Oleh Made Nariana
BANYAK kalangan dan pengamat politik mengatakan di media sosial (medsos), pemilu kali ini yang terlaksana 14 Februari 2024 – merupakan pemilu paling brutal. Pemilu paling tidak bermartabat, di mana hasilnya merupakan buah berbagai kecurangan dengan berbagai cara. Banyak menghalalkan berbagai cara kurang beradab!
Kalau sebelumnya setiap pemilu atau pilkada masyarakat mengenal istilah “serangan fajar”, rakyat ”ditembak” dini hari dengan dana sehingga berpaling pilihan. Tetapi sekarang bukan serangan fajar lagi. Sudah berubah menjadi “serangan siang bolong”. Serangan terang-terangan di depan mata.
Sejak awal, banyak calon legislatif (caleg), menyampaikan kepada tim suksesnya membeli suara. Sampaikan kepada masyarakat, beli suara mereka. “Kalau mau sekali bayar, siap Rp500.000 setiap suara. Usai beli langsung habis! Kalau mau masih memiliki hubungan bathin, cukup Rp300.000 setiap suara,” kata caleg tersebut kepada tim sukses supaya disampaikan kepada calon pemilih.
Mendengar tawaran itu, calon pemilih baik yang kalangan berada, apalagi yang kurang mampu tentu saja memilih yang Rp500.000. Ada empat pemilih di tiap keluarga, langsung dapat Rp2.000.000 dalam waktu 3 menit di TPS (tempat pemungutan suara).
Belum lagi dimainkan kordinator di tiap TPS. Mereka bisa saja menilep sebagian — dari jumlah yang diberikan. Dasar manusia tidak pernah bersyukur dengan apa yang dimiliki!.
Permainan jual beli suara di siang bolong itu, memang seperti kentut. Tidak kelihatan namun baunya amis di mana-mana. Banyak pemilih lupa dengan semaya (janji) sebelumnya karena mabuk dengan rejeki Rp500.000.- itu.
Bahkan ada rumor, seorang koordinator pencari suara berani menjanjikan suara lebih banyak. Karena wilayah sulit, tentu dana yang diminta lebih. Kenyataan tidak berhasil…sebagian dana penyandang dana ditilep lebih awal. Akhirnya semua sukses — caleg dan tim suksesnya sekalian.
Melihat kondisi seperti ini, saya merasa prihatin. Menjadi tidak respek dengan caleg menghalalkan segala cara menjadi wakil rakyat. Banyak pengalaman, mereka kelak setelah duduk di kursi empuk wakil rakyat, tidak akan melaksanakan janji-janjinya.
Sekalipun melaksanakan janji, mereka pasti berharap dari bansos (bantuan sosial) yang diperolehnya. Bansos itu adalah uang rakyat dari pajak rakyat!. Diberikan kepada rakyat melalui wakil rakyat kepada rakyat. Jeruk makan jeruklah!.
Apakah mereka akan menyisihkan dari gajinya buat rakyat? Pasti tidaklah!. Merasa banyak mengeluarkan saat kampanye, maka pasti akan diperhitungkan bagaimana cara mengembalikan dana yang dikeluarkan sebelumnya.
Kalau cara-cara money politic terus menerus diberikan ruang seperti ini, jangan berharap daerah, bangsa dan negara akan mendapat wakil yang benar-benar berjuang demi rakyat. Kita akan selalu kembali dengan “lingkaran setan”, kalau sistem pemilu seperti belakangan ini. Brutal, tidak beradab, tidak memiliki martabat.
Banyak kalangan mengatakan, sengaja rakyat dibuat miskin, sehingga setiap pemilu mereka terus tergantung dan berharap dengan bansos, BLT dan serangan fajar sampai serangan terang-terangan di siang bolong. Setiap pemilu berulang hal yang sama, sehingga demokrasi semakin amburadul. Begitulah! (*)