DENPASAR – Terjaringnya Bendesa Adat Berawa, Ketut Riana, dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali pada pekan lalu, memantik keprihatinan anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Gde Sumarjaya Linggih, Minggu (5/5/2024). Menilai desa adat perlu dilindungi dalam mengelola potensi wilayahnya, tapi dia juga menyesalkan jika dalam prosesnya justru menjadi bentuk perilaku koruptif.
Menurut Demer, sapaan akrabnya, langkah Kejati Bali dalam melakukan OTT terhadap segala bentuk perilaku koruptif yang melibatkan pemangku kebijakan di tingkat desa, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan desa adat, patut diapresiasi. Bercermin dari peristiwa yang menimpa Bendesa Ketut Riana yang diduga memeras investor, Demer minta para bendesa adat berhati-hati dalam melakukan pelbagai bentuk pungutan atau transaksi lain yang berkaitan dengan investasi di wilayah desa adat. Terlepas apakah terbukti atau tidak perbuatan yang dituduhkan kepada Bendesa Ketut Riana, dia mengajak semua pihak menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
Dalam pandangannya, di satu sisi Perda Nomor 4/2019 tentang Desa Adat di Bali memberi ruang dan peluang bagi desa adat melakukan pungutan dengan sejumlah syarat. Pula memberi kesempatan bagi desa adat mengoptimalkan potensi wilayahnya, dalam rangka memajukan dan meningkatkan eksistensi desa adat dengan kemampuan sendiri. Di sisi lain, harus diakui tidak semua bendesa adat memahami batasan yang boleh dilakukan.
“Jadi, agar penerapan kebijakan terhadap pungutan tersebut tidak bertentangan dengan hukum nasional, walaupun kebijakan dimaksud telah dituangkan ke dalam pararem desa adat,” papar Korwil Pemenangan Pemilu Wilayah Bali, NTB dan NTT DPP Partai Golkar ini.
Lebih jauh diungkapkan, pemerintah daerah beserta instansi penegak hukum di daerah seyogianya membuat rumusan regulasi yang baku guna memberi pedoman tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, berkaitan dengan kebijakan pungutan di lingkungan desa adat. Desa adat dalam membuat pararem yang berkaitan dengan pungutan, sambungnya, harus selalu melakukan koordinasi dan konsultasi kepada aparat penegak hukum, yakni kepolisian atau kejaksaan.
Kejaksaan dengan salah satu fungsinya di bidang pembinaan hukum dan pengawasan, pintanya, mesti efektif dalam menjalankan fungsinya tersebut. Dengan demikian, praktik-praktik pungutan yang menyimpang melalui lembaga desa adat ini dapat dicegah sejak dini. “Artinya, prestasi kejaksaan hendaknya tidak hanya sebatas pada aspek penindakan secara kuantitatif, juga memperhatikan kualitas fungsi pembinaan dan pengawasannya,” harap politisi asal Buleleng, Bali tersebut.
Jika bendesa adat, pemerintah dan aparat penegak hukum mampu saling bersinergi melalui komunikasi dua arah yang intensif, dia optimis penguatan eksistensi desa adat melalui Perda Desa Adat dapat berjalan efektif sebagaimana tujuan dan cita-cita yang diinginkan. Sinergi ini juga diharap mampu mencegah munculnya “raja-raja kecil” yang dengan kekuasaannya itu justru makin membuka peluang munculnya praktik-praktik korupsi.
“Prinsipnya, kita ingin desa adat maju dan sejahtera, tapi tetap berjalan di koridor hukum yang berlaku dengan menutup sekecil mungkin peluang terjadinya korupsi,” lugasnya memungkasi. hen