Oleh Made Nariana
PALING tidak secara empirik atau empiris (berdasarkan pengalaman lapangan) – rakyat kita masih senang hura-hura dalam dunia politik. Konon rakyat semakin cerdas menghadapi politik praktis. Tapi kalau ukurannya, kalau kita lihat berbagai komentar di media sosial (medsos) – banyak saya temukan, mereka hanya pengen berhura-hura.
Artinya, calon pemimpin mereka tidak diukur dengan bagaimana mampu memberikan konsep yang jelas dalam membangun daerah. Bagaimana konsep calon pemimpin yang akan dianggap mampu membangun kesejahteraan bagi masyarakat umum.
Rakyat memang memerlukan pemimpin yang merakyat. Dekat dengan denyut nadi rakyat. Memiliki humans relation tinggi di kalangan rakyat pemilih. Sekalipun demikian, dalam kondisi apa pun pemimpin harus punya visi dan misi yang terukur dalam membangun daerah.
Belakangan beredar di media sosial, bahwa banyak tokoh (atau mengaku diri tokoh) ingin tampil di pilkada bupati atau gubernur. Patut dihargai, sebab salah satu syarat seorang pemimpin harus ada keberanian. Jika tidak memiliki keberanian, lebih baik tekuni bidang lain saja.
Keberanian tampil, keberanian bersikap, keberanian berterus terang (terbuka), keberanian mengemukakan pendapat, keberanian berkorban material dan nonmaterial.. Jangan lupa keberanian berkorban demi kepentingan orang banyak. Ini syarat umum.
Kalau syarat ilmiah, banyak ahli telah menulis di buku soal kepemimpinan. Saya hanya pengen memberikan pendapat yang mudah dipahami rakyat bawah – yang sering susah ditebak pilihannya.
Kalangan menengah ke atas, dan kaum intelektual akan melihat bagaimana visi dan misi seorang calon pemimpin. Tetapi kalangan bawah yang justru kaum mileneal (gen Z) dan hidup dari informasi di media elektronik – melihat calon pemimpinnya berdasarkan apa yang mereka pahami di medsos. Mereka sering tidak peduli dengan track record yang ada. Generasi Z, jarang mempelajari sejarah hidup calon pemimpin mereka. Yang penting… sesuai dengan gaya hidup kaum melenial sekarang.
Pengalaman selama dua tahun lebih (selama Covid-19) masyarakat muda belajar melalui handphone (HP) – cukup memberikan mereka pelajaran banyak hal. Anomali yang terjadi dalam pilpres (pemilihan presiden) 14 Februari 2024 dapat dipakai pelajaran berharga.
Melihat kenyataan tersebut, siapa pun yang pengen menjadi pemimpin (khsusnya menghadapi pilkada bupati/gubernur serentak November ini) – sebaiknya mulai mengubah strategi menggaet suara kaum mileneal. Jangan terpaku nak mule keto (dari dulu sudah begitu).
Faktor pragmatisme juga sangat tinggi. Hal ini juga perlu dipahami. Banyak pembicaraan yang saya dengar di tataran bawah, di posko, warung, bahkan obrolan di tempat suci (pura) – mereka akan nyoblos calon mana pun yang siap segalanya. (maaf saya tidak ungkapkan secara terbuka) – sebab banyak juga rakyat masih memiliki hati nurani. Namun lebih banyak juga mengorbankan bahkan menjual hati nurani mereka di TPS (tempat pemungutan suara).
Terlepas dari itu semua, bagaimana pun bentuk informasi di medsos (sebab setiap orang bebas mengatakan apa saja) — sebaiknya kelak kita memilih pemimpin dengan visi dan misi yang jelas sesuai kepentingan kita bersama. Syukur dengan bukti yang jelas, apa yang mereka telah lakukan sebelumnya dengan melihat track record masing-masing. (*)