Bijaksana dalam Menggunakan Medsos

Made Nariana. foto: dok

Oleh Made Nariana

MEDIA cetak (surat kabar), radio, televisi dan media online berbasis Lembaga Hukum umumnya selalu taat dengan tata krama. Mereka bekerja berlandaskan UU Pers, Kode Etik Jurnalistik dan UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Tranksaksi Elektronik). Kalau kadangkala ada pelanggaran, bisa saja terjadi, karena manusia tidak ada yang luput dari kesalahan.

Bacaan Lainnya

Semua UU tersebut mengatur tata cara menggunakan media massa secara bijaksana. UU ada sanksi hukumnya, sementara etika ada sanksi moralnya. Salah satu etika jurnalistik mengatur, bahwa setiap insan media (wartawan) harus mencari berita dengan jujur.

Menulis berita juga dengan fakta dan data yang ada. Tidak boleh menghayal, menjelek-jelak orang, lembaga atau instansi lain. Beda dengan mengoreksi, melakukan sosial kontrol sesuai dengan salah satu fungsi pers.

Satu hal yang selalu menarik bagi saya, ada hal yang diatur dalam Etika Jurnalistik sebagai berikut: “ Wartawan tidak boleh membuat suatu berita dengan etikad buruk. Hendaknya dengan etikad baik, tidak boleh dengan etikad buruk, sengaja ingin menjatuhkan pihak lain”. Antara lain begitulah maknanya!

Saya tidak akan merinci lebih jauh soal aturan media pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Sebagai jurnalis yang sampai saat ini masih aktif di dunia itu, saya hanya ingin membandingkan bagaimana setiap orang di jaman sekarang menjadi “jurnalis” (dalam tanda petik) dengan memanfaatkan hanphone (HP) masing-masing.

Baca juga :  Pemain Voli Aprilia Manganang Mengalami Hipospadia, Ini Penjelasan Kepala Staf Angkatan Darat

Sampai muncul istilah “netizen journalist” dalam kehidupan dunia pers secara umum. Kemajuan teknologi informasi dan demokrasi memberikan ruang setiap orang membuat news (berita) dari tempat masing-masing sambil tiduran di sofa.

Wartawan media mainstream umumnya bekerja keras kemana-mana mengejar berita. Dikerjakan pada kesempatan pertama. Kemudian dikirim ke meja redaksi, untuk diperiksa (diedit kembali) redakturnya, bahkan diperiksa pimpinan redaksi – baru dimuat/disiarkan kalau memenuhi syarat: menarik, isi, mutu, dan penyajian.

Sebaliknya “netizen journalist”, menulis sendiri apa yang mau disampaikan, langsung disiarkan melalui bebagai aplikasi di HP masing-masing. Tanpa ada koreksi, tanpa ada sensor pribadi apalagi diperiksa team tertentu.

Lalu apa akibatnya? Bagi mereka yang kurang bijak bermediasosial, sering muncul cacian, fitnah, menjelek-jelekan pihak lain, malahan melakukan tuduhan tidak benar. UU ITE memang dapat memberi hukuman formal kepada isi media sosial (medsos) yang salah.

Tetapi sering (kecuali yang keterlaluan) malas mengajukan ke pihak berwajib. Fitnah paling kejam yang saya amati selama lima tahun ini adalah kepada Presiden Jokowi, (terlepas beliau belakangan ini tidak konsisten dengan partai dan Ibu Megawati Soekarno Putri).

Terakhir saya tertarik dengan kalimat di sebuah medsos yang mengimbau pembacanya dengan kata-kata seperti ini. “Ayo gemboskan PDI Perjuangan di Bali. Jangan pilih calon itu, sebab janjinya sering bohong. Jangan pilih si Anu, mereka preman….dan seterusnya”.

Baca juga :  Gempa Rusak Puluhan Fasum di Bangli, Tewaskan Dua Warga

Saya seumur hidup sudah menjadi jurnalis. Tidak pernah ada niat buruk dalam menulis berita. Wartawan sesuai aturan etika (moral), memang tidak boleh berniat buruk dalam membuat berita. Memangnya mudah mau mengajak pihak lain untuk melakukan apa yang kita inginkan?

Kondisi saat ini, memang bebas bermedia sosial (bermedsos-ria). Tetapi apa tidak sebaiknya kita khususnya generasi milineal lebih bijak dan bijaksana memanfaatkan medsos?

Saya pikir, Agama juga melarang umatnya melakukan caci-maki, adu domba, memfitnah dan menjelek-jelekan pihak lain bukan? (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.