DENPASAR – Pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan perekonomian daerah Bali dapat dimaknai sebagai proses penyadaran terakhir atau bahan renungan bagi seluruh komponen untuk melakukan transformasi dalam pembangunan bidang kepariwisataan.
“Pengembangan pariwisata yang berpotensi merusak alam, budaya, dan manusia Bali sudah saatnya dievaluasi dan dihentikan,’’ seru Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) saat membuka rapat tahunan yang dirangkai dengan Pengukuhan Pengurus Pacific Asia Travel Association PATA Bali dan Nusa Tenggara Chapter Periode 2022-2027 di Art Gallery Griya Santrian Sanur, Kamis (22/9/2022).
Menurutnya, pariwisata yang dikembangkan ke depan harus berpihak pada pelestarian alam, penguatan budaya, dan peningkatan kualitas manusia Bali. Sebagai bahan evaluasi, Cok Ace mengajak para peserta yang hadir untuk menyegarkan kembali ingatan tentang cikal bakal pengembangan sektor pariwisata yang telah melalui sejarah sangat panjang, melewati beberapa fase.
Dia menuturkan, dikenalnya Bali sebagai daerah tujuan pariwisata berawal dari kedatangan H.Van Kol, seorang anggota parlemen Belanda yang datang sebagai turis dengan biaya sendiri pada tahun 1902. “Sebelumnya memang sudah ada orang asing yang datang, tapi tidak bisa disebut sebagai turis karena tujuan mereka bukan untuk berwisata tetapi untuk melaksanakan tugas dinas,” tuturnya.
Cok Ace melanjutkan, kembali ke negaranya, Van Kol membawa beberapa foto tentang pesona alam Bali. Foto itu tersebar dan mendapat respon positif, sehingga sejak itu mulai banyak warga asing yang tertarik berwisata ke Bali. Merespon hal itu, Belanda membuka biro pelayaran pertama untuk melayani minat warganya yang ingin bertamasya ke Pulau Dewata.
“Merujuk catatan sejarah, tiga kawasan yang menjadi cikal bakal pariwisata Bali adalah Sanur yang mewakili kawasan pantai, Ubud mewakili pedesaan dan Sidemen mewakili kawasan pegunungan,” ujarnya.
Mencermati hal itu, Cok Ace menyebut pengembangan pariwisata sebelum kemerdekaan sebagai fase satu. Kemudian, pesona Bali main dikenal saat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika tahun 1960, di mana Presiden RI Soekarno saat itu mengundang tokoh dunia datang ke Bali dan banyak ditulis oleh media asing. Menangkap fenomena itu, Presiden Soekarno kemudian berhasil menaikkan status Bandara Ngurah Rai sebagai international airport.
Fase berikutnya adalah periode 1960 hingga 1980, ditandai dengan pembangunan Hotel Bali Beach di Sanur dan kawasan khusus Nusa Dua. “Kenapa dikembangkan Nusa Dua sebagai kawasan khusus, karena saat itu mulai timbul kekhawatiran terjadinya kehancuran alam dan budaya jika pengembangan pariwisata tidak diatur. Dilokalisir di Nusa Dua, dengan harapan tak merusak tatanan budaya Bali. Ini bisa dikatakan fase mencari bentuk,” urainya.
Selanjutnya pada periode 1980 hingga 2000, Wagub yang juga menjabat Ketua BPD PHRI Bali ini mengatakan, pariwisata ada di persimpangan. Hal ini disebabkan pesatnya perkembangan sektor pariwisata yang mulai memicu masifnya alih fungsi lahan. “Kita ada dalam persimpangan, mau bertahan dengan pertanian atau pariwisata,” imbuhnya.
Setelah tahun 2000 hingga menjelang hantaman pandemi Covid-19, secara kuantitatif jumlah kunjungan wisatawan ke Bali memang cenderung bertambah. Namun di balik semua itu, sesungguhnya pariwisata Bali menuju redup atau diistilahkan sebagai sandyakalaning pariwisata.
“Kita bangga jumlah kunjungan menyentuh angka 6,5 juta. Namun sejatinya jumlah kunjungan wisatawan tak bisa dijadikan satu-satunya ukuran kemajuan Bali. Karena buktinya, pertumbuhan ekonomi Bali yang disupport sektor pariwisata tak dibarengi dengan peningkatan signifikan pada indeks pembangunan manusia,” bebernya.
Ia mengajak semua komponen membuka mata tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat Bali. Menurutnya, kesenjangan pertumbuhan ekonomi dengan IPM adalah persoalan serius, yang jika dibiarkan, lambat laun akan makin meminggirkan posisi manusia Bali.
Ditambahkan, sejatinya daerah Bali telah beberapa kali diingatkan tentang rapuhnya sektor pariwisata. Ada kejadian Bom Bali 1 dan 2, dimana kala itu pariwisata pulih dalam waktu relatif cepat. Lalu, pandemi Covid-19 yang disebutnya sebagai proses penyadaran terakhir untuk melakukan introspeksi diri.
“Mari kita lakukan evaluasi secara menyeluruh, arah pengembangan pariwisata Bali ke depan. Apakah yang dikembangkan selama ini sudah dalam track yang benar,” tanyanya.
Dalam penataan pariwisata Bali ke depan, Cok Ace mengajak seluruh komponen untuk berpedoman pada komitmen menjaga tiga modal utama yaitu alam, budaya dan manusia Bali. “Selamatkan alam, budaya dan manusianya, karena hanya itu kekayaan yang kita punya. Kalau kita sadar kalau pengembangan pariwisata merusak tiga hal itu, sebaiknya segera hentikan,” ujarnya menandaskan. alt