Oleh: Luh Putu Dian Lestariyani,S.Pd. (Guru SMP PGRI 3 Denpasar)
Selama ini para guru terlalu terlelap pulas dalam zona nyaman. Terbiasa doyan mengajar dengan metode pembelajaran konvensional. Akankah tumbuh kemerdekaan diri dalam mendidik? Mungkinkah guru merdeka belajar sekaligus merdeka mengajar?
Saban hari, nyaris setiap guru di Indonesia mengandalkan metode pembelajaran konvensional. Guru sebagai pusat perhatian kelas, dan selebihnya siswa hanya duduk manis sebagai pendengar. Kenyataan ini semestinya jangan dibiarkan mengendap dalam sistem pendidikan Indonesia. Dengan berani memulai peralihan menerapkan metode penalaran. Sebuah metode pembelajaran yang mampu memantik kemandirian siswa untuk menemukan sekaligus memecahkan permasalahan dalam suatu materi dengan kreatif. Hal ini perlu menjadi perhatian demi memajukan pendidikan Indonesia.
Pendidikan merupakan tolak ukur kemajuan suatu bangsa. Sebab bangsa yang maju adalah bangsa yang cerdas. Mewujudkan tujuan pendidikan menjadi pecut bagi para guru, terlebih di tengah situasi pandemi saat ini. Mirisnya, angan menggapai tujuan pendidikan pada masa normal pun masih sulit untuk digenggam. Apalagi dibandingkan dengan kondisi terkini, terjebak dalam pusaran pandemi COVID-19. Masih adakah pelita untuk pendidikan Indonesia?
Jika kita menoleh pada masa COVID-19 belum menghinggapi Indonesia. Sebetulnya pendidikan di Indonesia telah mengalami perubahan drastis, atas segala gebrakan kebijakan yang diterbitkan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Makarim, nyatanya memang ampuh mengukir wajah baru bagi dunia pendidikan Indonesia.
Adapun lima gebrakan yang telah diprogramkan semenjak tahun 2019 oleh,pria yang akbrab disapa Mas Menteri itu. Pertama, mengganti Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan survey karakter. Kedua, mengganti USBN menjadi US dan menyerahkan kebijakan dikembalikan ke sekolah masing-masing. Ketiga, menyederhanakan RPP menjadi satu halaman. Keempat, adanya perubahan komposisi sistem zonasi sekolah untuk PPDB, dan yang terakhir menyiapkan Blue Print pendidikan Indonesia dalam enam bulan ke depan. Yang mana merdeka belajar menjadi paket kebijakan yang tengah digaungkan oleh Mas Menteri.
Gebrakan ini boleh jadi membuat guru dan peserta didik mengalami kesulitan dalam penyesuaian baru. Masa pandemi kini harusnya menjadi kesempatan bagi guru untuk memompa kreasi mengajar. Jangan lupa pula, membangkitkan semangat motivasi belajar siswa, agar berhasil menciptakan proses pembelajran yang tidak membosankan.
Karena kita ketahui kini sektor pendidikan pun tak luput dari denyut era 4.0, yang bercirikan pemanfaatan teknologi digital dalam proses pendidikan. Memberi dampak bagi proses pembelajaran agar berlangsung secara berkesinambungan tanpa batas ruang dan waktu. Guru mulai menyeimbangkan keahlian pengajaran metode, yang awalnya hanya berkawan dengan papan tulis, kini jadi akan berpadu dengan LCD, Youtube, Webex, Power Point, Telegram, dan WhatsApp.
Patut disadari bahwa situasi baru di era 4.0 ini, terkesan membingungkan bagi guru sebab adanya metode tradisional yang telah menjadi pengalaman berpuluh-puluh tahun lamanya. Sehingga tak heran menjadi sesuatu yang sulit untuk beradaptasi membuka lembaran yang baru. Pada dasarnya, terdapat dua pengalaman yang membentuk karakter para guru. Pertama adanya UN, perangkat uji yang terkesan dipandang sebagai penentu nasib siswa dan mengekang guru untuk berpikir patuh pada kebijakan pusat. Syarat mutlak lulus 100% dan gengsi peringkat sekolah menjadi akar masalahnya.
Hal ini menyebabkan pembelajaran selama ini hanya berfokus sekadar penuntasan materi dan seputaran latihan soal. Semua isi materi dan kurikulum sebelumnya pun dituntut wajib diberikan secara tuntas dan mendalam. Membuat guru pun menjelma menjadi sosok yang kaku, karena seolah telah memiliki prinsip bahwa buku ajar dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) ialah bagai pedoman kitab suci yang wajib dijalankan.
Yang kedua, merupakan administrasi mengajar guru. Hal tersebut tak dapat dipungkiri telah menjadi masalah yang terkadang menjadi beban profesi guru. Terkesan esensi mengajar bukan lagi pada interaksi belajar, melainkan berpusat pada tumpukan administrasi. Terlebih lagi, seakan diskusi guru bukan lagi cara mendampingi siswa, melainkan sekadar boleh tidaknya menggunakan huruf kapital pada lembaran RPP administrasi guru.
Bahkan regulasi yang harus dikesampingkan, lebih mementingkan kemampuan menghafal tinimbang berani bermain nalar. Manakala dahulunya para guru masih memandang dan menilai kemampuan siswa berdasarkan hafalan-hafalan materi yang dilontarkan. Padahal, pengertian pendidikan jauh lebih luas tinimbang sekadar persoalan cepat atau lambatnya menghafal. Kini pun kedua permasalahan guru tersebut dapat bertemu titik terang melalui Program Merdeka Belajar
Perlahan tapi pasti, kebijakan ini mulai bergeser menjadi konsep pendidikan baru dan bersifat fleksibel. Dalam dunia pendidikan, merdeka dalam belajar menjadi ruang dan kesempatan yang luas bagi siswa untuk menggali penuh potensi mereka sebelum bergelut dan berlayar pada derasnya arus kehidupan bermasyarakat. Tentu saja, cita-cita dan gagasan itu dapat tercapai tanpa melewati kerikil-kerikil hambatan. Pro dan kontra pun menjadi bumbu dinamika yang menyertainya. Terlepas dari hal tersebut, sebenarnya telah ada sebuah sistem pembelajaran yang mengadaptasi konsep merdeka belajar, yakni belajar jarak jauh.
Belajar jarak jauh tersebut dalam dunia pendidikan lebih dikenal dengan istilah Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Terdapat berbagai pemikiran sehingga PJJ berkaitan dengan merdeka belajar. Terkait karakteristik PJJ yang terbuka, belajar secara mandiri, belajar di mana saja dan kapan saja, serta berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Unsur terbuka menyangkut dalam hal cara penyampaian materi, durasi perampungan program, lintas satuan, jalur dan jenis pendidikan, dan cara belajar, serta masa penilaian hasil belajar.
Sementara, belajar secara mandiri mengandung maksud bahwa siswa ialah pemegang kendali utama. Mulai dari proses dan porsi belajar kini lebih ditentukan oleh siswa, dengan menyesuaikan kondisi dan kecepatan belajar masing-masing. Kemudian, unsur belajar di mana saja dan kapan saja mengandung maksud bahwa terdapat keluwesan sebagai konsekuensi PJJ yang memiliki karakteristik terbuka dan belajar mandiri. Sedangkan, berbasis TIK mengandung maksud bahwa merupakan sebuah kewajiban dalam PJJ untuk menerapkan TIK secara tepat. Guna memfasilitasi komunikasi dan interaksi pembelajaran antara tenaga pendidik dan sisa. Itulah merdeka belajar.
Tantangan PJJ yang paling utama adalah mengusir sikap malas. Ubahlah paradigma semangat belajar dari diri sendiri berjuang melawan rasa malas. Dengan kata lain, modal pertama menjadi peserta PJJ ialah berani menerobos keluar dari zona nyaman Selain itu, siswa pun juga terlilit dalam untaian beban biaya kuota internet yang semakin menggila.
Untuk menjawab tantangan PJJ, para guru sudah menyederhanakan kurikulum bagi siswa selama masa pandemi. Hal tersebut pun sesuai pula dengan instruksi Kemendikbud. Mungkinkah ini akan menjadi acuan merdeka belajar menjadi merdeka mengajar bagi para guru?
Dalam hal ini semua dapat diupayakan, satu di antaranya ialah variasi media pembelajaran. Dimana guru harus berkreasi menyiapkan pilihan alternatif dalam proses pembelajaran. Mulai dari video, audio, dan handout bercerita yang tidak kalah menariknya. Juga dapat menjadi penawar bagi siswa yang bergulat dalam keterbatasan fasilitas dan kuota internet. Handout bercerita dapat disiapkan guru berupa print out sehingga siswa yang proses pembelajaran luring tetap dengan mudah memahami materi ajar. Ciptakanlah PJJ yang menyenangkan dan tentunya mengutamakan keselamatan siswa di tengah pandemi COVID-19, pula tanpa mengesempingkan roda pendidikan Indonesia yang harus senantiasa bergulir.
Hidup merdeka belajar!