Menanti Pasti Rai Mantra ke Pilgub Bali

Gus Hendra. Foto: hen
Gus Hendra. Foto: hen

IB Rai Dharmawijaya Mantra menjadi sosok yang melejit sepekan terakhir, setelah diusulkan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus untuk menjadi calon Gubernur ke Pilgub Bali 2024. Ketua DPD Partai Gerindra, Made Muliawan Arya (De Gajah), bersiap menjadi pendampingnya dalam paket Mantra-Mulia. Pasangan ini cukup menyedot animo publik di media sosial, tapi terganjal satu pertanyaan besar: apakah Rai Mantra memang ingin dan bersedia dicalonkan?

Pertanyaan remeh itu lahir karena belum ada pernyataan langsung dari Rai Mantra. Kalaupun ada, nadanya ambigu. Rasanya hanya dia dan Tuhan yang tahu pastinya.

Bacaan Lainnya

Terlepas dari belum ada pasti, rekam jejak Rai Mantra relatif menjanjikan. Didorong dan direstui penglingsir Puri Satria cum tokoh PDIP di Bali, AA Ngurah Oka Ratmadi (Cok Rat), dia berpasangan dengan Sudikerta menantang Koster-Cok Ace pada Pilgub 2018 yang diusung… PDIP! Entah apa persoalan antara Cok Rat dengan Koster, pastinya Rai Mantra mendapat suntikan moral dan elektoral dari ketidak-mesraan itu. Di Denpasar menang dengan 190.534 berbanding 87.863 suara, di Klungkung menang 81.232 melawan 39.653, dan di Karangasem dengan 132.795 versus 90.891.

Kemenangan di Denpasar dipengaruhi posisi dia sebagai Wali Kota sejak 2008 menggantikan adik Cot Rat, AA Puspayoga, dan 2010-2020 hasil Pilkada. 12 tahun menakhodai Pemkot Denpasar, Rai Mantra berstatus nonkader justru diusung dan diperjuangkan oleh PDIP!

Baca juga :  Pemilu 2024, Alokasi Kursi-Dapil DPRD NTB Tak Berubah

Sekarang bicara Pilgub 2024. Apa kira-kira keunggulannya dibandingkan calon PDIP yang, meski DPP belum merekomendasikan, kadernya menguasai delapan dari sembilan kabupaten/kota di Bali? Pertama tentu adanya dukungan dan restu Presiden Jokowi dan Presiden terpilih Prabowo Subianto. Setidaknya begitu data yang tersaji di media massa. Soal faktanya seperti apa, sejauh ini belum tersaji data yang bisa memastikan.

Dengan asumsi bahwa itu benar, tetap saja tidak semudah meniup api lilin kue tar saat pesta ulang tahun untuk merealisasikan. Begini. Tahun 2008, SBY sebagai elite Partai Demokrat menjabat Presiden. Toh Pilgub Bali 2008 dimenangkan pasangan Mangku Pastika-Puspayoga yang diusung koalisi PDIP versus duet Winasa-Alit Putra yang diusung koalisi Demokrat. Hasil pilkada di kabupaten/kota juga banyak dimenangi PDIP menghadapi calon dari Demokrat yang “dibekingi” Presiden.

Ini bisa dimaknai bahwa, pertama, hasil Pilpres tidak linier dengan Pilkada. Kedua, suasana kebatinan konstituen di Pilpres berbeda sama sekali dengan Pilpres, karena ada faktor kedekatan personal. Yang agak mirip justru di Pileg. Ketiga, sulit “mengarahkan” konstituen memakai instrumen kekuasaan ketika konstituen memiliki irisan kepentingan dengan calon yang berkontestasi. Ingat, motor penggerak utama menggalang pemilih adalah para legislator hasil Pileg 2024. Mereka punya kalkulasi sendiri guna mengamankan kepentingan masing-masing terhadap kandidat yang berlaga, khususnya yang berstatus petahana dan peluang menangnya besar.

Kembali ke Rai Mantra. Sebagai politisi yang baru “mandi keringat” dan lolos sebagai peraih suara tertinggi di pemilihan anggota DPD RI Dapil Bali, tentu dia ada kalkulasi politik juga. Menimbang perbedaan kepentingan jangka panjang, bukan mustahil ada elite DPP partai di KIM Plus tak sepakat mengusung nonkader seperti dia.

Baca juga :  Indra Lesmana-Dewa Budjana Gelar Konser Virtual

Pertama, melihat gaya komunikasi politiknya yang terkesan berjarak, kepastian tampil kali kedua di Pilgub kemungkinan terjawab jika dia dalam posisi “dilamar” resmi petinggi KIM Plus. Sebab, ketika elite partai dari Jakarta memastikan dukungan, nyaris mustahil tidak dijalankan kader di daerah. Bisa jadi dia pula menimbang potensi dinarasikan negatif sebagai “hanya memburu kekuasaan” setelah diberi amanah bertugas di DPD RI, yang juga belum dijalankan karena belum dilantik.

Kedua, secara demografi, Mantra-Mulia sama-sama asal Kota Denpasar. Berkaca pengalaman Pilgub sejak 2008, sulit melihat potensi menang ketika tidak ada calon dari Kabupaten Buleleng. Pastika dan Koster sebagai calon Gubernur pemenang Pilgub, sama-sama dari Buleleng dengan DPT Pilkada sekira 611.000 lebih. Pemilih di Bangli berdasarkan DPT Pemilu 2024 (195.894), Klungkung (167.052) dan Jembrana (243.797) digabung jadi satu, jumlah pemilih di Buleleng masih lebih banyak.

Memang, hasil akhir kontestasi politik tidak ada mampu memastikan. Namun, kita bisa membaca dan memaknai data ilmiah yang ada, berikut kemungkinan serta dinamikanya. Sampai saat ini begitulah data tersedia, kecuali ada data terbaru.

Ketiga, beda dengan Pilpres, belum ada data survei tentang popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas para calon yang akan atau pasti maju sebagai calon Gubernur Bali. Yang bisa diprediksi baru Koster dan Giri Prasta; keduanya kader PDIP. Di sisi lain, Rai Mantra bukan kader partai mana pun di KIM Plus. Suasana kebatinan dan “keikhlasan” partai memperjuangkan nonkader, niscaya ada perbedaan dibandingkan kader sendiri, kecuali peluang menangnya relatif besar. Belum lagi soal logistik yang biasanya jadi negosiasi alot.

Baca juga :  Kajati Bali Minta Bawaslu Tegas Tindak Pelanggaran Pemilu, Janjikan Jaksa Terbaik di Sentra Gakkumdu

Dengan belum terlacak potensi keterpilihannya, pun waktu relatif pendek untuk sosialisasi masif guna mendongkrak elektabilitas, akan menjadi sangat menarik melihat bagaimana KIM Plus mengkonstruksi, memframing dan mempromosikan Rai Mantra sebagai alternatif calon Bali 1 ideal. Terutama di kalangan generasi milenial dan generasi Z, yang preferensi politiknya dominan dicuplik dari konten media sosial. Di titik ini Muliawan Arya (De Gajah), dengan gaya komunikasi politik di media sosial yang gaul, hangat, tidak berjarak, dan sesekali diselingi humor, cukup menjanjikan insentif elektoral.

Sebagai penutup, sebagian pihak idealis niscaya berharap ada kontestasi seru, minimal head to head, antara PDIP dengan KIM Plus. Logikanya, makin banyak pilihan, makin besar kemungkinan mendapat yang lebih baik. Sayang, bayangan kondisi ideal itu tak jarang berpunggungan dengan agenda dan kepentingan elite di Jakarta. Banyak pihak di daerah ingin ada kompetisi, tapi ada pula yang mau “konsolidasi antarpartai usai Pilpres” dengan mengusung paslon tunggal. Jika mayoritas (elite) partai itu bermufakat melawan kotak kosong, opsi ini juga tak haram dalam demokrasi. Soal mana yang terjadi, kita lihat saja nanti. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.