DENPASAR - Sikap KPU Denpasar, Badung, dan Jembrana yang tetap melantik PPS yang diduga bermasalah karena masuk dalam Sistem Partai Politik (Sipol), mengundang keheranan Bawaslu Bali. Padahal KPU terbuka kesempatan untuk mencari calon PPS lain yang tidak masuk dalam Sipol. “Kenapa sih harus ngotot melantik PPS itu? Bawaslu itu kan mau menjaga integritas penyelenggara, dan kami harap KPU bisa bersikap yang sama,” seru Kordiv Penindakan Pelanggaran Bawaslu Bali, I Wayan Wirka, Selasa (31/3/2020).
Disinggung bahwa data dalam Sipol belum tentu tidak bermasalah, Wirka mengembalikan bahwa KPU merupakan produk KPU. Jika KPU menyebut Sipol ada masalah, kata dia, berarti bermasalah juga keanggotaan parpol peserta pemilu 2019. Kalau ada data Sipol dinyatakan bukan anggota parpol, berarti anggota parpol itu tidak sah. Konsekuensi logisnya, tegas Wirka, parpol juga tidak sah. “Memangnya KPU mau produk hukumnya dibilang tidak sah?” sergahnya.
Wirka berpendapat beda tafsir tentang Sipol antara Bawaslu dan KPU sah-sah saja. Namun, dia menyayangkan terkesan penyelenggara kurang profesional memilih anggota ad hoc. Posisi Bawaslu, ulasnya, hanya melaksanakan perundang-undangan saja.
Didesak ada standar ganda Bawaslu memaknai Sipol saat ada gugatan parpol dengan pelantikan PPS yang namanya masuk Sipol, Wirka mendaku itu dua hal berbeda. Ketika Sipol belum dihapus oleh KPU, atau peraturan KPU yang mengatur Sipol belum dicabut, maka Sipol tetap sah sebagai rujukan untuk menyatakan orang itu sebagai anggota parpol. “Kasus pendaftaran parpol dengan pelamar PPS itu dua kasus berbeda, beda konteks, jangan hantam kromo menyamakan,” cetusnya.
Bagaimana dengan surat pernyataan yang dibuat pelamar PPS dia bukan anggota parpol? Lagi-lagi Wirka menilai itu tidak kuat sejauh tidak dibuktikan dengan alat bukti lain. PPS bisa saja membuat pernyataan, tapi bukti di Sipol namanya terdaftar sebagai anggota parpol. “Sekali lagi, Sipol itu bukti otentik lho. Kecuali PPS itu bisa membantah dengan alat bukti lain,” pungkasnya. hen