Rekomendasi Bali dan Misteri Setengah Hati

BALI, sebagai daerah asal neneknya, seperti “diistimewakan” Megawati Sukarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP dalam mengumumkan paslon Pilkada 2020. Penyampaian rekomendasi untuk Bali yang sedianya awal Juli bergeser menjadi akhir Juli, terakhir berubah jadi awal Agustus. Sampai dengan 21 Agustus 2020 tak kunjung dikumandangkan, isi rekomendasi seperti misteri bagi khalayak yang menanti.

“Misteri” itu makin terlegitimasi dengan sikap petinggi DPD PDIP Bali yang menahan diri, bahkan cenderung takut, untuk mengomentari soal ini agar tidak melangkahi kewenangan DPP. Yang unik, meski belum ada pengumuman resmi, ada tim dari paslon PDIP mulai aktif bersosialisasi ke masyarakat, antara lain lewat media sosial. Hal ini seperti tandingan dari agresivitas kubu lawan yang lebih dulu direkomendasi. Jadi, rekomendasi itu misteri, tapi diam-diam sudah dieksekusi.

Bacaan Lainnya

Anomali realitas ini jelas memantik penasaran, baik sekutu maupun seteru. Nah, salah satu tengara yang muncul di balik maju-mundur pengumuman rekomendasi yakni belum padunya menetapkan figur wakil bupati, terutama yang bukan kader murni. Satu lagi, adanya tarik-menarik bara politik dinasti yang belum padam di Tabanan.

Rumor politik dinasti tidak usah dibahas, karena topik itu sudah jadi rahasia umum. Yang menarik dibincangkan adalah ketika calon wakil bupati bukan kader berkeringat, dan posisi itu dicemaskan menjadi tembok besar bagi kader murni yang kelak punya hasrat menjadi bupati selanjutnya. Selain di Badung, kalkulasi politik ini juga melanda Karangasem.

Baca juga :  Gambling dalam Pilkada

Arta Dipa yang menjadi calon kuat Wakil Bupati Karangasem memiliki rekam jejak dengan sedikit noda dalam hal integritas. Mengaku lama di Golkar, kemudian hijrah ke Nasdem dan menjadi Wakil Bupati IGA Mas Sumatri, lalu pindah kos ke Golkar pada akhir 2019, tapi ngambek dan dijemput PDIP di detik-detik akhir. Konon, Dipa direkrut untuk membelah suara dukungan petahana Mas Sumatri.

Sebentuk sebangun dengan Suiasa di Badung, jika menang, Dipa juga berpotensi menjadi kompetitor Gede Dana untuk periode berikutnya. Sebab, Dipa tak bisa lagi mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati karena sudah dua kali di posisi sama meski dengan Bupati berbeda. Pilihannya, dia berhenti berpolitik atau malah “naik kelas” menjadi calon Bupati, dan ini berarti menyaingi Dana yang kader murni PDIP. Tentu dengan modal popularitas, akseptabilits dan elektabilitas yang mendekati Dana –plus kemungkinan mempunyai gerbong baru. Bila sekarang saja Dipa mudah lompat partai, tidak ada jaminan kisah sama tidak berulang pada pilkada selanjutnya.

Bila gagal menang kali ini, Dipa tetap ada peluang menjadi caleg untuk PDIP dengan kemungkinan menyasar ke DPRD Bali. Alih-alih berperan sebagai penyumbang suara untuk partai, Dipa lebih mungkin menjadi pesaing legislator petahana dari Karangasem. Konsekuensi ini juga bukan hal menyenangkan untuk diterima kader senior di PDIP.  

Kisah di balik layar lainnya yakni tentang kebutuhan biaya politik pilkada. Konon mencapai Rp 10 miliar untuk kebutuhan saksi, konsumsi dan sebagainya. Itu belum termasuk biaya simakrama dan “teman-temannya”. Dipa, sampai detik-detik terakhir, kabarnya belum menyerahkan biaya politik dengan pembagian 60 persen untuk calon Bupati, dan 40 persen untuk calon Wakil Bupati. Proporsi ini bisa berubah menjadi 7:3, dengan korelasi terhadap pembagian kekuasaan setelah menjabat kelak. Misalnya nanti dari 10 OPD, Bupati memegang kendali di 6 sampai 7 OPD, sisanya dipegang Wakil Bupati.

Baca juga :  Hikmah Isu Kudeta, AHY Dinilai Bikin Solid Partai

Kini, dengan makin dekatnya tahap pendaftaran paslon, rekomendasi PDIP niscaya segera diumumkan. Di muka umum, langkah menunda itu bisa diartikulasikan sebagai bentuk PDIP yang berkuasa di lima kabupaten/kota selain Karangasem, menahan diri untuk mengunci peluang lawan mengusik kandidat wakil bupati mereka. Pun sebagai jaga-jaga agar lingkaran dalam yang kecewa dengan rekomendasi DPP tidak punya cukup momentum mengobrak-abrik keputusan DPP. Perlu diingat, DPP PDIP pernah merilis rekomendasi jilid II untuk Pilkada Tabanan 2010 silam.

Namun, serigid apapun memperhitungkan taktik, semua sepatutnya berpulang kepada bagaimana partai hegemonik di Bali ini, melahirkan paslon dengan kapabilitas dan kompetensi menjawab tantangan di era pandemi Corona. Kandidat silakan gonta-ganti, tapi perbaikan taraf kehidupan masyarakat yang sekian bulan sekarat di banyak sektor wajib jadi taruhannya. Ya, rekomendasi PDIP kali ini bak misteri, tapi misteri setengah hati. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.