Pembangkangan PDIP, Militerisasi, dan Kuasa yang Menyebar

Gus Hendra
Gus Hendra

TAK hanya dipicu demo “Indonesia Gelap” para mahasiswa, tensi politik nasional makin naik dengan ada instruksi DPP PDIP kepada kader yang menjabat kepala daerah, untuk “menunda” ikut retret di Akmil, Magelang pada 21-28 Februari 2025, Kamis (20/2/2025) malam. Tuduhan ada kriminalisasi hukum melalui KPK terhadap Hasto Kristiyanto selaku Sekjen PDIP, jadi landasan instruksi “pembangkangan” dalam surat yang diteken Ketua Umum Megawati Soekarnoputri itu. Mudah dibaca instruksi itu merupakan tantangan terbuka PDIP, khususnya Mega, terhadap kendali dan legitimasi Presiden Prabowo Subianto.

Uniknya, komunikasi yang berpunggungan antara Prabowo dan Mega di ruang publik selama ini cenderung dilokalisir sebatas perang simbolik. Itu pun menggunakan pihak lain sebagai proksi, mungkin karena mereka sebenarnya saling menyimpan segan. Keduanya seakan menghindar untuk langsung menyerang ke titik mematikan. Pendek kata, lebih kepada agar di panggung depan terlihat ada dinamika politik. Namun, komunikasi di panggung belakang rasanya jauh dari kebisingan.

Bacaan Lainnya

Menurut narasi yang dipakai justifikasi PDIP, adalah Jokowi cawe-cawe sehingga Hasto dijadikan tersangka dan ditahan KPK. Di sisi lain, sebagai kilas balik, masyarakat justru melihat sebelumnya Hasto tidak tersentuh KPK dalam kasus Harun Masiku justru karena dilindungi Jokowi sebagai Presiden waktu itu. Soal yang benar siapa, biarlah waktu yang menjawab kelak.

Baca juga :  Zulkieflimansyah Dinilai Pantas Dampingi Anies di Pilpres 2024

Yang menarik dilihat adalah bagaimana respons pemerintah yang terkesan menghindar untuk berhadapan langsung dengan partai pemenang Pemilu 2024 itu. Dengan lain ucap, Prabowo sebagai Presiden sangat berhitung untuk membuka front dengan Mega sebagai seniornya di domain politik elektoral nasional. Dengan 14 provinsi (38%) dan 247 kabupaten/kota (48%) dimenangkan oleh PDIP dan koalisi, jelas ada risiko terhadap stabilitas politik di daerah jika resistensi atas pusat itu berlarut-larut.

Simak saja bagaimana Mendagri Tito Karnavian mengeklaim banyak keuntungan kepala daerah mengikuti retret ini, misalnya menjalin relasi di antara sesama kepala daerah. Anehnya, dia bilang tidak ada sanksi kalau tidak ikut retret, tapi “sebatas rugi”. Pun menyindir bahwa kepala daerah itu bertanggung jawab ke rakyat, bukan ke partai. Entah apakah sikap pemerintah akan sama jika yang “membangkang” itu bukan PDIP. Malah curiga jangan-jangan acara itu memang tidak ada alas hukumnya, cuma “mau-maunya Presiden” saja.

Jadi, dengan menahan diri untuk menjawab langsung tantangan terbuka PDIP itu, di satu sisi acara militerisasi pejabat sipil di Akmil tetap berjalan, meski manfaatnya belum terlihat sejauh ini. Di sisi lain, potensi gangguan bisa dilokalisir, tidak melebar ke mana-mana, yang dapat mencederai wibawa dan legitimasi pemerintah. Jika tidak cerdik menyikapi, sikap mbalelo PDIP itu bisa jadi bola salju dan yurisprudensi bagi partai lain jika misalnya tidak sepakat dengan pemerintah.

Dari perspektif komunikasi massa, sikap Mega itu dapat dimaknai tiga hal. Pertama, Mega sedang mengirim sinyal pada internal dan eksternal bahwa dia tetap panglima tertinggi di PDIP. Instruksi itu juga ujian kesetiaan, plus sebagai medium uji ketangguhan kader dalam menghadapi intervensi pihak luar, terutama dalam bentuk halus.

Baca juga :  Pohon Tumbang Timpa Kabel listrik dan Dua Bangunan di Desa Riang Gede

Bagi yang tidak suka, sikap kepala batu Mega ini mudah ditafsirkan sebagai pembangkangan kepada pemerintah yang sah. Masalahnya, bahwa pemerintah enggan berhadapan langsung dengan Mega, itu menampakkan di level mana posisi Mega saat ini. Sikap ini juga memberi pencitraan positif betapa PDIP konsisten membela apa yang diyakini benar, apapun konsekuensi yang harus ditanggung dengan sikap itu. Terlepas dari seberapa besar upaya mendekonstruksi peran dan pengaruh Mega di pentas politik nasional, sampai kini Mega tetap menjadi salah satu poros kepemimpinan elite nasional. Bahkan Mega tercatat sebagai satu-satunya perempuan politisi yang tetap eksis memimpin partai meski coba dirongrong dengan segala cara, mulai dari era Orde Baru sampai Orde Reformasi.

Secara semiosis, apa dilakukan PDIP ini merupakan konstruksi sosial pencitraan sebagai oposisi murni, meski sebagian elitenya terlihat mesra dengan pemerintah. Terjadi proses institusionalisasi lewat eksternalisasi, yakni PDIP menjalani tindakan berulang-ulang berani bersikap beda dengan pemerintah, dan kesadaran logis masyarakat merumuskannya sebagai fakta yang diatur kaidah tertentu. Ini menghasilkan proses legitimasi lewat penjelasan logis mengapa PDIP bersikap demikian (Burhan Bungin, 2018).

Kedua, dengan tidak mencopot Hasto, Mega sedang menyatakan keyakinan pribadi bahwa Hasto memang korban kriminalisasi hukum. Dia pasang badan dalam segala lini, termasuk “mempertaruhkan” partai demi membela Hasto. Bahwa ada sejumlah indikasi dan bukti menunjukkan sebaliknya, Mega bergeming. Situasinya berbeda di Demokrat, Nasdem atau Golkar atau partai lain ketika petinggi partainya terlilit masalah hukum, terutama kasus korupsi. Mereka langsung diganti, dan partai menyatakan tidak terlibat dalam persoalan itu.

Baca juga :  Trasmisi Lokal di Karangasem Bertambah Empat Orang

Ketiga, adanya komunikasi intens antara Gubernur Jakarta, Pramono Anung; dengan pihak Kemendagri tentang segala hal teknis terkait retret di Akmil, menunjukkan bagaimana komunikasi pintu belakang selalu terbuka untuk PDIP. Potensi terjadinya kegaduhan dalam skala mengusik stabilitas nasional, sepertinya jadi pertimbangan pemerintah untuk menahan diri melihat kengeyelan PDIP. Pada saat yang sama, ini jadi penguat posisi tawar PDIP terhadap pemerintah. Meminjam pendapat sosiolog Lewis Cosser, selama ruang negosiasi masih terbuka, konflik lebih luas bisa dihindari. Dalam suatu konflik, ketika masing-masing pihak tidak mungkin mendapat sepenuhnya yang diinginkan, maka mengurangi tuntutan adalah jalan keluarnya (Lee Kuan Yew, 2018).

Terakhir, karena seperti Michel Foucault katakan kekuasaan itu menyebar, situasi saat ini menyudut kepada hipotesis saat ini di Indonesia ada tiga pilar politik. Pertama, Prabowo dengan Gerindra dan gerbong besar Koalisi Indonesia Maju; kedua, Jokowi dengan sebagian alat kekuasaan negara masih setia dan dalam kendalinya; ketiga, Megawati dengan PDIP ditambah suntikan dukungan pelbagai kelompok masyarakat sipil. Apakah ketiga pilar itu tetap sengit berkompetisi, atau mungkin satu di antaranya akan tersingkir karena negosiasi? Kita lihat saja nanti. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.