“Cintaku, adinda, seputih beras. Sayang, beras itu ada gabahnya,” ucap Narasoma ke Pujawati, istrinya. Pujawati nan jelita itu anak Rsi Bagaspati dengan wujud raksasa, yang disindir sebagai gabah.
Kabupaten Badung kini, dalam batas tertentu, mirip dengan beras berisi gabah: sepintas terlihat indah, tapi menyimpan sejumlah masalah.
HAWA Pilkada Badung 2020 yang sedingin cuaca Sasih Karo, menghangat sejak Ketua DPD Partai Golkar Bali, Nyoman Sugawa Korry, melansir cocoklogi niskala yakni 21,21,21. Angka itu mengandaikan periode kepemimpinan di Badung, di mana pola 2 periode Golkar disambung 1 periode PDIP selalu berulang. “Terprovokasi” dengan itu, Giri Prasta menjawab dia belum 1 periode, sehingga rumus itu tidak berlaku baginya. Pernyataan itu sebagai penanda mulai seriusnya Giri melihat penantangnya, duet Diatmika-Muntra, yang diunggulkan Golkar.
Giri mungkin sadar efek amplifikasi pesan cocoklogi 21,21,21 itu tidak bisa dianggap sederhana. Sama dengan tagar #2019gantipresiden yang digaungkan oposisi sejak 2018 lalu untuk mendelegitimasi Presiden Jokowi, dan pada saat yang sama menggelorakan semangat pendukungnya. Satu perang simbolik terjadi sudah. Lalu, bagaimana peluang dan tantangan kedua kubu saat dan usai pilkada nanti?
Kondisi pandemi Corona, harus diakui, sedikit menguntungkan penantang. Seabrek masalah sosial ekonomi akibat kolapsnya pariwisata, seperti pil pahit yang menyadarkan masyarakat bahwa pondasi Badung tidak sehebat dicitrakan di media. Carut marut keuangan Badung pun banyak beredar di media massa dan media sosial.
Keberanian muncul di tengah situasi prihatin begini, juga memudahkan penantang menjual isu menghadirkan “perubahan”, entah apa bentuknya. Akumulasi ketidakpuasan ini menjadi arsenal dan modal populisme penantang. So, tidak butuh energi banyak mengikis kepercayaan masyarakat atas legitimasi petahana.
Namun, kelemahan popularitas penantang adalah fakta yang berat diatasi. Mendadak dan mepetnya waktu memunculkan diri rentan memancing tudingan duet ini merupakan calon boneka. Apalagi sebagian sosok di belakang Diatmika-Muntra terekam sebagai tim pemenangan Giri Prasta di Pilkada 2015. Belum ada bukti prestasi menonjol juga membuat penantang relatif sulit memasarkan gagasan perubahan. Jika titik ini piawai dikapitalisasi petahana, persepsi atas keseriusan penantang menghadirkan perubahan bisa layu sebelum berkembang.
Di kubu petahana, dengan mayoritas pembangunan infrastruktur diselesaikan selama 10 tahun AA Gde Agung menjabat Bupati, banyak kebijakan prorakyat diluncurkan Giri sejak 2016. Seperti laptop gratis untuk pelajar SD dan SMP, kesehatan gratis, santunan kematian, santunan lansia, dan lainnya. Istilah “tiada duanya di dunia” rasanya layak disematkan untuk menilai pelbagai kebijakan Tri Kona era Giri, karena mulai lahir sampai mati diurus pemerintah. Saking populisnya, sampai penunggu pasien pun di RSD Mengusada Badung mendapat santunan.
Kebijakan sangat sosialis itu mudah dikonstruksi pendukung Giri dengan jargon “Bupati bares”. Bares (royal) di sini menyiratkan Giri sosok yang sayang rakyatnya, sekaligus modal simbolik dia sebagai penopang utama kekuasaan. Karena masih berkuasa, logistik juga jadi keunggulan lain petahana.
Namun, apa kelebihan petahana justru itu juga kelemahannya. Kondisi Badung era kiwari mirip Indonesia saat “dibelai” krisis moneter tahun 1997-1998: dianggap kuat tapi keropos di dalam. Akibat defisit, Badung merasionalisasi sejumlah program sejak 2019, bahkan sampai memangkas tunjangan kinerja ASN. Atribut bares jadi terkoreksi, karena untuk tetap terlihat bares jelas butuh modal.
Memaksakan diri tetap bares, duit sangat terbatas. Jika tidak bares seperti dulu, citra dan popularitas diri taruhannya di pilkada. Tetapi, Giri memilih tetap terlihat bares dengan logika justifikasinya. Disadari atau tidak, ini menandakan Giri tidak berani tidak populer.
Dari aspek komunikasi politik, masyarakat sejatinya tidak peduli bagaimana satu kebijakan dijalankan, sepanjang hasilnya bisa dinikmati. Turbulensi timbul ketika kebijakan itu tidak berjalan tanpa disertai penjelasan logis dan membumi. Masalah khas penguasa adalah bagaimana menjelaskan suatu kebijakan tidak bisa dijalankan, tanpa harus berdampak kepada menurunnya kepercayaan rakyat. Di titik ini butuh kompetensi komunikasi politik memasarkan gagasan dan wacana melalui elite politik, media massa dan khalayak dengan disertai kejujuran. Terpenting bukan sumber pesan, melainkan isi dan tujuannya.
Mendayung sampan pilkada di tengah samudera pandemi, memaksa kontestan berpikir dan berbuat out of the box. Termasuk bagaimana menjual suatu gagasan perbaikan dan perubahan dari situasi prihatin ini. Tantangan kedua paslon yakni merancang suatu kebijakan logis, terjangkau, dan dapat segera dieksekusi ketika menang. Sebab, tidak ada yang tahu kapan wabah global ini berakhir.
Senyampang menanti vaksin Corona ditemukan, rakyat Badung patut merenung untuk mementaskan Pilkada Badung kualitas. Tekad itu tidak hanya ditentukan spirit dalam hati warga, tapi juga peran media. Media berperan strategis mengedukasi masyarakat, dengan konten yang tidak hanya berputar soal siapa kemungkinan kalah dan menang. Media mesti mendorong kedua paslon gempita menyingkirkan “suasana mendung” di Badung, sekaligus terus mengingatkan warga dan pemenang –siapapun itu– serius menata Badung dengan proyek-proyek perubahan. Gus Hendra