Menguatkan Wisata Spritual, Alternatif Karangasem Topang Ekonomi di Masa Pandemi

TIDAK menjadi jalur lalu lintas ekonomi daerah pesisir selatan Bali, membuat Kabupaten Karangasem yang berada di ujung timur Pulau Bali sedikit kesulitan mengembangkan perekonomian dari sektor bisnis. Namun, Karangasem dianugerahi memiliki sejumlah desa atau tempat yang berpotensi dikembangkan untuk daya tarik parwisata. Di tengah keterbatasan potensi yang tersedia, suka tidak suka pariwisata hadir menjadi dewa penolong kabupaten yang kini dinakhodai Bupati IGA Mas Sumatri tersebut.

Melanjutkan kiprahnya membangun Karangasem, Sumatri yang dalam Pilkada Karangasem 2020 berpasangan dengan Made Sukerana (Massker), menjadikan pariwisata spiritual berbasis desa adat sebagai salah satu tulang punggung menopang perekonomi daerah. Secara sederhana, pariwisata spiritual dapat didefisinikan sebagai pariwisata dengan tujuan perjalanan untuk menyaksikan upacara keagamaan, sekaligus berziarah atau beribadah di sana. Titik ungkitnya yakni meningkatan kualitas dan menumbuhkan destinasi pariwisata baru di Karangasem. Dari sejumlah sektor ekonomi yang tidak merusak lingkungan, pariwisata spiritual adalah satu di antaranya.

Bacaan Lainnya

Jumlah kunjungan wisatawan berkualitas untuk wisata spiritual, berdasarkan sejumlah penelitian, menunjukkan tren meningkat. Kenaikan terjadi untuk wisatawan domestik maupun asing. Selama ini yang paling banyak diminati bagi penggemar di bidang fisik adalah yoga, sedangkan meditasi dipilih mereka yang lebih menyukai pengalaman rohani.

Baca juga :  Persiapan Lebih Matang Golkar di Instruksi Sosialisasi Airlangga, Populer Sebatas di Elite, Belum Tataran Bawah

Sebagai ekornya, wisata spiritual memberi dampak signifikan terhadap spiritual komunitas, sosial budaya, lingkungan, maupun perekonomian setempat. Yang layak digarisbawahi, pasar wisata spiritual galibnya kalangan menengah ke atas yang jenuh wisata konvesional. Dalam praktiknya, wisata spiritual terbilang berkualitas, karena sangat menghargai budaya lokal, mencintai alam dan lingkungan, serta mayoritas peminatnya dari kalangan berpendidikan.

Yang menggiurkan, wisata spiritual tidak membuat kantong bolong untuk penyediaan sarana dan prasarana penunjang berlebihan. Sebab, sejauh ada aksesibilitas seperti jalan dan penduduk yang mendukung, wisata ini bisa dieksekusi.

Meski bukan barang baru, wisata spiritual dalam kondisi saat pandemi Covid-19 saat ini menjadi pilihan paling memungkinkan untuk dikembangkan, tinimbang pariwisata hura-hura seperti di Bali Selatan. Secara geografis, slogan “spirit of Bali” yang diusung Pemkab Karangasem secara tidak langsung membatasi kabupaten ini untuk tidak keluar dari tataran spiritutal. Menambah dan mengembangkan wisata spiritual juga menandakan kejelian Massker untuk merancang program yang kontekstual saat pandemi, sekaligus sangat memungkinkan dijalankan kelak.

Tak hanya memberi keuntungan ekonomi bagi warga, wisata spiritual juga dapat mendisiplinkan warga untuk menata dan menjaga kebersihan lingkungan agar tetap alami. Di sisi lain, pemerintah memastikan fasilitas kebersihan selalu dalam kondisi terbaik. Ketika misalnya satu pura dijadikan objek wisata spiritual, maka kebersihan lingkungan areal pura dan lingkungan sekitar, ditutupi dari pemasukan retribusi kunjungan wisatawan spiritual.

Baca juga :  Gota Festival HUT Ke-6 SMK TI Bali Global Badung, Gelar Pameran Robotik-Game Dua Dimensi Karya Siswa

Melihat data yang ada di Pemkab Karangasem, dalam lima tahun terakhir tingkat kunjungan wisatawan ke Karangasem terus menanjak. Dari 343.274 orang pada tahun 2016, melompat jauh ke 1.530.511 orang pada tahun 2019, itu pun 931.071 merupakan wisatawan asing. Hanya, karena Corona merajalela, wisatawan yang datang tahun 2020 anjlok menjadi hanya 280 ribuan sampai September lalu.

Hanya, meski wisata spiritual tidak butuh fasilitas berlebihan, Pemkab wajib menyediakan infrastruktur jalan untuk akses ke lokasi. Selain itu juga harus tersedia pemenuhan penyediaan layanan air bersih. Terkait ketersediaan air bersih, terutama di daerah-daerah terisolir, Massker merancang program pembangunan cubang (kolam penampung air) secara merata dan berkesinambungan selama lima tahun.

Fokus Massker dalam memastikan ketersediaan air bersih bagi warganya ini sangat relevan, karena persoalan air bersih belum paripurna terselesaikan hingga kini. Untuk itu Massker menguatkan program pengembangan kinerja pengelolaan air minum dan air bersih, dengan indikator kinerja menurunkan desa rawan air. Dengan asumsi tiap orang butuh rerata 60 liter air setiap hari untuk segala keperluan, dan satu keluarga rerata lima orang, maka dalam sehari butuh 300 liter air. Tinggal dikalikan penduduk yang belum terjangkau layanan Perumda Tirta Tohlangkir Karangasem, berarti sebanyak itu pula pekerjaan rumah di bidang penyediaan air bersih yang mesti diselesaikan Sumatri di periode kedua pemerintahannya bersama Sukerana kelak. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.