POSMERDEKA.COM, DENPASAR – Komisi I DPRD Bali menerima penyampaian aspirasi warga Jimbaran, di wantilan DPRD, Senin (3/2/2025). Mereka mengadukan lahan tanah milik desa adat seluas 280 hektar kini dikuasai PT Jimbaran Hijau, dengan status Hak Guna Bangunan (HGB). Saat audiensi itu, DPRD mengingatkan warga agar tetap solid dan tidak terprovokasi atas rayuan atau intimidasi pihak luar.
Dari Komisi I hadir Nyoman Budiutama selaku Ketua, Gde Harja Astawa, Agung Suyoga, Dewa Rai, dan Oka Antara. Turut hadir anggota Komisi II Dapil Badung, Tama Tenaya; yang diundang khusus, dan Wakil Ketua DPRD, Nova Sewi Putra. “Kami akan segera rapat dengan pihak yang terkait setelah pertemuan ini,” sebut Budiutama.
Nyoman Temad sebagai juru bicara menuturkan, tanah yang dipersoalkan itu warisan dari era Kerajaan Mengwi, dan dikerjakan warga setempat sebagai penyakap. Hasil garapan disetor ke desa adat untuk keperluan piodalan di Pura Ulun Suwi. Setelah kemerdekaan Indonesia, tanah itu kemudian dikuasai negara. Oleh desa adat diserahkan untuk dikelola krama setempat.
“Tahun 1994-1995 terjadi penggusuran massal bersamaan dengan Pecatu Graha. Subak Balangtamak ini warganya berpendidikan kurang, tidak paham bisa mengadu ke mana. Tanah diambil aparat dengan jalan kurang manusiawi waktu itu, diserahkan ke investor Cita Tanah Selaras,” kisahnya.
Bendesa Adat Jimbaran, AA Rai Dirga, menambahkan, kini lahan dikuasai PT Jimbaran Hijau dengan status HGB. Dia pernah minta penjelasan di Jimbaran Hijau dasar menguasai tanah desa adat itu, tapi tidak digubris. “Konsesi cuma 25 tahun dan sudah berakhir tahun 2014, tapi ada perpanjangan tanpa koordinasi ke desa adat. Tanahnya mencapai 200 hektar,” terangnya.
Dia berharap tanah warisan itu bisa kembali jadi warisan Pura Ulun Suwi. Rencananya sebagian akan dipakai untuk tempat tinggal warga setempat yang tak punya rumah. Sekarang 200 KK Jimbaran tidak punya tempat tinggal, padahal Jimbaran dikenal wilayah kaya dan pariwisata. “Sebagian krama wed (warga asli) di pusat desa tidak bisa lihat sinar matahari karena rumahnya sangat dempet. Kalau tanah itu kembali, kami beri ruang untuk bikin tempat tinggal layak,” lugasnya.
“Sesuai aturan Menteri ATR, tanah yang dulu tanah ulayat tapi HGB tidak dibangun, harus dikembalikan. Kalau memohon pasti kami kalah dengan korporasi,” keluhnya.
Menanggapi curhat warga itu, Dewa Rai menyatakan akan mempelajari dan menyelesaikan persoalan tersebut. Dia prihatin warga asli diusir tahun 1994. “Sekarang zaman beda, jangan tindas masyarakat Jimbaran dan lainnya. Kami mendukung masyarakat, karena perpanjangan izin tanpa dukungan masyarakat itu melanggar hukum. Biro Hukum Pemprov agar kaji itu,” tegas politisi PDIP itu.
“Jangan ada ketakutan lagi, apalagi Gubernur Koster menjadikan desa adat ujungtombak menjaga Bali. Kalau diinjak apa diam?” sergahnya disambut aplaus hadirin.
Agar tujuan warga dapat tercapai, Harja Astawa menyarankan agar jangan sampai terjebak pada persoalan hukum. Dia yakin proses untuk membela kepentingan warga dapat terwujud, yang penting dikawal bersama-sama. Meski, dia pribadi mengakui memang berat melawan korporasi.
“Saya ingatkan jangan terjebak persoalan hukum yang lain. Jangan sampai dirayu, dipecah-belah, harus solid. Hati-hati, tokohnya pasti diincar. Saya pernah membela warga dalam kasus di Lemukih, Buleleng. Kasusnya mirip begini,” terangnya
Tama Tenaya menambahkan, warga agar menyiapkan data pendukung atas tanah itu. Sebagai tindak lanjut, dia menjamin DPRD akan memanggil PT Jimbaran Hijau untuk duduk bersama. “Kami akan laporkan juga ke Pj. Gubernur atau Gubernur definitif nanti supaya diatensi. Kalau masalah tanah di Sumberkelampok (Buleleng) bisa beres, kenapa Jimbaran tidak?” ulasnya memberi semangat.
Ngurah Satria dari Biro Hukum Pemprov Bali menyatakan, secara aturan mestinya HGB dicabut kalau tanahnya ditelantarkan. “Upayakan nonlitigasi dulu dengan mendesak BPN bisa mengeluarkan HGB itu seperti apa prosesnya,” sarannya memungkasi. hen