POSMERDEKA.COM, MATARAM – Pendiri Lembaga Riset dan Konsultan Kebijakan Publik Policy Plus, Dr. Adhar Hakim, menilai netralitas aparatur sipil negara (ASN) sangat bergantung Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dalam membina dan memperlakukan ASN.
Termasuk afiliasi kelembagaan sosial maupun keagamaan yang diikuti ASN. Karenanya, Policy Plus mendesak Bawaslu dan publik menitikberatkan pengawasan kepada pola pembinaan dan pengawasan internal PPK di masing-masing lingkungan kerja ASN, serta kelompok sosial keagamaan ASN.
“Pola pandang yang menempatkan ASN sebagai individu dalam kontestasi politik adalah kurang tepat. Sebab, secara kultur maupun struktur, selama ini ASN lebih banyak dipengaruhi sistem pembinaan yang ada dalam budaya birokrasi, yang sangat kental pola politisasinya. Juga di mana ASN tersebut berafiliasi secara kelembagaan sosial keagamaan,” terang Adhar, Selasa (5/12/2023).
Mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB ini memandang menjelang Pemilu 2024 ini posisi ASN kembali menjadi sorotan. Hanya, dia memandang pengawasan netralitas ASN harus mampu dilihat secara lebih tepat.
Sebab, lanjut Adhar, dalam berbagai catatan pelanggaran, praktik politik praksis oleh ASN justru lebih banyak terjadi karena tekanan, pengaruh, hingga arahan atasan mereka yakni PPK.
“Yang dicatat dan diawasi selama ini kan lebih banyak yang bersifat fisik berupa mobilisasi dan tekanan. Padahal ada juga masalah lain yang bersifat kultural,” tegasnya.
Menurut dia, hal tersebut bisa saja dilakukan mulai dari kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota), sekretaris daerah, hingga masing-masing pimpinan di satuan kerja para ASN. “Jangan lupa afiliasi politik ASN juga dipengaruhi ketaatan mereka terhadap afiliasi lembaga sosial keagamaan yang diikuti,” paparnya.
Afiliasi politik para PPK hingga bagaimana kehidupan sosial ASN, sambungnya, tidak bisa dipisahkan. Terlebih dalam sistem sosial di Indonesia, ASN adalah individu yang juga sering terikat dengan komunitas sosial keagamaan. Dua kekuatan, yakni PPK sebagai atasan secara struktural dan kekuatan sistem sosial secara kultur, adalah kekuatan yang sangat mempengaruhi ASN.
Ketidaknetralan ASN, ulasnya, bisa dengan dua cara secara umum. Pertama, terlibat langsung dalam kegiatan politik praksis; kedua, menggunakan kewenangan, kekuasaan dan tugas-tugas pelayanan untuk membantu atau mendukung kekuatan politik tertentu. Jadi, tidak pas kalau mengawasi netralitas ASN seolah-olah cukup hanya dengan mengawasi dalam sistim kerja.
Dia membeberkan, peraturan yang mengatur netralitas ASN cukup banyak. Mulai dari UU Nomor 5/2014 tentang ASN, UU Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik hingga Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Lembaga pengawas juga cukup banyak, mulai dari Komisi ASN, Bawaslu, Ombudsman RI dan pengawas internal seperti Inspektorat.
Meski demikian, pengawasan netralitas ASN tidak boleh parsial. Selain secara sistemik, juga mesti memperhatikan hal-hal yang bersifat kultural. “Kami mengkritik pola pengawasan netralitas ASN selama ini yang terkesan parsial. ASN dipandang seolah-olah hanya sebagai pelaku semata, padahal juga korban politik,” sesalnya.
Adhar minta ASN juga harus dilindungi dari tekanan politik, agar terbebas dari tekanan secara struktural maupun kultural. “Bisa jadi ASN tidak takut atasannya, tapi sangat takut kepada imbauan pimpinan sosial mereka,” pesannya. rul