SEJUMLAH lembaga survei merilis hasil quick count Pemilu 2024, dengan nyaris semua menyatakan Pilpres dimenangkan paslon nomor urut 2, Prabowo-Gibran. Tak hanya kemenangan Koalisi Indonesia Maju, kemenangan ini juga sinyal keberhasilan strategi komunikasi politik dengan narasi cukup satu putaran untuk efisiensi anggaran negara. Pesan utamanya tentu adalah membuktikan kepiawaian Jokowi sebagai king maker, menyingkirkan dominasi senior “KMP” yakni (Jusuf) Kalla, Megawati dan (Surya) Paloh yang pada 2014 adalah mentor Jokowi.
Dari sisi komunikasi politik, kemenangan Pilpres satu putaran ini bisa dimaknai sekurang-kurangnya tiga hal. Pertama, kerja lembaga survei yang selama ini menyebut tren pasangan Prabowo-Gibran terus meningkat elektabilitasnya, berarti benar sesuai kaidah ilmiah. Bahwa sebagian pihak yang menyebut potensi satu putaran itu berafiliasi ke Prabowo-Gibran, itu soal lain. Hasil Pilpres membuktikan, meski memihak, mereka tidak meninggalkan aturan main survei.
Hasil survei sempat jadi perdebatan para elite politik, terutama kubu Ganjar-Mahfud, yang meragukan kemurnian hasil survei sejumlah lembaga. Hasil survei dituding tidak mencerminkan realitas, karena ada intervensi sebelum survei dilakukan. Padahal meminjam pendapat peneliti Burhanudin Muhtadi, hasil survei bisa saja salah, tapi metodenya tidak boleh bohong.
Hanya, jika ditelisik, kemenangan Prabowo-Gibran sejatinya tidak otomatis linier mereka memang paling disukai konstituen. Tingginya akseptabilitas paslon ini, oleh banyak analisis, sebagian disumbang atas ketidaksukaan pada sosok Megawati Soekarnoputri, yang dinilai sebagian pihak merendahkan Jokowi, Presiden pilihan rakyat, dengan pernyataan dan sikapnya. Meminjam pernyataan Bambang Wuryantoro alias Bambang Pacul, “jangan pernah lawan orang baik”. Jokowi yang, menurut lembaga survei, approval rating sampai di atas 80%, tentu dinilai sebagai orang baik. So, apa pun yang dilakukan cenderung mudah disetujui publik, terlepas apakah salah atau benar secara yuridis dan moral.
Kedua, media sosial (medsos) jadi kekuatan tidak terbendung, terutama Facebook, Tiktok dan Whatsapp Group (WAG), dengan aneka strategi komunikasi, pencitraan serta interaksi para pendukung paslon. Mereka membentuk kantong-kantong relawan di dunia maya yang tanpa batas, lebih luas, cepat dan efisien. Pesan bahwa Jokowi mendukung Prabowo sebagai bagian rekonsiliasi nasional, dan demi menjaga keutuhan bangsa dari polarisasi misalnya, mudah diterima publik lewat medsos.
Cuma, ada efek negatif juga, yakni mudah terjadi fiktifisasi dukungan. Jumlah pendukung tidak selalu riil karena bisa direkayasa, dimanipulasi atau dibuat secara fiktif. Jadi, medsos sangat mudah disalahgunakan sebagai alat membangun “realitas yang fiktif” (Fayakhun Andriadi, 2017).
Bisa jadi kemenangan Prabowo-Gibran seperti mengimitasi kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat tahun 2016, atau Bongbong Marcos di Filipina tahun 2022. Kedua sosok ini sama-sama kontroversial, diterpa aneka isu minor, rekam jejak buruk di masa lalu, tapi toh menang pemilu. Sama dengan Gibran yang dituding anak haram konstitusi, Jokowi main politik dinasti dan otoritarian, menyumbat kanal demokrasi, dan seabrek tuduhan buruk lainnya. Namun, bagi masyarakat menengah ke bawah, perdesaan, kaum milenial yang jenuh dengan gaya politik “orang tua”, semua isu itu tidak menggoyahkan mereka memilih sosok yang “disukai” meski belum tentu terbaik kapabilitasnya.
Ketiga, ada satu hal yang mungkin kurang banyak dibahas yakni pilihan kita terhadap calon presiden, sejak lahir media sosial, tidak murni dengan kesadaran sendiri. Mengutip teori Karl Marx tentang kesadaran palsu, entah disadari atau tidak, kita menilai seorang figur itu “baik” atau “buruk” sangat bergantung dari konsumsi informasi. Sialnya, pramusaji informasi itu adalah media dan, terutama, algoritma di media sosial.
Menurut laporan We Are Social, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 213 juta orang per Januari 2023. Jumlah ini setara 77% dari total populasi Indonesia yang sebanyak 276,4 juta orang pada awal tahun ini (katadata.co.id edisi 20/9/2023). Rerata orang Indonesia menggunakan internet selama 7 jam 42 menit dalam sehari, dan 98,3% pengguna internet Indonesia menggunakan telepon genggam.
Algoritma diduga membuat penggunanya kesulitan membedakan fakta dan fiksi, suatu keadaan yang meminjam istilah Eli Pariser dikenal sebagai filter bubble, dalam buku “The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding From You” (Yoga Hastyadi Widiartanto, 2022). Algoritma biasanya dipakai memprediksi sesuatu yang disukai pengguna di media sosial dan platform lain.
Sayang, algoritma memiliki efek buruk pada linimasa medsos kita. Sederhananya begini: Jika kita suka dengan cerita seorang figur dan mengklik di media sosial dan platform lainnya, algoritma akan “membaca” bahwa kita menyukai cerita tersebut. Berikutnya, algoritma akan membuat linimasa media sosial kita menampilkan berbagai topik sesuai cerita itu, terlepas cerita atau berita itu fakta atau fiksi. Pun linimasa auto menangkis berita, cerita atau narasi dengan topik bertentangan meski berdasarkan fakta. Kondisi ini yang membuat kita seakan berada dalam gelembung yang tersaring, yang membutakan kita atas sudut pandang lain.
Kini, hasil Pilpres tersaji sudah. Suka atau tidak, Prabowo yang selalu distigma sebagai pelanggar HAM berat menanti dilantik sebagai suksesor Presiden Jokowi. Pula Gibran Rakabuming Raka, yang acap disindir sebagai “anak kemarin sore” oleh sejumlah elite PDIP, menjadi Wakil Presiden sampai 2029. Itu jika tidak ada perubahan selama masa kepemimpinan pasangan ini. Sebagai warga negara yang baik, mari hormati hasil Pilpres ini dengan segala kekurangannya. Jika tidak suka dan ingin menghukum mereka, persiapkan langkah dari sekarang agar tahun 2029 libido politik yang tidak suka bisa terlampiaskan secara konstitusional.
Bagaimana implikasi politiknya dalam lanskap Bali menuju Pilkada Serentak pada November 2024 mendatang? Seperti apa dinamika, negosiasi atau konsesi elite partai untuk perebutan kue kekuasaan lokalitas? Untuk pertanyaan ini, kita ulas dalam tulisan berikutnya saja. Gus Hendra