul. Pemahaman atas konstitusi partai ketika ada gejolak internal juga menghadirkan segan di mata kader.
Sugawa sekaligus mengajarkan bahwa ketabahan dan kesabaran menanti momentum tepat untuk buah terbaik adalah keniscayaan dalam politik. Pernyataan dia tidak mau bersaing dengan Demer, mudah dicerna sebagai ungkapan seorang loyalis, sekurang-kurangnya menaruh hormat dalam pada Demer.
Pada saat yang sama, aklamasi peserta juga bisa dimaknai sebagai sindiran kepada kader lain yang diposisikan bernafsu menguasai DPD. Bahkan ketika libido politik itu justru melahirkan faksi-faksi di internal partai. Meski ada pihak yang menyayangkan Golkar Bali dirundung konflik internal sejak setahun terakhir, tapi mereka lupa bahwa konflik itu juga yang membesarkan Golkar.
Dalam perspektif sosiologi, konflik juga bisa dikelola agar bersifat produktif dalam arti tercapai suatu resolusi yang memenangkan semua pihak yang berkonflik. Menurut Christopher W. Moore (2003), salah satu bentuk konflik proses dan pengelolaan konflik negosiasi, yang artinya para pihak berusaha mencari jalan keluar dan pemecahan masalah.
Lihat saja, Golkar selalu mendapat strategi baru untuk menyelesaikan konflik dan tetap menjadi besar. Tanpa konflik, bisa jadi Golkar sudah dihapus sejarah sejak tumbangnya Orde Baru.
Kini aura pesaing sudah usai, berganti momen pendamping. Sebagai parpol besar dan matang pengalaman, hasil Musda ini seeloknya dapat menjadi tolok ukur kapabalitas Sugawa dalam menata organisasi agar lebih baik dibanding era Sudikerta dan era “darurat” Demer.
Menukil pernyataan Sugawa yang tidak ingin ada perpecahan lagi, inilah saat dia membuktikan janji itu. Soal bagaimana strateginya, politisi sekelas Sugawa niscaya mampu melakukan.
Dibantu Dauh Wijana sebagai Sekretaris dan Komang Takuaki Banuartha sebagai Bendahara, rasanya Sugawa tidak butuh energi besar untuk tancap gas mewujudkan komitmennya dalam pidato politik di ujung Musda.
Mengapa demikian? Jawabnya sederhana: mereka semua loyalis Demer. Namun, yang tak boleh dilupakan adalah agar pengurus inti benar-benar menerapkan falsafah merangkul, bukan memukul. Yang kalah jangan marah, yang menang jangan serakah.
Karena itu, meminjam judul novel “All the President’s” Man karya Bob Woodward dan Carl Bernstein, tidak berlebihan juga bila Golkar Bali periode 2020-2025 ini sebagai All the Demer’s Man alias Golkar rasa Demer. (Gus Hendra)