Sedana Arta Pimpin Sembahyang Siwaratri di Pura Kehen

BUPATI Bangli, Sang Nyoman Sedana Arta, memimpin persembahyangan bersama serangkaian Hari Siwaratri di Pura Kehen, Bangli, Senin (27/1/2025). Foto: ist
BUPATI Bangli, Sang Nyoman Sedana Arta, memimpin persembahyangan bersama serangkaian Hari Siwaratri di Pura Kehen, Bangli, Senin (27/1/2025). Foto: ist

POSMERDEKA.COM, BANGLI – Serangkaian Hari Siwaratri, Bupati Bangli, Sang Nyoman Sedana Arta, memimpin persembahyangan bersama  di Pura Kehen, Bangli, Senin (27/1/2025). Upacara di-puput Ida Pedanda Gede Putra Tanjung dari Griya Soka Duur Kangin Brahmana Bukit, Bangli dan Jero Gede Kehen. Turut hadir Wakil Bupati I Wayan Diar, Ketua TP PKK Bangli, Sariasih Sedana Arta; Ketua GOW Bangli, Suciati Diar; dan sejumlah undangan serta ASN di lingkungan Pemkab Bangli.

Bupati Sedana Arta mengatakan, pada hakikatnya tujuan melaksanakan brata Siwaratri adalah untuk mengendalikan hawa nafsu. Pun mengintrospeksi diri tentang perbuatan dan tujuan kehidupan di dunia. Dia mengajak menggunakan momentum Siwaratri, khususnya umat Hindu dan masyarakat Bangli, untuk bisa mengendalikan serta mengenali diri agar tidak terjerumus ke tujuh kegelapan diri (Sapta Timira).

Bacaan Lainnya

Sapta Timira dimaksud adalah Surupa (mabuk karena ketampanan), Dhana (mabuk karena harta benda), Guna (mabuk karena kepintaran), Kulina (mabuk karena keturunan), Yowana (mabuk karena masa muda), Sura (mabuk karena minuman keras) dan Kasuran (mabuk karena memiliki keberanian). “Melalui tapa, bratayoga lan semadi, mari kita memohon sinar suci ke hadapan Ida Bhatara Siwa agar menghilangkan tujuh kegelapan dalam diri kita,” ujarnya.

Baca juga :  Kebutuhan Listrik MXGP Samota Capai 1,38 MVA, PLN Komit Berikan Layanan Terbaik

Ketua Harian PHDI Bangli, I Nyoman Sukra, pada kesempatan itu mengimbau umat Hindu bisa menjalankan brata Siwaratri dengan Jagra (tidak tidur), Monobrata (tidak berbicara) dan Upawasa (tidak makan). Dia menjelaskan, jagra penuh dalam brata Siwaratri adalah tidak tidur selama 36 jam. Namun kalau tidak bisa, 24 jam juga bisa. Kalau masih tidak bisa, 12 jam juga tidak masalah asal dilaksanakan dengan niat dan kesungguhan.

Sama halnya dengan monobrata, sambungnya, jika tidak bisa dilaksanakan juga tidak masalah, asal tidak membicarakan keburukan orang dan lebih banyak berbicara tentang agama dan kebaikan. Begitu juga dengan upawasa, kalau tidak bisa 36 jam, 24 jam atau 12 jam juga tidak masalah.

“Dalam agama Hindu tidak ada kata harus. Harus begini, harus begitu, karena agama merupakan keseimbangan. Kalau bisa jalankan upawasa, monobrata dan jagra selama 36 jam penuh sangat baik. Kalau hanya bisa 24 jam atau 12 jam juga tidak masalah, asal dilaksanakan dengan tulus ikhlas,” pungkasnya. gia

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.