Orang Bali Jadi Menteri, untuk Kebutuhan atau Kebanggaan?

Gus Hendra
Gus Hendra

“SIAPA ya orang Bali yang dipilih jadi menteri?” Pertanyaan itu adalah topik hangat dalam sepekan terakhir sejumlah percakapan di media sosial yang saya ikuti, yakni soal potensi orang Bali masuk menjadi menteri dalam kabinet Prabowo-Gibran yang dilantik, Minggu (20/10). Ada dua nama orang Bali, dan semuanya perempuan yakni Isyana Bagoes Oka dan Ni Luh Puspa, menjadi kandidat kuat mengisi kursi wakil menteri tertentu. Liputan media massa membuat kandidasi menteri asal Bali menjadi tontonan seru.

Topik di atas acap berulang lima tahun sekali menjelang penyusunan kabinet, sejak Letjen TNI Ida Bagus Sudjana diangkat menjadi Menteri Pertambangan dan Energi di era Presiden Soeharto. Disusul IB Oka di era Presiden BJ Habibie selaku Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN, Anak Agung Gde Agung sebagai Menteri Sosial di era Presiden Abdurrahman Wahid, I Gede Ardika sebagai Menteri Pariwisata dan Budaya di era Presiden Megawati Soekarnoputri, Jero Wacik sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, berganti menjadi Menteri ESDM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di era Presiden Joko Widodo, ada AA Puspayoga sebagai Menteri Koperasi-UMKM tahun 2014-2019, dan I Gusti Ayu Bintang Darmawati sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak periode 2019-2024. Bintang Darmawati adalah istri dari Puspayoga.

Bacaan Lainnya
Baca juga :  Tahun 2025, DPRD Bangli Rancang Rapat Kerja dan Sidak

Dalam topik “orang Bali jadi menteri” ini, arus percakapan setidaknya ada dua kubu. Pertama, yang menilai itu suatu tuntutan atas nama keadilan; kedua, kalau ada jadi menteri itu sekadar suatu hal yang patut disyukuri, masing-masing dengan argumennya sendiri.

Secara sederhana, orang Bali masuk dalam kabinet menunjukkan ada “keberpihakan dan keadilan” kepada Bali, sebagai salah satu kelompok minoritas secara etnis dan agama resmi di negeri ini. Kabinet Presiden diandaikan sebagai Indonesia mini dengan representasi semua elemen. Namun, hasrat itu bisa juga dimaknai sebagai ada mental inferior dibanding suku atau agama lain bila orang Bali, yang pula diasosiasikan dengan umat Hindu, sampai tidak kebagian menteri.

Derasnya harapan orang Bali bisa masuk lingkar dalam episentrum kekuasaan, atau setidaknya “terlihat” demikian, seperti menepikan hal lebih substansial yang sekiranya lebih layak diperjuangkan. Contohnya, menuntut ada kebijakan pusat lebih strategis untuk Bali, seperti menambah kewenangan atau otonomi lebih besar daripada yang termaktub dalam UU Provinsi Bali saat ini. Atau menambah pasokan Dana Alokasi Khusus (DAK) guna pembangunan infrastruktur lebih masif, yang berdampak kepada ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Bali. Sebagai daerah dengan demografi kecil, tiada sumber daya alam, jangan sampai Bali dengan beban besar melestarikan adat dan budaya sebagai garda terdepan konsumsi pariwisata nasional, menyusut nilai tawarnya “cuma” setara kursi menteri.

Baca juga :  Deklarasi Sahabat Koalisi Giri Prasta : Pilih Kotak Kosong, Mereka Tidak Suka Lahir, Hidup, Mati Ditanggung

Menurut Guy Debord dalam bukunya Society Of The Spectacle, dalam masyarakat tontonan, seluruh aspek kehidupan dapat dijadikan komoditas tontonan. Itu berarti, masyarakat tak hanya berfungsi sebagai pihak yang mengonsumsi sebuah tontonan, juga mempertontonkan komoditasnya tersebut. Dunia tontonan yang hadir di masyarakat menjadikan masyarakat tersebut sebagai tontonan bagi masyarakat lainnya

Meminjam pandangan itu, orang Bali seakan kurang puas hanya menjadi penonton ketika yang dimaknai sebagai etnis lain kebagian kue kekuasaan. Orang Bali juga ingin mendapat kepuasan ditonton kelompok lain sebagai “bagian dari penguasa”, karena menteri bagian dari kekuasaan. Jadi, disadari atau tidak, ada semacam ilusi terbentuk bahwa orang Bali baru merasa diakui sederajat dengan etnis lain oleh penguasa “hanya” jika ikut dalam pengelolaan kekuasaan. Apakah kompeten atau tidak, lebih menguntungkan Bali atau tidak, itu soal lain.

Bila kita mengamati lebih dalam, ada satu hal remeh yang rasanya layak ditanyakan. Para menteri asal Bali tersebut sejatinya benar-benar mewakili Bali, atau sebenarnya representasi entitas tertentu yang “kebetulan” bersuku Bali? IB Sudjana tentara, IB Oka birokrat cum kader Golkar, Gde Agung pengusaha, dan Ardika birokrat murni. Jero Wacik kader Demokrat, sebagaimana Puspayoga dan Bintang Puspayoga kader PDIP. Kalau memang mewakili Bali, dalam bentuk apa mereka berbuat lebih untuk kepentingan Bali saat jadi menteri? Silakan dicari sendiri jawabnya.

Baca juga :  De Gajah Hormati Pandangan Demer, Tapi...

Hal lain, apakah jika ada orang Bali menjadi menteri, otomatis dia paham dan mampu memperjuangkan kebutuhan Bali yang kian kompleks? Berhubung menteri adalah jabatan yang bisa diganti kapan saja, ketika misal kinerjanya kurang memuaskan, apakah harus dipertahankan oleh Presiden hanya demi “menjaga” perasaan orang Bali? Atau umpama mesti diganti karena dinilai tidak becus, apakah penggantinya harus orang Bali juga?

Satu fakta telanjang adalah mustahil Presiden memilih seseorang menjadi pembantunya jika tidak ada kedekatan, punya jasa politik, atau punya kelebihan tertentu. Semua bermuara kepada apakah mampu memberi nilai tambah kepada kekuasaan atau citra positif Presiden. Kalaulah ada orang Bali dinilai istimewa, itu pun sulit dilirik jika tidak dimediasi lingkar dalam Bapak Presiden.

Tinimbang fokus pada kursi menteri, lebih rasional dan moderat jika orang Bali menuntut Prabowo membuktikan kinerja kabinetnya demi hal lebih strategis dan nyata. Sebut saja bagaimana program makan siang gratis yang berbagi anggaran antara pusat dengan daerah, tidak terlalu menguras APBD Provinsi Bali yang sedang defisit. Atau bagaimana kebijakan pusat membantu Bali mengatasi persoalan sampah, banjir, urbanisasi, pariwisata berlebih (over tourism) dan masalah lainnya. Jadi, seyogianya tidak sekadar berhasrat gagah-gagahan karena merasa bagian dari kekuasaan, dan cepat puas dalam kesadaran palsu gegara diberi “permen” bernama jabatan menteri atau wakil menteri. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.