Ndasmu!, Indonesia Gelap, dan Matinya Kemanusiaan

Gus Hendra. Foto: hen
Gus Hendra. Foto: hen

WAKIL Menteri Pertanian (Wamentan), Sudaryono, menyebut Presiden Prabowo Subianto memerintah para menteri memperbaiki dinamika komunikasinya. “Ya ini bahas banyak dinamika komunikasi yang harus diperbaiki dan seterusnya lah,” ujar Sudaryono di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (24/3/2025) seperti dikutip dari kompas.com. Tidak perlu pintar untuk mengerti konteks perintah Presiden itu sebagai respons kegerahan Istana atas kencangnya suara ketidakpercayaan kepada pemerintah, terutama dipicu buruknya komunikasi massa pemerintah di ruang publik.

Berikut adalah contoh komunikasi tensi tinggi dan konotasi negatif dari pembantu Presiden Prabowo. “Kalau ada yang bilang itu Indonesia gelap, yang gelap kau, bukan Indonesia,” kata Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan. KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak mengatai pengkritik revisi Undang-Undang TNI sebagai “otak kampungan”. Yang agak “lucu” adalah Wamenag Muhammad Syafi’i, yang bilang tidak usah permasalahkan ormas minta THR ke pengusaha, karena “itu adalah budaya Lebaran di Indonesia sejak lama”.

Bacaan Lainnya

Presiden Prabowo bahkan bercanda soal jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat rapat kabinet, Jumat (21/3/2025). Dia bilang naik-turun harga saham bukan masalah bagi negara sepanjang harga pangan aman. Prabowo juga berujar bermain saham di pasar modal adalah judi. “Ndasmu!” adalah kata favorit Prabowo ketika menanggapi kritik kepadanya.

Baca juga :  DPRD Minta Mendagri Klarifikasi, Pj. Sekda Sebut Tak Jelas, Pj. Gubernur NTB Diisukan Dicopot

Jika dicermati, Prabowo dan para elite di lingkaran dalamnya seperti sedang ada gangguan kepekaan atas suara publik. Gestur, intonasi, diksi dan konotasinya negatif. Lebih dari itu, mereka menunjukkan kegarangan sebagai wujud tidak suka atas kritik yang datang. Pula memperlihatkan mereka bisa bicara apa saja, pada siapa saja, di mana saja, tanpa khawatir dampak atau konsekuensinya. 

Menjadikan anjloknya IHSG sebagai lelucon, Prabowo sepintas terlihat ahli di bidang saham, sehingga terbentuk impresi sangat percaya diri bahwa merosotnya IHSG “memang” tidak akan berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Bahkan bila benar dia pakar saham, bisa jadi dia lupa bahwa dia bicara sebagai Presiden, yang pernyataannya sangat mempengaruhi kondisi pasar. Di sisi lain, entah disadari atau tidak, Prabowo sedang mempertontonkan responsnya bukan sekadar ketidakpercayaan atau keraguan atas kekhawatiran rakyat; ini adalah narsisme dan aktualisasi diri yang dioplos dengan penghinaan terhadap kritik.

Terlepas apakah itu tabiat alamiahnya, Presiden dan sebagian pembantunya bagai terpisah dari realita. Ketika keluhan dan harapan rakyat dijadikan bahan tertawaan, situasi ini menyiratkan pemerintah mesti “belajar lebih serius” dalam membaca sinyal komunikasi publik lewat media. Pengetahuan dasar mereka tentang komunikasi massa jangan-jangan relatif rendah, atau tak dapat informasi, kemudian jadi salah informasi, dan, meminjam istilah Tom Nichols, berubah menjadi “ngawur secara agresif”.

Dalam politik kontemporer, idealnya kepala pemerintahan hasil pemilu adalah orang yang mampu merebut, mempertahankan, dan menggunakan kepercayaan publik sebagai landasan, agar kebijakan yang dirancang, diluncurkan, dan dikerjakan dapat didukung rakyat. Berbeda dengan Raja, yang merasa dia adalah utusan langit, dan semua titahnya harus patuh dijalankan. Hal terakhir yang ingin dilihat Prabowo adalah publik menafsirkan kemenangan pada Pilpres 2024 ternyata disalahgunakan, sekurang-kurangnya “salah alamat”. Jika ada pemilih tidak terdidik, maka gaya komunikasi sekenanya pemerintah itu memberi terjemahan baru frasa “pejabat tidak terdidik”.

Baca juga :  Netralitas ASN di Pilpres 2024 Dituding Cuma Formalitas, Sirra Nilai Ancaman Presiden Buat Pj. Ketakutan

Kata “Ndasmu” yang lumayan sering dilontarkan Prabowo, dapat dimengerti sebagai pesan bahwa dia sebenarnya tidak suka perbedaan pendapat, sebaik apa pun pandangan itu. Padahal perbedaan pendapat berdasarkan prinsip dan data, merupakan indikator kesehatan intelektual, dan itu vital bagi sebuah demokrasi. Meminjam pandangan sosiolog Edward T Hall, kata “Ndasmu” termasuk konteks rendah (low contex) atau mudah dipahami isi pesannya.

Sebagai komparasi, kita balik sejenak ke 6 Oktober 1965, ketika Presiden Soekarno memimpin sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor. Dalam tayangan di TVRI, Soekarno terlihat bergurau dengan wartawan, merokok, bersikap tenang, dan selalu tertawa. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa di Indonesia, sehingga terkesan acuh tak acuh. Padahal situasi sedang genting setelah sehari sebelumnya dilakukan pemakaman enam jenderal petinggi TNI Angkatan Darat, dan satu ajudan, akibat ulah pasukan G30S pimpinan Letkol Inf. Untung Syamsuri.

Menjawab protes Ratna Dewi, salah satu istrinya, Soekarno menjelaskan dia selalu tersenyum untuk menunjukkan pada dunia tidak terjadi apa-apa terhadapnya. Tertawa untuk membangkitkan kepercayaan rakyat. Pun mengirim pesan kepada pers Nekolim bahwa Soekarno tetap menguasai keadaan, dan tidak terkalahkan.

Sayang, lawan politik dan sejumlah petinggi TNI AD antikomunis melihat dari sudut berbeda. Peristiwa ini jadi catatan khusus, dan menyebabkan bersimpang jalannya TNI AD dengan Soekarno dalam membereskan kekacauan politik tahun 1965. Nukleusnya, diniatkan baik saja belum tentu hasilnya baik, apalagi jika niat awalnya meremehkan situasi yang ada.

Baca juga :  KIM Plus Jembrana Tetap Usung Tamba-Ipat, Tapi...

Bercermin dari sejarah itu, seyogianya Prabowo dan elite di sekitarnya makin eling untuk mengasah kepekaan atas kritik, saran sampai harapan rakyatnya. Sederhana saja: belajar rendah hati, serta hindari wacana yang berpotensi ditanggapi agresif dan ugal-ugalan menabrak opini publik.

Tanggal 29 Maret 2025 nanti adalah Hari Suci Nyepi bagi umat Hindu. Nyepi berarti penyunyian, kontemplasi, atau retret. Dalam hening kita melatih batin untuk jernih kembali. Semoga spirit Nyepi turut menjernihkan batin pemerintah, sekurang-kurangnya mengurangi ngomong ngaco secara demonstratif.

Orang tua, pandanglah kami sebagai manusia. Kami bertanya, tolong kau jawab dengan cinta,” begitu lirik lagu “Bongkar” dari Iwan Fals. Jadi, jawablah aspirasi dan kritikan dengan bahasa cinta, bukan malah dengan kata “Ndasmu” yang, sayangnya, menggambarkan matinya kemanusiaan. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.