SALAH satu koran lokal memberitakan bahwa sampai Maret 2024 siswa miskin tercatat 184.430 jiwa. Siswa miskin itu justru lebih banyak ditampung di sekolah swasta.
Pengamat pendidikan, Dr. Ida Bagus Anom, mengatakan bahwa belum ada paslon yang berani memberi jaminan membantu siswa miskin, apalagi benar-benar terwujud. Walaupun ada, itu pun dalam jumlah yang terbatas di sekolah negeri—yang memiliki KK miskin, yang rumahnya dekat sekolah.
Di luar KK miskin administratif masih banyak orang miskin secara faktual yang belum mampu bayar uang sekolah. Hal itu kentara ketika anak akan menerima rapor akhir semester dan kenaikan kelas.
Rapor siswa miskin akhirnya belum bisa diterima oleh siswa gara-gara belum mampu melunasi uang sekolah. Belum tuntas masalah siswa miskin secara faktual, lalu muncul wacana program makan bergizi gratis sebagai realisasi janji kampanye presiden terpilih. Untuk sekolah swasta masih abu-abu bagaimana realisasi makan bergizi gratis di tengah tunggakan uang sekolah yang berbulan-bulan.
Sehubungan dengan siswa miskin penulis akan mencoba menggali fakta yang ada di sekolah. Siswa miskin biasanya belum bisa melunasi uang sekolah pada waktu yang ditetapkan bahkan tunggakannya sampai menumpuk satu semester bahkan ada yang sampai tamat.
Bagi sekolah, terutama sekolah swasta (baca: sekolah swasta yang tidak favorit), tentu menjadi dilema jika banyak anak yang belum bisa melunasi uang sekolah. Di satu pihak, Pemerintah melarang menahan ijazah siwa yang belum bisa meluansi uang sekolah. Di pihak lain pemerintah belum banyak membantu siswa yang belum bisa melunasi uang sekolah di sekolah swasta.
Sedang Dana BOS telah digunakan untuk biaya operasional sekolah sesuai dengan aturan yang begitu ketat. Bagi sekolah swasta yang jumlah siswa sedikit, kondisinya benar-benar “ngos-ngosan” untuk bertahan di dalam membantu siswa yang banyak menunggak uang sekolah sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Penulis sampai saat ini masih mengajar baik di sekolah (SMA) swasta maupun di sekolah negeri. Penulis sendiri sering merasa kasihan ada sejumlah anak terpaksa gigit jari ketika belum bisa menerima rapor gara-gara belum melunasi uang sekolah.
Dalam hal ini mereka sudah mengalami tekanan secara mental. Teman-temanya dengan riang gembira meenerima hasil belajarnya selama satu semester tetapi si anak penunggak uang sekolah hanya bisa melihat sepintas hasil belajarnya. Pihak sekolah sesungguhnya toleran bagi anak yang belum mampu melunasi uang sekolah asalkan ada komunikasi yang baik dari orang tuanya. Sayang, kadang si orang tua tidak mau jujur menyampaikan kepada pihak sekolah—sering hanya janji untuk melunasi uang sekolah.
Menurut pengamatan penulis, persentase siswa miskin lebih banyak terdapat di sekolah swasta. Kondisi itu dilihat persentase menunggak uang sekolah dan latar belakang keluarga. Siswa miskin di sekolah swasta tidak jelas pekerjaan orang tuanya, banyak yang bekerja serabutan.
Orang tuanya yang pendatang dan tidak memiliki KK setempat, menjadi hambatan untuk bisa menyebut mereka keluarga miskin secara administratif. Sedangkan faktanya mereka memang benar miskin sehingga menunggak uang sekolah berbulan-bulan bahkan sampai tamat sekolah.
Buktinya, setelah diadakan kunjungan rumah dari pihak sekolah, diketahui keluarga siswa miskin itu memiliki anak yang banyak tidak seimbang dengan penghasilan orang tua yang kerja serabutan atau pedagang kecil (warung). Tempat tinggalnya pun tidak pantas disebut layak sebagai rumah tempat tinggal.
Semiskin-miskinnya siswa di sekolah negeri ternyata anak yang di swasta lebih miskin. Di sekolah swasta siswa yang jarang sekolah justru membantu orang tua dalam mencari nafkah untuk memenhui kebutuhan keluarga. Anak miskin di sekolah negeri biasanya dibantu Kartu Indonesia Pintar (KIP), KK Miskin, atau Surat Keteranngan dari Desa/Keelurahan karena mereka tercatat sebagai warga setempat.
Sedangkan siswa miskin di sekolah swasta tidak bisa mencari keterangan miskin karena mereka tidak memiliki alamat KK atau KTP di tempat tinggalnya. Mereka sudah merasa bersyukur karena pihak sekolah sudah mengetahinya sebagai keluarga miskin.
Sering penulis dengar dari wali kelas atau petugas administrasi sekolah hanya menerima janji untuk melunasi uang sekolah dari pihak orang tua. Melihat latar belakang orang tua, pihak sekolah memaklumi ketidaktepatan orang tua dalam memenuhi janji melunasi uang sekolah. Ingkar janji orang miskin dapat dimengerti karena terpaksa agar anaknya bisa sekolah.
Di sekolah negeri setelah siswa miskin tamat, ijazahnya tidak mungkin ditahan oleh sekolah karena pemerintah melarang hal itu. Sedangkan di sekolah swasta, penahanan ijazah tentu menjadi dilema yang sangat sulit dipecahkan. Jika satu orang diloloskan tanpa sanksi pada anak yang menjunggak, maka akan diikuti oleh banyak siswa miskin.
Walau demikian, pihak sekolah selalu mencari upaya. Kasus demi kasus dapat diselesaikan oleh sekolah swasta dengan komunikasi yang baik sehingga dapat menyelesaikan tunggakan uang sekolah secara baik walau tidak berhasil seratus persen. Tugas sekolah negeri tidak seberat sekolah swasta dalam menangani siswa miskin asalkan si anak mau sekolah dan belajar sebagaimana mestinya. Kesulitan sekolah negeri biasanya keluarganya miskin dan kurang sadar akan pentingnya pendidikan, si anak suka mabuk-mabukan, dan tidak ada niat belajar.
Kebijakan pemerintah sering merugikan sekolah swasta. Semua sekolah swasta dianggap mampu membiayai operasinalnya sehingga guru-guru negeri yang mengajar di sekolah swasta ditarik ketika lolos guru ASN. Sangatlah memprihatinkan guru yang sudah banyak mengabdi di sekolah swasta dan menemukan cara terbaik dalam menangani anak yang bermasalah baik dari segi ekonomi keluarga maupun memotivasi siswa dalam belajar tiba-tiba diangkat menjadi guru ASN dan mereka harus meninggalkan sekolah swasta.
Tentu dalam mencari guru yang memiliki dedikasi yang tinggi terhadap sekolah bukanlah pekerjaan yang mudah apalagi sekolah swasta belum mampu memberi gaji yang layak atau seatara guru ASN. Dalam hal ini pemerintah seolah menutup mata terhadap kondisi sekolah swasta yang faktanya benar-benar membantu siswa miskin. Siswa miskin secara faktual lebih banyak masuk di sekolah swasta. Miskin yang penulis maksud adalah miskin secara fisik dan miskin wawasan berpikir pada orang tua siswa. (*)
Penulis: Praktisi pendidikan, IGK Tribana