MATARAM – Langkah Pemprov NTB yang bakal kembali melakukan refocusing anggaran APBD tahun 2022, terus menuai sorotan kalangan DPRD NTB. Badan Anggaran (Banggar) DPRD NTB mempertanyakan alasan rencana pengajuan tersebut, karena dasar hukum yang akan digunakan untuk refocusing tidak jelas.
Padahal landasan hukum menjadi hal yang fundamental dilakukan agar tidak terjadi persoalan hukum ke depannya.
“Sekarang katanya mau melakukan refocusing anggaran lagi, dasar hukumnya apa? Ingat, refocusing anggaran yang dilakukan sejauh ini tidak ada satupun persyaratan yang dipenuhi,” seru anggota Banggar DPRD NTB, Ruslan Turmuzi, Minggu (3/4/2022).
Ruslan mengaku khawatir langkah refocusing yang akan dilakukan kembali justru hanya akal-akalan semata yang dilakukan eksekutif. “Saya jelas menolak yang namanya refocusing itu,” tegas politisi PDIP tersebut.
Ketua Fraksi Bintang Perjuangan Nurani Rakyat (BPNR) itu menguraikan, dalam pemaparan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), refocusing itu dimaksud untuk menutupi utang Pemprov NTB sebesar Rp227,68 miliar.
TAPD kemudian mengusulkan pembayaran utang dilakukan dengan “urunan” eksekutif dan legislatif: eksekutif akan merasionalisasi Belanja Urusan sebesar Rp117,68 miliar, dan legislatif akan dirasionalisasi Pokir DPRD 2022 senilai Rp110 miliar.
Ide ini ditolak mentah-mentah oleh Banggar, karena pemerintah tidak bisa menjelaskan dasar hukum melakukan rasionalisasi. “Katanya rasionalisasi untuk bayar utang dan pemenuhan anggaran OPD baru yaitu Brinda. Namun, sebelum sampai di sana, apakah refocusing ini dibenarkan untuk maksud itu sesuai aturan tidak?” ucapnya.
Dasar hukum melakukan refocusing, jelasnya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 tahun 2019 yang tertuang dalam pasal 161, 163, 164.
Setelah dia perhatikan saksama pasal itu, tidak ada satu pun yang memenuhi syarat melakukan refocusing saat ini. Begitu juga di dalam Permendagri Nomor 77/2020, yang di dalamnya termaktub aturan dan syarat melakukan refocusing.
Di sana ada dua syaratnya. Pertama, ada kebijakan strategis pemerintah pusat, sehingga perlu ditampung dalam APBD, misalnya dalam penanganan pandemi Covid-19.
Melalui Perpres dan Peraturan Menteri, pemerintah daerah diwajibkan melakukan refocusing anggaran penanganan wabah. “Yang kedua, kalau terjadi bencana atau yang sifatnya darurat,” tutur dia.
Baik syarat pertama ataupun syarat kedua, sampai saat ini dianggap tidak terpenuhi. Dengan kata lain, rencana pemerintah untuk bayar utang dan pemenuhan anggaran OPD Brinda tidak boleh dilakukan melalui skema refocusing. “Tetapi bisa dilakukan melalui APBD Perubahan,” pesannya.
“Saya tetap konsisten tanya, apa dasar hukum mau melakukan refocusing? Refocusing dilakukan bukan semau-mau pemerintah daerah,” imbuhnya dengan nada tinggi.
Persoalan ada utang yang belum terbayar, menurutnya, bukan karena refocusing tidak bisa terlaksana. Dia tegas menduga utang justru berarti ada kebobrokan dalam perencanaan keuangan daerah.
Dia menilai seyogianya Gubernur mengikuti saran Mendagri dengan mengeluarkan program-program kegiatan yang bukan kewenangannya di dalam APBD 2022.
“Kalau itu dipangkas, utang bisa terbayar. Banyak sekali program direktif Gubernur yang tidak sesuai dengan RPJMD. RPJMD ada dasar keputusannya yaitu KUA PPAS,” lugasnya.
Ketua Komisi III Bidang Keuangan dan Perbankan DPRD NTB, TGH Mahally Fikri, menambahkan, langkah Banggar mempertanyakan dasar hukum refocusing sudah tepat.
“Makanya dalam kunjungan kerja dari tanggal 3-5 April nanti, selain Banggar kunjungan kerja dalam daerah, juga akan ke Mendagri untuk minta pandangan terkait rencana refocusing anggaran Pemprov NTB. Nanti kita lihat seperti apa hasil kunjungan itu,” sebut Mahally.
Secara umum, politisi Demokrat itu memahami alasan pemerintah ingin melakukan refocusing. Namun, APBD 2022 sudah selesai dievaluasi Mendagri.
Seharusnya ketika penyusunan APBD 2022 baru dilakukan ada usulan refocusing, bukan setelahnya. Pada prinsipnya rencana refocusing itu tidak dipersoalkan Komisi III. “Hanya, harus sesuai dengan aturan, itu saja,” tandas Mahally. rul