Anggota Parpol Jadi Komisioner Khianati Spirit Reformasi, Penyelenggara Jadi Barometer Pemilu Berintegritas

Lidartawan dan Lanang Perbawa. Foto: hen
Lidartawan dan Lanang Perbawa. Foto: hen

DENPASAR – Kabar unik lahir dari draf RUU Pemilu yang merupakan salah satu revisi Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 di DPR RI. Di draf RUU terselip satu pasal perubahan soal keterwakilan partai politik (parpol) dalam komposisi keanggotaan komisioner KPU. Pasal ini dikritik sebagai bentuk pengkhianatan terhadap spirit reformasi politik di Indonesia.

Dikutip dari detik.com pada Senin (25/1/2021), aturan itu tertuang dalam pasal 16 ayat 7. Pasal itu menyebutkan komposisi anggota KPU RI, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan parpol secara proporsional sesuai hasil pemilu sebelumnya. Menanggapi draf tersebut, Dekan Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati, Dr. Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa, menilai sangat bertentangan dengan semangat KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Bacaan Lainnya

“Kemandirian itu karena KPU bekerja profesional dan sebagainya, apalagi akan jadi penyelenggara atau wasit. Kalau di situ kemandirian tidak dijamin (karena komisionernya dari anggota parpol) maka akan jadi masalah. Bagaimana bisa membuat undang-undang yang bertentangan dengan independensi penyelenggara?” seru mantan Ketua KPU Bali tersebut.

Lebih jauh disampaikan, secara empirik, ketika KPU masih bernama Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang dinakhodai Rudini sebagai Mendagri, pernah terjadi konflik dan penyelesaiannya berlarut-larut. Misalnya ada surat yang tidak ditandatangani karena penyelenggaranya tidak seirama. Menimbang pengalaman itu, ulasnya, secara teoretis sudah teruji bahwa lembaga penyelenggara pemilu tidak dapat bekerja dengan baik ketika orang parpol duduk di dalamnya. “Singkat kata, draf itu langkah mundur dalam penyelenggara pemilu di kita,” sergahnya.

Baca juga :  DPRD Ingatkan Pemkot Jalankan Program Efektif dan Efisien

Bahwa orang parpol bisa “masuk” jadi penyelenggara, cetusnya, dimungkinkan dengan jeda waktu minimal dari masa aktif pengurus parpol. Misalnya minimal 10 tahun berhenti sebagai anggota parpol. Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah, secara filosofis, semangat reformasi yang menuntut pemilu dilangsungkan secara akuntabel, profesional, dan asas langsung, umum, bebas, rahasia (luber) oleh penyelenggara.

“Penyelenggara itu barometer pemilu berintegritas. Kalau sekarang mau dikembalikan seperti dulu, jelas itu mengkhianati spirit reformasi,” tudingnya.

Disinggung kemungkinan draf itu muncul karena penyelenggara saat ini dinilai kurang berintegritas oleh parlemen, Lanang tidak sependapat. Kata dia, jika asumsi itu dipakai, sama saja legislatif secara tidak langsung mengatakan produk eksekutif dan legislatif saat ini, mulai dari Presiden, DPR, DPRD, gubernur, bupati/ wali kota kualitasnya kurang baik.

“Kenapa penyelenggaranya saja dipersoalkan? Kok produknya tidak dipersoalkan? Apapun alasannya, draf itu bertentangan dengan prinsip kemandirian,” sebutnya dengan nada tinggi.

Munculnya draf itu, sambungnya, menunjukkan legislatif tidak menangkap pengalaman empirik dan menyelami filosofi perjuangan reformasi. “DPR itu seperti hanya mempertimbangkan kepentingan politik saja, seperti mau menaruh orang parpol yang tidak dapat kursi di KPU. Seolah asumsinya bangsa ini harus berparpol semua,” pungkasnya.

Ketua KPU Bali, I Dewa Agung Gede Lidartawan, di kesempatan terpisah, menyatakan pandangan senada. Ketika KPU “dikuasai” parpol, maka KPU tidak mandiri lagi. Prinsip kemandirian KPU itu, ungkapnya, adalah nonpartisan. “Masa yang bertarung merangkap jadi wasit?” katanya. Kendati ada draf itu, dia optimis KPU akan tetap seperti sekarang, yakni tidak memberi ruang untuk orang parpol. Justru yang kemungkinan berubah adalah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yang berbentuk ad hoc (sementara) ketika ada kasus oleh komisioner. Atau bisa juga dengan membentuk Badan Kehormatan KPU seperti di DPR atau KPK. “Itu pun kasusnya khusus menangani etik. Tapi ini prosesnya masih panjang, kita tunggu hasilnya nanti seperti apa,” terangnya. hen

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.